Jakarta – Masa silam bukanlah sebatas hitungan masa tanpa makna, tapi sebuah pembelajaran untuk kita melangkah ke masa depan. Tahukah Anda? Dua pertiga Al-Qur’an disajikan dalam bentuk kisah. Al-Qur’an dan Al-Hadits ini merupakan pedoman hidup bagi manusia.
Mencermati lebih jauh, pesan-pesan moral yang yang terdapat di dalam Al Qur’an sebagian besar menjelaskan tentang kisah umat terdahulu dan utusan-Nya. Diantara kisah-kisah itu, ada kaum yang dibinasakan Tuhan, ada pula yang diselamatkan.
Simaklah, kenapa Tuhan mengingatkan manusia tentang kaum ‘Ad, kaumnya Nabi Hud as, yakni sebuah suku bangsa kuno yang tinggal di daerah Al-Ahqaf di sebelah utara Hadramaut, antara Yaman dan Oman. Mereka hidup pasca banjir besar pada masa Nabi Nuh. Kehidupan mereka dikisahkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Awalnya mereka merupakan sebuah suku yang sejahtera namun menyekutukan Allah dan menentang nabi yang diutus kepada mereka, kemudian Allah hancurkan mereka dengan angin badai yang mematikan.
Juga perhatikanlah Kaum Tsamud, kaumnya Nabi Shaleh, suatu kaum yang memiliki keahlian mengukir dan memahat bukit untuk dijadikan tempat tinggal mereka, saat ini dapat ditemui di Gunung Athlab dan hampir seluruh Arab bagian tengah. Dalam narasi Al-Qur’an, kaum Tsamud termasuk kaum yang mendustakan nabi, sehingga kaum tersebut dibinasakan dengan gempa bumi.
Juga perhatikanlah, bagaimana Tuhan menenggelamkan Fir’aun bersama balatentaranya. Begitu pula dengan kaumnya Nabi Nuh yang ditimpakan banjir besar. Kemudian musnahnya kaumnya Nabi Luth yang telah melampaui batas.
“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka Rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.” (QS: At Taubah (9) : 70).
Melalui kisah terdahulu, Tuhan memperingatkan manusia agar belajar dari masa silam, belajar dari sejarah, kenapa Tuhan membinasakan suatu negeri beserta kaumnya.
Belajar dari Sejarah
Kenapa kita harus belajar Sejarah ? Dalam QS Yusuf (12):111, Allah Swt berfirman: ”Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
Meskipun ayat di atas ditujukan guna memahami dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah (sejarah) nabi terdahulu beserta umatnya, bukan berarti kita sebagai umat muslim tidak perlu mengambil pelajaran atau nilai-nilai pendidikan suatu bangsa di masa sesudahnya.
Dalam ayat lain dijelaskan, “wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad” (Perhatikanlah sejarahmu, untuk masa depanmu). QS 59:18).
Hampir semua peristiwa penghancuran yang diceritakan dalam Al Quran “dapat diamati” dan dikenali berkat berbagai penelitian, arsip serta temuan-temuan arkeologis. Dalam penelitian ini kita akan berhubungan dengan jejak-jejak sisa peninggalan dari beberapa peristiwa penghancuran yang disebutkan dalam Al Quran.
Sebagai contoh, temuan arkeologis menjelaskan, banjir besar semasa Nabi Nuh as terjadi di dataran Mesopotamia. Kemudian, penggalian yang dilakukan oleh seorang arkeolog Sir Leonard Woolley di dataran Mesopotamia mengungkapkan adanya lapisan lumpur tanah liat setebal 2,5 m jauh di dalam bumi. Penemuan ini menjadi bagian bukti penting bahwa Banjir tersebut hanya terjadi di dataran Mesopotamia.
Bukti penggalian yang dilakukan Woolley dipaparkan oleh seorang arkeolog Jerman, Werner Keller, dalam bukunya The Bible as History: a Confirmation of the Book of Books.1 Bukti berikutnya ialah penemuan perahu Nabi Nuh di atas Gunung Agri atau Ararat di Turki. Perahu Nabi Nuh oleh Noah’s Ark Ministries International ditemukan pada ketinggian 13.000 kaki di Gunung Ararat, Turki timur.
Lakukan Perjalanan
Buku berjudul “Percikan Sains dalam Al Qur’an menggali Inspirasi Ilmiah” yang ditulis oleh Ir. H. Bambang Pranggono, MBA, IAI, menjelaskan, bahwa berpergian adalah sebagian dari iman.
“Mengapa mereka tidak berjalan di muka bumi, supaya memiliki hati yang dapat memahami, atau memiliki telinga yang bisa mendengar.” (QS al Hajj (22): 46).
Ayat lain menjelaskan: “Sungguh, telah berlalu sebelum kamu, sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalan kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. Al-Imran: 137).
“Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah (umat) yang telah lalu, dan sungguh, telah Kami berikan kepadamu suatu peringatan (Al Qur’an) dari sisi Kami.” (QS. Thaha: 99)
“Katakanlah (Muhammad), “Berpergianlah di bumi lalu lihatlah bagiaman kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. Ar-Rum: 42)
Dengan demikian, melakukan perjalanan adalah perintah Allah. Barangsiapa yang mematuhi perintah-Nya, tergolong orang yang beriman. Maka berpergian adalah sebagian dari iman, apa pun tujuan perjalanannya, selama bukan untuk maksiat.
Dalam Al Quran, 27 kali Allah berfirman tentang perjalanan, misalnya dalam QS al Hajj (22): 46 di atas, yaitu tujuan perjalanan adalah untuk membuka wawasan pemahaman dan mendengar lebih banyak, sehingga lebih bijaksana. Atau seperti dalam QS Ar-Rum (30) ayat 9, “Mengapa mereka tidak berjalan di muka bumi, supaya dia memperhatikan akibat orang-orang sebelum mereka?”
“Makna tujuan perjalanan dalam ayat ini agar manusia bisa mengambil pelajaran dari kesalahan orang pada zaman sebelumnya.Instruksi Allah ini relevan sepanjang zaman. Setiap generasi harus berusaha mengunjungi, melihat bekas kesusksesan atau kehancuran akibat perilaku generasi terdahulu. Bekas-bekas peninggalan orang-orang terdahulu — kafir atau muslim — harus dipelihara, dilestarikan untuk bisa dikunjungi. Itu esensi dari perintah Al Qur’an,” tulis Bambang.
Ilmu arkeologi dan konservasi menjadi vital dalam prosesi peningkatan keimanan. Pendekatan pelestarian akan selalu dibutuhkan terus menerus. Sebab, semua karya manusia yang sedang hidup saat ini kelak akan menjadi artefak, peninggalan sejarah bagi generasi mendatang.
Praktik penghancuran gedung dan peninggalan kuno demi proyek pembangunan harus dicegah dan diarahkan pada konsep revitalisasi serta penggunaan baru (new uses) dari bangunan bersejarah.
Bangsa yang survive dan unggul adalah bangsa yang dinamis, yang gemar mengembara, menjelajah, mengambil risiko, bertebaran di muka bumi. Sebaliknya, bangsa yang statis, jumud, lamban, enggan berhijrah, akan tersingkir dari percaturan dunia.
Sejarah mencatat kesuksesan bangsa Arab, Cina, Mongol, Spanyol, yang dahulu dengan gagah berani menjelajah dunia. Dunia menyaksikan kedigdayaan Amerika Serikat sebagai negara superpower saat ini, yang notebene keturunan para pengembara, imigran dari Eropa dan budak Negro dari Afrika yang berani mengadu nasib di benua baru itu.
Dunia juga akan menyaksikan keunggulan bangsa Palestina, bangsa Israel, bangsa Kurdi, yang selama ini pernah terusir mengungsi ke mana-mana. Umat Islam harus menjadi manusia ekstrovert, gemar menjelajah, berani membebaskan diri dari kungkungan kebekuan tradisi lokal, dari kejumudan.
Makna Sejarah
Secara terminologis, kata ‘sejarah’ diambil dari bahasa Arab, ‘syajaratun[1]’ yang berarti pohon. Secara istilah, kata ini memberikan gambaran sebuah pertumbuhan peradaban manusia dengan perlambang ‘pohon’. Yang tumbuh bermula dari biji yang kecil menjadi pohon yang lebat rindang dan berkesinambungan.
Maka sesungguhnya, dari petunjuk Al Qur’an, pengertian “syajarah” berkaitan erat dengan “perubahan”. Perubahan yang bermakna “gerak” kehidupan manusia dalam menerima dan menjalankan fungsinya sebagai “khalifah” (Q.S. 2: 30). Maka tugas hidup manusia dimuka bumi adalah :” menciptakanperubahan sejarah” (khalifah).
Untuk dapat menangkap pelajaran dari pesan-pesan sejarah di dalamnya, memerlukan kemampuan menangkap yang tersirat sebagai ibarat atau ibrah (pelajaran) di dalamnya. Seperti yang tersurat dalam Q.S. 12: 111, “laqad kana fi qashasihim ‘ibratun li ulil albab”. Sesungguhnya dalam sejarah itu terdapat pesan-pesan sejarah yang penuh perlambang, bagi orang-orang yang memahaminya.
Menurut Prof. Dr. H. Abd. Majid, M.A, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, tujuan mempelajari sejarah adalah untuk mendapatkan informasi dan pemahaman mengenai asal-usul khazanah budaya dan kekayaan di bidang lainnya yang pernah diraih oleh umat di masa lampau dan mengambil ‘ibrah (pelajaran) dari kejadian tersebut.
Belajar sejarah juga dapat membentuk watak dan kepribadian umat manusia. Sebab, dengan mempelajari Sejarah dan Kebudayaannya generasi muda akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari perjalanan suatu tokoh atau generasi terdahulu. Dari sejarah, generasi masa kini dapat mengambil pelajaran yang baik dari umat terdahulu dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik.
Fungsi Sejarah Menurut Al-Qur’an
Al-Quran membahas mengenai pokok -pokok bahasan yaitu mengenai akhlak, aqidah, ibadah, sejarah dan kisah. Al-Quran menganjurkan untuk mempelajari dan memahami sejarah dan kisah pada zaman dahulu serta mampu memperoleh ilmu dan hikmahnya.
Mengapa Allah memberikan rumusan, untuk memperoleh masa depan, harus menoleh kemasa lalu? Kisah masa lampau yang termaktub dalam Al-Quran digunakan sebagai pedoman untuk “Mengubah Sejarah” ditempat berbeda, dan waktu yang tidak sama. Sejarah memberikan Mau’idzah (pelajaran) bagi umat yang sadar dan mengalami perubahan.
Menurut Al-Qur’an, ada empat fungsi sejarah yang terangkum dalam QS. 11/120 : “Dan semua kisah rasul-rasul, kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran,nasihat (pelajaran) dan peringatan bagi orang yang beriman. (QS Hûd : 120)
Ke-empat fungsi itu, yaitu :
1) Sejarah berfungsi sebagai peneguh hati
2). Sejarah berfungsi sebagai pengajaran
Sejarah merupakan pendidikan (Ma’uidzah) Allah terhadap kaum muslimin, sebagai peringatan dalam menjalani risalah Rasul. Dalam surat al-A’râf ayat 176, Allah swt berfirman yang artinya sebagai berikut :”…Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”
Dengan sejarah umat Islam dituntut untuk berfikir (QS al-A’râf : 176) dalam arti menjadikan sejarah sebagai pelajaran dan peringatan untuk menentukan langkah berikutnya.
3. Sejarah berfungsi sebagai peringatan
Selain menjelaskan fungsi sejarah, Al-Qur’an juga menegaskan tentang akhir dari perjalanan sejarah. Sejarah juga mempunyai fungsi sebagai peringatan terhadap generasi berikutnya melalui peristiwa yang yang menimpa generasi sebelumhya. (Qs. 2:66 ; 4 : 84).
Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk melakukan penelitian (tandzirun) terhadap peristiwa sejarah. (Qs. 47 : 10 ; 12 : 109; 12 :46). Melalui pengkajian sejarah maka tidak akan ada setiap peristiwa besar atau kecil menjadi sia-sia tanpa tujuan. Aktifitas tandzirun tidak akan melahirkan zikra (peringatan), jika tidak dilandasi tadabbur (membaca ayat Kalamiyah Al-Qur’an).
4. Sejarah sebagai sumber kebenaran
Sejarah memberi petunjuk arah bagi manusia. Orang yang memahami sejarah akan mengerti bahwa kehidupan ini dimulai dari mana, bagaimana menjalani hidup yang sebenarnya dan akan kemana perjalanan hidup ini berakhir. Jadi sejarah akan menerangi setiap langkah yang telah, sedang dan akan dijalani (Qs. 4 : 137-138 ; 12 : 111)
5. Sejarah sebagai tashdiq (membenarkan, meneguhkan).
Maksudnya adalah sejarah menjadi legalitas (landasan kebenaran). Landasan kebenaran sejarah hari ini diukur dari peristiwa sejarah masa lalu; apakah ada kesinambungan dan kesesuaian antara sejarah hari ini dengan sejarah ummat masa lalu.
Betapa tidak, dengan memahami sejarah dengan baik dan benar, kaum Muslimin bisa bercermin untuk mengambil banyak pelajaran dan membenahi kekurangan atau kesalahan mereka guna meraih kejayaan dan kemuliaan dunia dan akhirat.
“Orang yang berbahagia (beruntung) adalah orang yang mengambil nasehat (pelajaran) dari (peristiwa yang dialami) orang lain.” [Riwayat Muslim]
Sangat disayangkan, sebagian orang memandang bahwa sejarah dan masa lalunya tidak penting. Ironisnya lagi, buku-buku sejarah mereka ternyata berada di pustaka atau museum negeri lain. Peninggalan sejarah dianggap tak lebih hanya sebagai bebatuan dan seonggoh kayu biasa.
Bahkan ada juga sebagian bangsa yang tidak mengenal peradabannya sendiri. Bagi mereka tidak penting apapun yang akan terjadi menimpa pada peradabannya, padahal suatu bangsa tanpa peradaban, budaya dan sejarah adalah bangsa yang mati, karena sebagian banyak dari pemikiran dan idiologi masyarakat bergantung pada peradaban, budaya dan sejarahnya.
Bangsa tanpa sejarah dan peradaban tak ubahnya seperti boneka mainan kecil yang mudah dimainkan oleh yang lain dan bebas diubah semaunya.
(Diolah oleh: Desastian)