(Panjimas.com) – Menarik sekali ketika ada KARTU KUNING menjelang tahun politik seperti ini. Yang lebih menarik lagi, protes seorang mahasiswa dengan gaya milenialnya yang berani, ‘angkat buku bersampul kuning seraya meniup peluit’ langsung menyita perhatian orang nomer satu di Indonesia, Presiden RI yang kerap disapa Jokowi.
Bak artis yang sedang naik daun Zaadit Taqwa, yang diketahui adalah ketua BEM UI sontak menjadi sorotan publik dan media. Tokoh nasionalpun banyak yang ikut angkat bicara menyoal kartu kuning Zaadit Taqwa. Beragam respon muncul kepermukaan ada yang pro ada pula yang kontra. Berbagai sudut pandang analisa pun bermunculan, baik dari kalangan pemerintah, pengamat politik, mahasiswa hingga berbagai macam praktisi dan profesi ikut memberikan komentar terkait kartu kuning. Tak terkecuali adalah Fadli Zon, wakil ketua DPR RI pun tak segan-segan menyampaikan bahwa partainya Gerindra pun memberikan kartu kuning (peringatan) bagi pemerintahan Jokowi.
Menarik, pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago di laman jpnn.com mengungkapkan satu sisi yang unik dari aksi ketua BEM UI diacara diesnatalis 2 Februari 2018 lalu ini, beliau beranggapan bahwa hal ini menarik sebetulnya, kalau demonstrasi dengan puluhan ribu masa nggak ada efeknya, dan tidak didengar. Namun aksi seorang ketua BEM UI tiup peluit dan berikan kartu kuning langsung trending topic dan efektif mengingatkan pemerintah. Hal ini merupakan cara yang genius dan berani sebagai bentuk luapan respon atas fakta carut marutnya kondisi negeri ini.
Pemerintah dinilai kian abai terhadap urusan rakyat, lambat merespon setiap kejadian di negeri ini. Penderitaan rakyat kecil, wabah penyakit, kelaparan, gizi buruk melanda pelosok pelosok negeri. Pemerintahan era Jokowi juga dinilai sering kontroversial dalam mengambil kebijakan, yang berakibat pada stabilitas nasional. Berbagai sepak terjang pemerintah dari tahun 2014-2018 ini dinilai patut diberikan kartu kuning, karna banyak menimbulkan keresahan dan kegaduhan yang tak kunjung terselesaikan.
Siapa sangka, inilah cerita miris negeri yang menyebut dirinya paling demokratis. Ketika kritik dan saran dilayangkan, justru respon gagap yang diberikan bukan upaya berbenah diri. Beginilah tabiat asli demokrasi sekuler, dengan gaya kepemimpinan neoliberlanya. Ketika sistem ini dijalankan maka faktanya tidak mudah bagi penguasa menerima kritik dan nasehat, mereka lebih mementingkan kepentingan kelompoknya daripada berbenah dan berpacu memperbaiki kondisi negeri. Demokrasi yang di klaim demokratis berbalik menjadi demokrasi yang semi otoriter. Dengan gaya lemah lembut berupaya membuat berbagai macam aturan yang tak segan segan akan memberangus kekritisan rakyat pun mahasiswa. Rakyat dan mahasiswa hendak dibungkam sedikit demi sedikit tanpa mereka sadari. Pintu kritik terhadap penguasapun akan ditutup rapat. Inilah wajah demokrasi yang sesungguhnya, miris bukan?
Soal kartu kuning sungguh memberikan pelajaran berharga kepada kita semua. Bahwa kesadaran mengoreksi penguasa harusnya terus ditanamkan agar penguasa menyadari hakekatnya sebagai pemimpin yakni sebagai pelayan yang harus siap melayani kebutuhan rakyatnya. Juga sebagai pelindung bagi rakyat yang siap membentengi dan melindungi rakyatnya dari setiap ancaman baik ancaman yang nampak maupun tersembunyi. Bangsa ini juga harus menyadari bahwa kekritisan terhadap penguasa perlu di pupuk untuk membangun negeri ini. Keberanian rakyat mengoreksi penguasa dan memberikan kritik yang membangun akan menjadi pendewasaan bagi rakyat dan penguasa sebagai bangsa yang besar. Penguasa juga harus belajar untuk memenuhi tanggung jawabnya, menunaikan amanah rakyat bukan sekedar memimpin untuk golongan tertentu tapi mewakili rakyat seluruhnya.
Upaya masif membangunkan kekritisan rakyat memanglah penting, namun harus terarah kepada proses perubahan yang fundamental. Menyeru dan mengkritik bukan hanya dalam ranah parsial namun menyeru kepada solusi perubahan yang mendasar. Bahwa Rakyat harus berani menyeru penguasa bukan untuk menjatuhkan dan mengganti rezim belaka, tapi lebih kepada mengarahkan perjuangan pada upaya mengubah sistem demokrasi liberal yang jelas merupakan sumber kerusakan yang ada. Merubah sistem yang jelas rusak dan batil ini dengan sistem yang akan mampu melayani, menjaga, mensejahterakan dan tentu mengundang keberkahan. Sistem inilah yang harus kita perjuangkan dan serukan kepada penguasa, yakni sistem Islam yang akan memberikan rahmat kepada semua. In syaa Allah. [RN]
Penulis, Ana Ummu Fatih
Tinggal di Gresik Jatim