(Panjimas.com) – Siapa yang tak merasakan perubahan generasi zaman old dengan zaman now? Semua pasti merasakan. Kalau zaman old anak usia sekolah bisa menangis karena PR matematika yang membuatnya pusing, kalau sekarang ditinggal menikah sama idolanya bisa sampai menangis bombay. Kalau zaman old internet bukanlah kebutuhan setiap saat, kalau sekarang di manapun dan kapanpun bisa berselancar dengan kecepatan ekstra. Kalau zaman old anak usia sekolah masih ramai bermain bersama seperti petak umpet, kelereng, atau lompat karet, kalau sekarang semua bisa sibuk sendiri di depan gadget masing-masing. Ya itulah sekilas perubahan dari generasi ke generasi.
Perubahan tersebut tidak lepas dari makin derasnya arus globalisasi, di mana informasi apapun bisa cepat diakses dan kebebasan menjadi ciri utamanya. Informasi baik atau buruk, benar atau hoax menyebar dengan cepat dan mampu mempengaruhi pemikiran bahkan emosi. Kalau tidak memiliki filter yang baik maka semua tidak bisa dibendung dan akibatnya anak akan terjerat ke dalam arus globalisasi.
Pendidikan anak di sekolah tak menjamin bahwa mereka dapat menjadi generasi yang cemerlang. Mahal atau tidaknya sekolah juga tidak menjamin. Tentu kita tak bisa melupakan kasus pelecehan seksual yang dialami anak yang notabene mengenyam pendidikan di salah satu sekolah internasional di ibu kota. Itu menjadi salah satu bukti bahwa mahal tidaknya sekolah tidak bisa menjamin. Semuanya dipengaruhi oleh banyak faktor. Kita tidak bisa menjadikan salah satu faktor untuk benar-benar diharapkan, juga tidak bisa menjadikan salah satu faktor untuk disalahkan. Maka dari itu banyak tantangan yang dihadapi khususnya oleh pendidik dalam mendidik generasi zaman now.
Di era kapitalisme ini materi menjadi tujuan dan standar kehidupan. Tak sedikit dari para orang tua sibuk untuk mencari materi dan benar-benar mengandalkan sekolah atau lembaga pendidikan lainnya untuk membantu anak-anaknya dalam belajar. Ketika hasil tidak sesuai dengan ekspektasi orang tua maka pendidik lah yang menjadi kambing hitamnya. Apalagi jika sudah merogoh kocek yang dalam untuk biayanya. Anak tidak jarang menerima hukuman baik fisik maupun non fisik (verbal) hanya karena hasil belajar yang berupa angka tidak sesuai dengan harapan orang tua. Rasanya semua harus benar-benar sempurna.
Kepungan media di luar sana juga menjadi tantangan tersendiri dari seorang pendidik. Anak dapat mengakses apapun dan kapanpun serasa memiliki guru sendiri. Mereka bisa bertanya apa saja bahkan yang tidak sesuai dengan usia pun bisa muncul. Mereka bisa menjadi korban life style dan pemikiran karena paparan informasi. Tanpa adanya pengawasan terhadap anak maka mereka akan mengikuti apa saja yang guru mereka sampaikan di dunia maya. Tentu pendidik tidak bisa mengawasi full time apa saja yang anak cari di media.
Serangan demi serangan yang anak terima dari berbagai lini membuat mereka menjadi pribadi yang mengikuti arus mainstream dan jauh dari sebutan generasi cemerlang apalagi generasi yang sesuai dengan Islam. Nilai-nilai kebebasan dipropagandakan tanpa batas, di mana hal ini juga menjadi tantangan juga bagi pendidik. Bagaimana tidak? Ketika seorang pendidik melarang suatu hal maka bisa dianggap melanggar kebebasan individu meski sebenarnya harus terikat dengan aturan yang berlaku. Mereka bisa mengalami krisis identitas, identitasnya sebagai seorang muslim yang memahami kedudukannya sebagai hamba dari Rabb nya. Mereka memiliki pola berfikir dan standar kehidupan yang jauh dari apa yang ada di standarkan dalam Islam yakni mendapatkan ridho dari Sang Pencipta.
Cengkraman kapitalisme sepertinya benar-benar berhasil menjadikan generasi zaman now terseret di dalamnya. Harapan menjadi generasi cemerlang seperti zamannya Rasul Muhammad SAW dan para sahabat pun makin jauh. Dibutuhkan perubahan besar yang tidak hanya dari satu sisi saja. Maka untuk mengatasi itu semua dibutuhkan sistem yang shohih yang mampu mendorong generasi zaman now menjadi generasi cemerlang seperti zaman kejayaan Islam yang mampu menguasai dunia hampir 13 abad.
Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi pendorong terbentuknya generasi cemerlang sebagaimana di masa Rasulullah dan para sahabat. Faktor pertama adalah keluarga. Anak diharapkan memiliki kesadaran penuh dan memahami kedudukannya sebagai seorang hamba. Mereka miliki visi hidup yang berorientasi tidak hanya dunia tapi juga akhirat, sesuai dengan Islam sehingga perilaku mereka pun akan senantiasa menyesuaikan. Hal ini tentu tidak akan terwujud manakala keluarga tidak menanamkan sejak dini. Faktor yang kedua adalah masyarakat, Dalam hal ini bisa pendidik (lingkungan sekolah) maupun lingkungan masyarakat. Keberhasilan anak di lingkungan keluarga tidak bisa menjamin manakala ternyata di lingkungan luarnya tidak bisa mendukung. Pendidik yang mewakili lingkungan sekolah setidaknya harus mengajarkan dan mencontohkan nilai-nilai sesuai Islam serta menjadi kontrol bagi anak manakala yang mereka melakukan penyimpangan yang tidak sesuai aturan Islam. Faktor ketiga yang menjadi penentu besar keberlangsungan pendidikan bagi generasi ini adalah negara. Bagaimana peran negara dalam menciptakan atmosfer pendidikan bagi generasi cemerlang sangat penting. Mulai dari bagaimana penerapan sistem pendidikan yang sesuai dengan sistem pendidikan Islam, sampai peran negara dalam memfilter informasi-informasi yang tidak baik.
Dengan ketiga faktor tersebut maka pendidikan mampu menghasilkan generasi pencetak peradaban yang unggul seperti zaman peradaban Islam yang dikenal sebagai era keemasan atau “The Golden Age”. Tantangan bagi pendidik pun bisa sangat diminimalisir bahkan hilang karena sempurnanya sistem yang shohih tersebut. Tentu kita sangat merindukan itu bisa terwujud. [RN]
Penulis, Novita Fauziyah, S. Pd
Pendidik, tinggal di Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes