(Panjimas.com) – Dalam Islam, penguasa adalah orang yang bertanggung jawab dalam mengurusi urusan rakyatnya. Walaupun landasan dalam pemerintahannya Al-Quran dan Sunnah, namun penguasa juga adalah seorang manusia yang bisa berbuat kesalahan. Maka dari itu, kritik atau muhasabah kepada penguasa adalah hal yang wajar terjadi, bahkan wajib adanya. Agar penguasa tidak menyalahgunakan kewenangan dan terhindar dari perbuatan atau kebijakan yang dzalim.
Namun berbeda dengan penguasa dalam sistem demokrasi. Undang-undang dalam demokrasi semakin nyata bukan untuk menyejahterakan rakyat. Kebijakan yang dibuat hanya menguntungkan sebagian golongan yang mempunyai kepentingan. Berbagai masalah muncul karena ketidakadilan penguasa. Namun rakyat yang ingin menasehati penguasa justru diancam dengan RKUHP yang sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah.
Dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi: “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda…”. Kemudian aturan tersebut diperluas melalui Pasal 264 yang berbunyi: “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda…”.
Sebelumnya MK pernah mencabut Pasal Penghinaan Presiden pada tahun 2006. Maka, penghidupan pasal ini menimbulkan pro dan kontra. Menurut Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Wahyudi Djafar, tak ada takaran yang jelas dalam menentukan suatu tindakan masuk dalam kategori penghinaan atau hanya kritik (kompas.com). Menurut Managing Director ICJR, Erasmus Napitupulu, RKUHP yang baru justru memasukkan aturan masa kolonialisme baru. Ketentuan ini ke depan akan sangat dimungkinkan digunakan untuk menekan kritik terhadap presiden dan wakil presiden. Hal ini nampak dari tidak adanya standar baku mengenai hal-hal yang dianggap menghina, sehingga berbagai macam perbuatan selama dirasa bertentangan dengan kedudukan presiden dapat dianggap sebagai penghinaan (republika.co.id).
Tentu saja RKUHP ini bertentangan dengan kehidupan bernegara yang sehat. Pemerintah bisa dengan leluasa menggunakan kewenangannya, tanpa bisa diganggu gugat. Sementara rakyat yang pada faktanya merasa terdzalimi dengan kebijakan pemerintah, tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan jika berani mengkritik akan dipidanakan.
Demokrasi sebagai suatu sistem dimana Undang-undang bisa dibuat sesuai kepentingan tertentu bukanlah model sistem yang adil. Keadilan hanya akan diperoleh jika negara menggunakan hukum sesuai dengan Al-Quran. Mengkritik penguasa, dalam Islam termasuk ke dalam aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). [RN]
Penulis, Woro Lintang, S.Kpm