(Panjimas.com) – Pernah mengalami kejadian seperti berikut?
Kasus 1; pas kumpul bareng teman-teman alumni waktu sekolah dulu. Eh ada yang pake hape pintar keluaran terbaru, dalam hati membatin, “duh, hape nya bagus banget ya, itu beli di mana ya. Kayanya hape ku juga sudah waktunya diganti deh .
Kasus 2; suatu ketika melihat tetangga lewat di depan rumah, naik motor keluaran terbaru pula. Dalam hati ngilerpun tak tertahankan “duh, motor itu bagusnya, andaikan jadi milikku”.
Dalam proses interaksi di tengah masyarakatpun terkadang kita bisa terpengaruh. Apa yang dimiliki oleh orang lain ingin pula kita miliki. Wajar, karena itu adalah fitrah diri sebagai makhluk yang disebut manusia.
Fakta Sistem Kapitalis
Untuk memenuhi setiap tuntutan hidup di tengah arus kapitalisme ini. Kadang kala seseorang bahkan bertindak diluar batas kewajaran. Bayangkan saja seorang pegawai biasa atau karyawan kecil di sebuah perusahaan atau sebuah instansi pemerintah, tetapi ia dapat tampil dengan gaya hidup yang serba glamor, dan mewah. Biar bisa eksis, punya barang mahal, rumah bagus, mobil lux, jam tangan trendy, tas, sepatu yang serba kekinian dls. Segala macam hal yang menjadi tuntutan gaya hidupnya harus dipenuhi. Hidup hanya demi kepuasan materi dan materi.
Dunia perkreditan pun kini semakin banyak digandrungi oleh masyarakat. Mulai dari pengusaha besar hingga penjual cilok. Mulai dari bos pemilik perusahaan ternama hingga ibu rumah tangga. Tak ada yang lepas dari hutang piutang. Hanya saja ada yang sedikit berbeda yaitu; jika sebagian orang ada yang berhutang pada teman atau tetangga, maka sebagian yang lainnya ada yang berhutang pada rentenir, jasa simpan pinjam, pegadaian hingga perbankan.
Masyarakat pun banyak yang beranggapan bahwa “bagaimana mungkin dapat memiliki barang mewah, jika hanya dengan mengharapkan gaji. Apalagi sebagai seorang pegawai biasa”. Karena itu untuk memenuhi standar hidup tertentu maka ditempuhlah jalan pintas dengan cara berhutang atau melakukan transaksi ribawi.
Hanya dengan modal SK Pegawai (bagi seorang PNS) atau surat berharga lainnya yang dapat dijadikan jaminan, maka seseorang dapat dengan leluasa mengambil pinjaman di bank atau bisa juga melalui jasa pegadaian dan simpan pinjam. Dan pada dasarnya, cara kerja semuanya selalu sama yaitu pinjaman yang diberikan akan dikembalikan berserta bunga. Ironisnya, selalu saja ada orang-orang yang bersedia melakukan transaksi tersebut walaupun bunga yang ditetapkan lumayan besar.
Praktek ribawi ini telah banyak merambah di berbagai daerah. Mulai dari kota besar hingga daerah terpencil. Berbagai macam barang dapat dimiliki dengan cepat hanya dengan modal kredit. Iklan-iklan layanan menjamur di mana-mana, dengan gaya bahasa yang cukup provokatif. “Hanya dengan uang muka 100rb rupiah, anda sudah bisa membawa pulang hape baru” atau kalimat semisal “dapatkan kepuasan berbelanja hp keluaran terbaru, hanya dengan cicilan bunga sekian persen”.
Yah, jika untuk barang sekelas hape saja sudah bisa dijadikan komoditas perkreditan lalu bagaimana lagi dengan barang-barang sekelas motor, mobil, rumah, dls. Lihat sendiri di mana-mana jasa leasing tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan. Hanya dengan modal uang 500 ribu seseorang bahkan bisa memiliki sepeda motor baru melalui kredit. Belum lagi jasa properti bersama cicilan KPRnya (kredit kepemilikan rumah). Semua itu semakin menumbuhkan sifat konsumerisme di kalangan masyarakat. Walaupun banyak pula yang ujuang-ujungnya tidak berhasil melunasi cicilan bunga tersebut dan akhirnya barang miliknya akan disita oleh pihak bank atau pihak yang memberi hutang.
Padalah jika mau sedikit saja berhemat, maka bagi pegawai kecil dengan penghasilan sekitar 2 hingga 3 juta rupiah perbulan ia sudah bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Walaupun secara pas-pasan. Namun lagi-lagi ia akan terkendala dengan beban hidup lainnya, seperti tingginya harga sembako dan bbm, naiknya TDL (tarif dasar listrik), serta mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Inilah akibat dari tidak diterapkannnya aturan Allah dalam segala aspek kehidupan umat.
Riba Dalam Pandangan Islam
Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. (Wikipedia).
Allah SWT melarang keras praktek riba ini sebab terdapat kemudharatan yang besar di dalamnya. Al-quran dan hadist pun telah banyak meriwayatkan tentang haramnya riba. Diantaranya ;
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah/2: 278].
Sedangkan dalam ayat lain Allah berfirman; “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…” [Ar-Ruum/30: 39].
Dalam riwayat hadist pun dijelaskan;
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya).
Sedangkan dari sisi kemaslahatan umat. Riba dapat menyebabkan hancurnya tatanan perekonomian suatu negeri. Menjadikan jurang yang cukup dalam antara para pemilik modal (orang kaya) dengan masyarakat kelas menengah ke bawah. Memberikan fakta bahwa ada gap antara kebutuhan yang disebut tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas. Sebab segala sesuatu diukur dengan materi.
Solusi Tuntas
Islam telah hadir dan memberikan solusi mendasar terhadap permasalahan yang terjadi di tengah umat termasuk riba. Sebab Islam bukan saja dien yang mengatur tentang perkara ruhiyah semata. Tetapi Islam pun merupakan mabda (ideologi) yang terlahir dari akidah Islam itu sendiri dan mempunyai seperangkat aturan guna mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, diantaranya yaitu hubungan antara manusia dengan Rabb-nya (tatacara ibadah), manusia dengan dirinya sendiri (akhlak, pakaian, makanan), juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya (muamalah).
Yang mana didalam muamalah tersebut terdapat berbagai macam sistem yang mengatur tentang pelaksanaan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, diantaranya adalah; sistem perekonomian, sistem sosial, sistem politik, sistem hukum pemerintahan, sistem peradilan dan sistem pendidikan. Disamping itu pula terdapat sanksi tegas yang akan diberikan apabila terdapat pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Untuk itu, bersediakah jika kita mengembalikan segala problematika kehidupan ini kepada Allah SWT? Sebab Ia bukan saja bertindak sebagai Sang Pencipta, akan tetapi juga sebagai Sang Pengatur bagi kehidupan makhlukNya. Bersediakah kita memegang bara api sunnah di tengah ganasnya zaman ini? Sebab jika bara itu dilepas dari genggaman maka ia akan berubah menjadi api yang siap melahap.
Dan akhirnya, tetapkanlah tujuan akhir dari perjalanan kehidupan ini. Apakah ridho Allah yang ingin kita raih ataukah kesenangan semu duniawi?! [RN]
Wallahu a’lam bis showab
Penulis, Rahmiani. Tiflen
Muslimah Voice Of Papua Barat dan Praktisi kesehatan
Tinggal di Kaimana