(Panjimas.com) – Isu Intoleransi kembali menguat. Indonesia gempar akibat berita aksi kekerasan dan pembacokan di dalam Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta pada Ahad (11/02/2018) pagi. Seorang pemuda bernama Suliono melakukan penyerangan di tengah berlangsungnya ibadah Misa Ekaristi di Gereja Stasi Bedog, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Serangan Suliono dengan senjata pedang melukai tiga jemaat gereja, Pastor Romo Karl Edmund Prier dan polisi bernama Aiptu Munir. Berdasar keterangan polisi, Suliono berusia 22 tahun dan tercatat sebagai mahasiswa pada salah satu kampus di Magelang. Tapi, polisi belum mengumumkan motif serangan ini. (KOMPAS.COM, 11/2/2018).
Media langsung merespon dengan menampilkan reaksi tokoh – tokoh representatif versi mereka. Sebagaimana yang dilansir Kompas.com (11/2/2018), Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol Ari Dono mengatakan, bahwa kesatuan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri siap diturunkan untuk mengusut kasus ini. Senada dengan Kepala Bareskrim Mabes Polri, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, mengatakan hasil penyelidikan yang dilaporkan pihak kepolisian mengenai peristiwa di Sleman adalah aksi teror murni yang masih perlu pendalaman apakah bekerja sendiri atau berada dalam suatu jaringan. (mediaindonesia, 12/2/2018).
Sementara itu, kalangan tokoh umat yang sering keras bersuara saat terjadi insiden terhadap kaum minoritas juga berkomentar dengan hal yang sama. Tirto.id (12/2/2018), menuliskan bahwa untuk menanggapi insiden ini, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, menilai penyerangan Gereja Santa Lidwina Bedog adalah bukti adanya peningkatan gelombang kekerasan dengan korban umat dan tokoh agama dalam beberapa waktu belakangan. Menurut Alissa hal ini disebabkan karena aksi-aksi intoleransi tidak pernah diselesaikan secara tuntas sesuai dengan hukum yang berlaku. Buya Syafi’i yang digambarkan sebagai seorang yang bijaksana, pun demikian adanya.
Kalau kita cermati, kasus kekerasan terhadap tokoh agama dan pengrusakan tempat ibadah sebenarnya sudah sangat sering terjadi di negeri ini. Agama apapun, terlebih Islam, sebenarnya sudah sangat jelas mengatur mengenai aksi kekerasan. Kekerasan adalah tindakan terkutuk dan kriminal. Islam mengajarkan, perdamaian merupakan prinsip hak azasi, maka peperangan merupakan alternatif yang bisa terjadi dan dilakukan dalam keadaan terpaksa. Agama Islam melarang dilakukannya peperangan jika tujuannya untuk memperluas daerah kekuasaan dengan menindas hak-hak umat lain. Allah swt. berfirman:
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.” (Al-Qashash 83).
Belajar dari kasus-kasus selama ini, seharusnya Negara menyadari apa yang sedang menimpanya. Negara tidak boleh menjadi mainan bagi instrument global yang akan memecah belah bangsa. Para pemimpin umat, khususnya umat islam di Indonesia seharusnya menyadari kerugian besar memilih untuk saling tuding, sementara secara tersamar saling memasang kuda-kuda untuk memperoleh kue kekuasaan pasca insiden terjadi. Karena sesungguhnya korbannya adalah umat secara keseluruhan yang termakan oleh opini. Sehingga terorisme menjadi lingkaran setan yag tidak pernah ditemukan ujung pangkalnya.
Sejatinya terorisme adalah fenomena komplek yang lahir dari beragam faktor yang juga komplek. Ada faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya. Ada faktor internasional seperti ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS), imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar). Selain itu adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme.
Dalam kondisi yang demikian, maka kita harus mempunyai kaca mata yang jernih dalam memandang kasus terorisme. Karena generalisasi kasus teror terhadap kelompok tertentu dan agama tertentu karena atribut dan atau latar belakang pelaku, sangat jauh dari realitas di lapangan. Apalagi tidak berimbangnya pemberitaan media. Sehingga peran aktif dan berkeadilan dari pemerintah sangat dibutuhkan. Ketimpangan penanganan akan menambah semakin berputar – putarnya lingkaran setan kasus teror. Rasa ketidakadilan dari salah satu pihak, dapat melahirkan gerakan teror baru. Dampak ini tak terkecuali juga mengancam generasi kita. Mereka sudah sering mendengar dan melihat fakta saling tuduh, saling tuding tanpa penyelesaian yang tegas dan komprehensif dari pemerintah. Sehingga rasa saling curiga, kebencian dan fanatisme golongan telah tersemai sejak masa anak-anak. Kita bisa membayangkan, generasi kita ke depan adalah generasi yang penuh penyakit hati. Lalu akankah kita berharap mereka bisa hidup berdampingan dalam membangun negeri?
Jadi langkah bijak untuk mereduksi bahkan mangaborsi terorisme di Indonesia adalah; pemerintah dengan sadar dan serius plus kapasitas dan instrumen yang dimilikinya bekerja menjawab faktor-faktor penyebabnya di atas secara komprehensif. Dari faktor domestik, pemerintah harus mampu menjawab pola hubungan mereka dengan umat saat ini. Bahwa umat hanya komoditas menjelang pemilu, harus bisa ditepiskan. Kesejahteraan harus nyata dirasakan, bukan hanya menjadi nyanyian konstitusional tanpa realitas di lapangan. Dari faktor internasional, pemerintah harus mampu menunjukan kemandirian atas dirinya. Tidak bisa didikte negara manapun. Sehingga apapun yang dilakukan pemerintah, murni demi kesejahteraan rakyat, bukan pesanan pihak asing. Adapun dari aspek kultural, interpretasi teks-teks ajaran agama akan lebih mudah dilakukan penyamaan jika dua faktor di atas terselesaikan. Karena kondisi sangat kondusif untuk duduk bersama saling diskusi dan mengkaji. Wallahu a’lam bi ash showab. [RN]
Penulis, Ririn Umi Hanif
Pemerhati Ibu dan Anak, tinggal di Gresik