(Panjimas.com) – Hari ini, Senin, 5 Februari 2018, bisa jadi hari amat menentukan buat kelangsungan hidup dan masa depan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pasalnya, hari ini harga batubara untuk domestic market obligation (DMO) bakal ditentukan.
Bagi PLN, batubara adalah bagian penting dalam denyut nadi kehidupannya. Maklum, banyak pembangkit listriknya digerakkan dengan bahan bakar batubara. Itulah sebabnya, tiap kenaikan harganya batubara pasti mendongkrak biaya produksi listrik. Tahun silam saja, biaya pokok produksi (BPP) PLN naik Rp16,18 triliun akibat melonjaknya harga batubara.
Tingginya harga batubara benar-benar membuat PT PLN babak-belur. Bayangkan saja, sampai September 2017, perusahaan ini hanya mampu meraup laba Rp3,06 triliun. Dibandingkan laba periode yang sama 2016 yang Rp10,98 triliun, laba ini terjun hingga 72%. Saya sungguh tidak berani membayangkan, apa yang bakal terjadi jika kondisi seperti ini dibiarkan lebih lama lagi.
Jadi, kalau hari ini PLN berharap bisa lolos dari lubang maut harga batubara yang mencekik, tentu wajar saja. Pasalnya, hari ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengumpulkan para stakeholders utama batubara. Ya, Jonan mengundang mereka duduk bersama untuk menuntaskan (?) perkara ini di kantornya, mulai pukul 11.00 sampai selesai.
Selain PLN sebagai konsumen, ada lima petambang besar batubara yang diundang. Mereka adalah PT Adaro Energy Tbk, PT Bukit Asam (Pesero) Tbk, PT Berau Coal Energy Tbk, PT Indika Energy Tbk, dan PT Kaltim Prima Coal. Jonan juga mengundang Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI). Dari kalangan birokrat, bakal hadir Dirjen Ketenagalistrikan serta Dirjen Mineral dan Batubara.
Rapat hari ini diharapkan dapat menemukan solusi saling menguntungkan bagi dua kubu (PLN versus petambang batubara) yang berhadapan karena perbedaan kepentingan dan penyikapan terhadap batubara. Bagi petambang, batubara adalah komoditas yang menghasilkan keuntungan. Kalau laba bisa dikerek tinggi-tinggi, kenapa pula harus puas dengan keuntungan yang ‘seadanya’?
Pesta pora batubara
Simak, betapa dahsyatnya keuntungan para petambang batubara dari melonjak-lonjaknya harga komoditas ini di pasar dunia. PT Adaro Energy Tbk, misalnya, sampai triwulan III-2017 berhasil meraup laba sebesar US$495 juta, naik 76% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau setara dengan Rp6,6 triliun!
Itu baru Adaro saja. Diperkirakan kocek 10 pengusaha besar batubara dari durian runtuh ini mendapat tambahan pendapatan sekitar Rp60Trilyun. Mereka inilah yang menguasai 60% produksi 461 juta ton pada 2017.
Lalu, Pemerintah dapat apa? Nyaris tidak berarti, bila dibandingkan pesta-pora yang swasta nikmati. Tambahan royalti yang diperoleh hanya Rp1,3 triliun. Ironis sekaligus tragis!
Di sisi lain, buat PLN batubara adalah sumber energi untuk menghasilkan listrik batu sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Makin murah harga batubara, makin rendah pula harga jual listriknya. Tentu saja, semua orang happy dengan listrik yang murah. Pengusaha bisa menghasilkan produk dengan biaya lebih rendah, rakyat senang karena tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam untuk menikmati manfaat listrik yang luar biasa besar. Pemerintah bisa menjadikan listrik murah sebagai jualan untuk berlaga di periode berikutnya.
Kepentingan merah putih
Pada titik ini, sejatinya, harga batubara yang wajar (murah) bukan semata-mata bagi kepentingan PLN. Ada kepentingan merah putih di batubara. Pemerintah pun seharusnya sangat berkepentingan, karena tugas utamanya adalah menyejahterakan rakyat. Bagaimana mungkin rakyat bisa sejahtera kalau isi koceknya tergerus hanya untuk membayar listrik?
Beberapa fakta berikut ini semestinya dengan gamblang dapat menggambarkan betapa gawatnya harga batubara yang terlalu melangit. Bukan hanya buat PLN, tapi juga bagi seluruh komponen negeri.
Pada 2016, harga batubara yang dibeli PLN Rp630.000/ton. Harganya naik menjadi Rp853.000/ton pada tahun berikutnya. Inilah yang menyebabkan naiknya biaya penyediaan tenaga listrik PLN sekitar Rp16,18 triliun pada 2017.
Tentu saja, PLN tidak mungkin terus-menerus menanggung sendiri beban yang amat berat ini. Akibatnya, cepat atau lambat akan berimbas pada 67 juta pelanggan, termasuk industri, bisnis, dan 63 juta pelanggan rumah tangga.
Di sisi lain, dengan gagah perkasa Pemerintah sudah menegaskan tahun ini tidak akan ada kenaikan tarif dasar listrik (TDL), minimal sampai Maret 2018. Soal bagaimana dampaknya pernyataan yang terdengar amat mulia itu terhadap PLN, itu perkara lain lagi.
Celakanya lagi, tren menjulangnya harga batubara sepertinya masih akan terus berlanjut pad 2018 ini. Sepanjang Januari saja, harganya sudah bertengger di US$95,54/ton untuk yang berkalori 6.322. Jika kondisi ini dibiarkan, konsekwensinya biaya penyediaan tenaga listrik bakal naik sekitar Rp23,8 trilyun.
Pertanyaan besarnya, mampukah PLN menanggungnya sendiri? Sekadar mengingatkan saja, sampai September tahun kemarin, laba PLN terjun bebas dari Rp10,98 triliun ke Rp3,06 triliun. Haruskah tahun ini neracanya merah dan berkobar-kobar karena terbakar harga batubara?
Padahal, pada saat yang sama PLN masih menyandang tugas untuk merealisasikan investasi program 35.000 MW. Kewajiban itu tidak termasuk pembangunan transmisi sepanjang 46.000 kms dan Gardu Induk 108.000 MVA. Belum lagi adanya tugas sosial berupa listrik desa untuk daerah terluar, terpencil, dan tertinggal sekitar 5.000 desa. Anak SMA saja pasti tahu, bahwa semua itu membutuhkan dana amat besar. Kalau PLN tidak bisa mencetak untung, bagimana bisa melaksanakan semua tugas tersebut?
Sofyan sejak beberapa waktu lalu sudah mengajukan usul soal DMO khusus batubara untuk PLTU. Yaitu, agar harga DMO batubara menggunakan skema biaya produksi ditambah keuntungan alias cost plus margin sekitar 15%-25%. Dalam bisnis, apalagi skala besar, keuntungan 15%-25% jelas sangat menggiurkan.
Kuncinya keberpihakan
September silam, saat menyikapi terjunnya laba PLN, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan akan meneliti penyebabnya. Jika sebagian hal itu karena kebijakan Pemerintah, maka akan dicarikan solusinya dari kebijakan pemerintah juga. Tapi kalau urusannya soal efisiensi dan kemampuan manajemen menutup kebocoran penerimaan, diharapkan mereka lakukan perbaikan-perbaikan.
Rentetan fakta yang tersaji menunjukkan kemelut yang kini membelit PLN lebih banyak karena faktor di luar kontrol direksi yang dikomandani Sofyan Basir. Soal batubara yang jadi biang kerok, misalnya, jelas bola sepenuhnya ada di tangan Pemerintah. Ini bisa dimulai dengan mengubah paradigma, bahwa batubara bukanlah semata-mata komoditas belaka. Ia adalah sumber energi yang sangat penting untuk menggerakkan perekonomian dengan segala multplier effect-nya.
Paradigma inilah yang dipegang teguh negara-negara produsen batubara dunia. Dari sisi kandungan, mereka jauh lebih raksasa ketimbang Indonesia. Amerika Utara punya cadangan 246 miliar ton, Rusia 147 miliar ton, China 115 miliar ton, Australia dan India masing-masing 76 miliar ton dan 58 miliar ton. Sedangkan Indonasia hanya 28 miliar ton atau kurang dari 3% dari cadangan dunia.
Tapi karena paradigmanya batubara adalah komoditas belaka, maka lebih dari 80% produksi batubara kita ekspor. Bayangkan, dari total produksi sekitar 437 juta ton pada 2017, lebih dari 80% atau sekitar 360 juta ton diekspor.
Indonesia memang punya ketentuan tentang DMO. Tapi, regulasi DMO ternyata cuma setengah hati. Pasalnya, DMO hanya mengatur volume batubara yang boleh diekspor. Sementara harga sepenuhnya diserahkan sesuai mekanisme pasar internasional. Sebaliknya, Afrika Selatan, Cina dan India yang harganya jauh lebih rendah dari harga batubara pasar dunia. Mereka memanfaatkan tingginya harga pasar untuk menurunkan biaya bahan bakar pembangkit listrik. Indonesia?
Berpegang pada ‘janji’ Sri, berikut ini beberapa prinsip dasar sebagai solusi yang sepatutnya Pemerintah ambil terkait batubara. Pasal 33 yat (3) konstitusi kita jelas-jelas mengamanatkan, bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan demikian, sejatinya batubara adalah milik negara. Para petambang itu sekadar mendapat izin untuk menguasahakannya. Seharusnya negara punya kewenangan penuh dalam menetapkan aloksi dan harga. Pertimbangannya, untuk optimalisasi pendapatan negara, juga mengatur biaya pokok produksi kelistrikan yang tepat.
Di Migas yang membutuhkan biaya jauh lebih besar dan teknologi lebih canggih, berlaku sistem bagi hasil 85:15. 85% untuk negara dan 15% untuk kontraktor. Di sini ada cost recovery yang dibayar dengan bagian negara. Pemerintah bisa mengubah formula pengusahaan batubara dari yang selama ini menjadi bagi hasil, misalnya jadi 80:20.
Dengan formula seperti ini, Pemerintah bisa menggunakan bagian yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan pembangkit, baik dari sisi kualitas, kuantitas, dan tentu saja, harga yang sudah ditentukan.
Tapi baiklah, kita paham betul bahwa betapa banyak hal simple menjadi rumit di tangan para pejabat publik. Terlalu banyak kepentingan yang bermain, termasuk kepentingan pribadi dan kekuasaan di belakang tiap kebijakan yang diambil.
Kalau mengubah formula batubara seperti yang berlaku pada Migas terlampau rumit buat tuan-tuan dan puan-puan, mungkin usul PLN agar harga batubara khusus DMO bisa digunakan skema cost plus margin sekitar 15%-25%. Skema ini tidak akan membuat pertambang bangkrut apalagi bergelimpangan. Yang terjadi cuma sedikit mengurangi keuntungan. Toh mereka masih bisa mengekspor 80% sisanya dengan harga internasional.
Sekali lagi, skema ini cukup fair, terutama kalau ditilik dari kepentingan yang lebih besar. Kepentingan merah putih. Kecuali kalau tuan-tuan dan puan-puan sudah tidak ada lagi merah-putih di dada. Mungkin yang tertinggal hanya hitam-legam. [RN]
Jakarta, 5 Februari 2018
Penulis, Edy Mulyadi,
Direktur Program Centre for economic and Democracy Studies (CEDeS)