(Panjimas.com) – Penerapan hukum ujaran kebencian bermuatan SARA saat ini demikian mendominasi terhadap ulama dan aktivis yang tergabung dalam Aksi Bela Islam 212. Sebagaimana kita ketahui, pasca Basuki T. Purnama divonis bersalah oleh PN. Jakarta Utara, sejumlah ulama dan aktivis muslim ‘menuai’ badai pasal ujaran kebencian dimaksud. Ustadz Zulkifli M. Ali adalah yang terbaru terkena pasal aquo. Sebelumnya dan telah divonis yakni, Buni Yani dan Ustadz Alfian Tanjung, menyusul kemudian antara lain Asma Dewi, Jonru dan Ahmad Dhani yang masih dalam tahap penyidikan dan penuntutan.
Pasal krusial tersebut menunjuk pada Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 4 huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU PDRE) dan termasuk Pasal 156 KUHP. Dalam dakwaan Penuntut Umum kerapkali, menerapkan ketiga pasal tersebut secara alternatif, padahal tidaklah demikian.
Perlu dipahami, bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE, adalah lex specialis dari Pasal 156 maupun Pasal 157 KUHP, sepanjang perbuatan ungkapan perasaan dinyatakan dalam bentuk konten illegal dengan menggunakan sistem informasi elektronik. Hal yang sama juga berlaku pada Pasal 4 huruf b – tepatnya angka ke 1 dan angka ke 2 – UU PDRE. Pada Pasal 4 huruf b UU PDRE, letak kekhususannya dengan Pasal 156 maupun 157 KUHP adalah pada pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dapat dikatakan bahwa Pasal 4 huruf b UU PDRE adalah lex specialis dari Pasal 156 dan 157 KUHP. Di sisi lain, Pasal 4 huruf b UU PDRE adalah lex generalis dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Berdasarkan asas lex posterior derogat legi priori, maka penerapan dakwaan oleh Penuntut Umum dengan mengacu pada Pasal 156 atau Pasal 157 KUHP dan Pasal 4 huruf b angka ke 1 atau angka ke 2 UU PDRE dengan menyertakan pula Pasal 28 ayat (2) UU Nomor UU ITE – yang disusun secara alternatif – jelas menyalahi asas hukum pidana. Hal ini dapat dilihat pada dakwaan Buni Yani, Ustadz Alfian Tanjung, dan Asma Dewi.
Lebih lanjut, terdapat frasa “dengan sengaja” pada dakwaan ujaran kebencian maupun ujaran dikriminasi ras dan etnis. Perihal dengan sengaja merupakan inti delik yang harus diobjektifkan dan dikonkritkan oleh Penuntut Umum. Penuntut Umum harus mampu membuktikannya, mengingat sistem hukum pidana yang kita anut adalah berdasarkan asas monoistis. Berbeda halnya dengan asas dualistis yang memisahkan antara perbuatan pidana (actus reus) dengan kesalahan (mens rea). Kesengajaan telah luput dalam pembuktian, tidak didalilkan oleh Penuntut Umum apakah kesengajaan yang dilakukan dengan maksud (als oogmerk) atau dengan kepastian (dolus directus) atau dengan kemungkinan (dolus eventualis). Ketika disebutkan “dengan sengaja”, maka harus dikonritkan dan sekaligus diobjektifkan sesuai dengan kekuatan alat bukti yang shahih dan sikap batin yang manakah yang menentukan dari ketiga bentuk corak (gradasi) kesengajaan tersebut.
Pada prinsipnya ketiga gradasi kesengajaan tersebut memiliki perbedaan dalam hal akibat yang terjadi. Pada kesengajaan dengan maksud, suatu akibat yang terjadi adalah memang dikehendaki atau diinginkan. Didalamnya sudah pasti terkandung aspek pengetahuan. Pada kesengajaan dengan kepastian, telah timbul suatu akibat lain yang tidak dikehendaki, namun akibat tersebut secara pasti – tidak dapat dielakkan – menimbulkan akibat lain. Akibat lain tersebut dipastikan terjadi, walaupun tidak sesuai dengan kehendaknya. Terjadinya akibat lain ini, dilihat dari sudut penilaian secara umum pasti akan terjadi dan yang melakukan secara sadar pula dapat memperkirakan. Pada kesengajaan dengan kemungkinan, akibat yang tidak dikehendaki tersebut dilihat dari perbuatannya memungkinkan terjadinya berbagai akibat lain, walaupun tidak secara pasti tapi lebih bersifat kemungkinan. Bisa terjadi sesuai dengan kehendaknya, namun bisa pula terjadi di luar kehendaknya. Jika akibat yang terjadi sesuai dengan kehendaknya, maka masuk kriteria kesengajaan dengan maksud, sebaliknya jika akibat tersebut terjadi bukan sesuai dengan kehendaknya, maka tergolong dolus eventualis. Oleh karena itu, Penuntut Umum seharusnya dapat mengobjektifkan kesengajaan melalui pembuktian corak kesengajaan yang mana yang sesuai dengan fakta sesungguhnya. Tidak dibenarkan menggabungkan kesemua corak kesengajaan tanpa adanya pemilihan salah satu dari corak kesengajaan.
Pada contoh penerapan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, yang selengkapnya berbunyi : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”, harus diobyektifkan dan dikonkritkan dalam dakwaan Penuntut Umum, terhadap perbuatan manakah yang dilakukan, apakah kebencian atau permusuhan, kepada siapa ditujukan, individu atau kelompok atau keduanya dan berdasarkan atas suku, atau agama, atau ras, atau golongan. Jika terhadap golongan yang dimaksudkan adalah golongan penduduk sebagaimana pernah diatur pada masa politik hukum pemerintah kolonial Belanda, yakni dalam Pasal 131 Indische Staats Regeling yang mengambil alih Pasal 75 Regeling Reglement, yang membagi penduduk di Hindia Belanda atas golongan Eropa, Bumi Putera dan Timur Asing, tidaklah dapat dibenarkan. Dikatakan demikian, oleh karena semenjak Indonesia merdeka pembagian golongan penduduk di zaman kolonial sudah tidak berlaku lagi. Terlebih lagi telah ada Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-Undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan kemudian yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. (Bersambung). [RN]
Penulis, Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Tim Ahli KAPPU Partai Bulan Bintang