(Panjimas.com) – Seperti bangun dari mimpi, segera memori ini kembali tersadar bahwa ini sudah 2018. Sedikit mengikuti berita akhir-akhir ini, ada beberapa laman online menuliskan judul artikel yang sontak menggelitik pemikiran ini “Kala Presiden Menyusuri Malioboro, Sandal Jepit dan Kaos Oblong Menjadi Incarannya” (Tribunnews.com edisi 31 Desember 2017). Versi (Tempo.Co) ” Jokowi Blusukan ke Malioboro Bersama Anak, Cucu, dan Menantu”. “Pakai Kaus dan Sepatu Kets, Jokowi Resmikan Kereta Bandara” (Kompas.com- 02 Januari 2018).
Fenomena yang diangkat oleh media nasional ini sepertinya sudah tidak asing lagi, angin-angin jelang pemilu sudah dekat yang berkorelasi positif dengan menjamurnya iklan-iklan pencitraan para tokoh politik. Benar sekali Pemilihan umum (pemilu) menurut pihak tertentu masih dianggap sebagai ajang pesta demokrasi, yang konon katanya ajang 5 tahunan ini menjadi pengokoh demokratisasi di negeri ini. Ajang 5 tahunan ini juga seolah menjadi harapan baru bagi rakyat untuk memperbaiki kondisi negeri ini.
Rakyat berharap dengan memberikan suara kepada pihak yang tepat, maka kondisi negeri ini akan membaik. Menelisik pola masyarakat yang terus terkelabui, ada kerusakan akut dalam sistem demokrasi yakni adanya kerusakan paradigma kepemimpinan dan urgensitas dalam memilih pemimpin, yang akhirnya berakhir pada pergantian rezim belaka yang tak mampu memberikan perbaikan apapun pada negeri ini. Lagi-lagi ujungnya adalah kekecewaan.
Dalam Islam, kepemimpinan memiliki dimensi duniawiyah dan ukhrawiyah. Sehingga yang akan muncul adalah orang-orang yang benar-benar siap memimpin dengan syariat dan siap bertanggungjawab di dunia dan akhirat. Bukan hanya sekedar ingin berkuasa dan menikmati kekuasaan duniawi ataukah sekedar memenuhi syahwat parpol belaka. Maka bisa kita lihat keteladanan para pemimpin Islam, sebagaimana kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, hingga Sultan Muhammad Al Fatih beliau semua adalah sosok yang siap memimpin dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya di dunia dan akhirat. Tentulah bukan sekedar hasil pencitraan atau rekayasa media sebagaimana saat ini. Semoga masyarakat mampu memahami hakikat kepemimpinan yang syar’i agar mereka tidak kecewa kesekian kali. [RN]
Penulis, Ana Ummu Al Fatih
Tinggal di Gresik