(Panjimas.com) – Awal tahun 2018 ini kita kembali disuguhkan oleh pemberitaan yang membuat ketakutan bagi para orang tua dan masyrakat umumnya. Terungkapnya kasus pelecehan seksual terhadap 41 anak oleh seorang seorang pria berinisial WS di Tangerang. Selain itu di tempat seorang pria berinisial Zu (32) yang diduga melakukan tindak pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur di sebuah kolam renang umum. (tribunbatam.id).
Kasus pelecehan terhadap anak, memang bukanlah fenomena baru yang terjadi di negeri ini, namun yang menjadi sorotan ketika hal ini terus terulang. Hal ini menunjukkan bagaimana anak-anak kita sudah tidak terlindungi lagi.Kehormatan dan masa depannya tidak mampu terlindungi dengan baik, banyak kejahatan yang mengintainya di luar sana. Anak yang kelak menjadi generasi masa depan suatu bangsa, justru dirusak. Hal ini sangat berpengaruh pada kondisi bangsanya kelak.
Pelecehan Seksual anak dan masa depan generasi bangsa
Secara umum definisi pelecehan seksual adalah setiap tindakan/perilaku/gerak gerik seksual yang tidak dikehendaki dalam bentuk verbal (kata-kata) atau tulisan, fisik, tidak verbal, dan visual untuk kepentingan seksual, memiliki muatan seksual, sehingga menyebabkan kemarahan, perasaan terhina, malu, tidak nyaman, dan tidak aman bagi orang lain.
Adapun bentuknya pelecehan seksual pada anak bisa melalui sentuhan maupun tanpa sentuhan, bentuk-bentuk pelecehan seksual dengan sentuhan, diantaranya: Menyentuh organ-organ vital yang sensitif ; Kontak oral genital; Melakukan hubungan seksual. Sedangkan bentuk-bentuk pelecehan tanpa sentuhan, diantaranya: Mencoba untuk melihat tubuh anak yang telanjang; Melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik dengan maksud seksual; Menunjukkan alat kelamin pada anak atau gambar-gambar bernuansa seksual; Eksibisionisme—memamerkan organ seksual; Mengekspos anak untuk tujuan pornografi.
Lalu bagaimana dampak bagi anak yang mengalami pelecehan seksual ini? Menurut pengamat Psikologi Universitas Indonesia (UI), Fitriani F Syahrul menjelaskan, dampak psikologis pada korban anak-anak biasanya tidak berbeda jika ditinjau dari jenis kelamin. Selain karakteristik kepribadian, jenis pelecehan seksual yang dialami juga memberikan dampak yang berbeda.Seperti pelecehan fisik biasanya meninggalkan trauma yang lebih besar dibandingkan kekerasan pelecehan verbal. Selain itu, frekuensi dan durasi terjadinya pelecehan seksual juga berpengaruh terhadap dampak yang ditimbulkan ketika sang anak besar nanti. (indopos,com)
Selain itu, menurut psikolog Irna Minauli dampak anak yang mengalami pelecehan seksual ketika dewasa nanti dia akan mengalami fobia pada hubungan seks. Bahkan bisa terjadi dampak yang lebih parah, dia akan terbiasa dengan kekerasan sebelum melakukan hubungan seksual. Bisa juga setelah menjadi dewasa, anak tesebut akan mengikuti apa yang dilakukan kepadanya semasa kecilnya yakni menjadi pelaku kejahatan seksual.
Dampak yang dijelaskan diatas merupakan dampak yang bersifat psikis, dampak yang lain adalah dampak berupa fisik, yaitu ada cedera pada kemaluan atau anus anak, termasuk HIV AIDS dan penyakit menular lainnya. Kita bisa bayangkan bagaimana jika satu negeri dihuni oleh generasi yang berpenyakit secara fisik dan psikis. Masa depan negeri itu pastilah akan rusak karena generasi inilah yang nantinya akan mengisi kepemimpinan di negeri tersebut.
Lalu apa faktor penyebab pelecehan ini terus terjadi? dan kenapa terjadi pada anak-anak? Terkait faktor penyebab, seperti yang dikutip dari Docstoc, ada 7 alasan orang melakukan pelecehan seksual,(health.detik.com)
- Lingkungan sosialnya: Kondisi dimana seorang laki-laki dan perempuan dibesarkan akan mempengaruhi bagaimana perilakunya nanti.
- Suasana sekitar yang mendukung: Biasanya pelecehan seksual lebih banyak terjadi di fasilitas umum terutama pada angkutan umum yang penuh, sehingga seseorangsuka mencari-cari kesempatan.
- Memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.
- Stres terhadap perkawinannya
- Mengalami penurunan moral.
- Memiliki perilaku seks yang menyimpang
- Kurangnya peraturan hukum yang ada
Sedangkan pengamat Sosiolog Univeristas Indonesia (UI), Devi Rahmawati menyebutkan, munculnya tindakan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur banyak dipengaruhi oleh budaya asing yang masuk ke tanah air. Seperti unsur dalam film dan lain sebagainya.
Demokrasi-Kapitalisme Biang Maraknya Pelecehan Seksual
Berkaitan dengan 7 alasan yang disebutkan di atas sesungguh harus diakui, ini merupakan dampak dari sistem sosial Kapitalis (an-nidhâm al-ijtimâ’î ar-ra’samâlî), yang membuka kebebasan bertingkah laku (hurriyah syakhshiyyah), dimana hubungan antara pria dan wanita begitu bebas, hingga tanpa batas. Hubungan bebas pria dan wanita tanpa batas ini melengkapi komoditas, fakta dan fantasi seks yang ada. Bagi orang-orang yang berduit mungkin bisa memenuhinya dengan kencan semalam, tetapi bagi yang tidak, maka tindakan yang bisa dilakukan akan memangsa korban yang lemah terutama anak-anak. Terjadilah tindak perkosaan (jarîmah ightishâb) itu. Model pergaulan yang demikian ini diajarkan oleh ideology kapitalisme yang memisahkan urusan agama dari kehidupan (sekuler).
Selain itu prinsip kebebasan berperilaku (liberalisme) yang melekat pada system demokrasi, membawa konsekuensi berupa keharusan adanya jaminan Negara atas hak-hak individu, hak-hak minoritas dan penjagaan atas keragaman di dalam masyarakat, seperti kelompok-kelompok lesbi gay, biseks, waria yang menuntut untuk dilindungi sebagai hak asasi. Dari prinsip ide ini lah yang menyebabkan semakin meningkatkan pelecehan seksual ini.
Solusi
Kejahatan seksual (jarîmah jinsiyyah) ini pada dasarnya dipicu oleh hasrat dan dorongan seks (dawâfi’ jinsiyyah) yang membuncah. Hasrat dan dorongan seks ini lahir dari naluri seksual (gharizatu an-nau’) yang ada pada diri manusia. Naluri ini sebenarnya merupakan fitrah dalam diri manusia, yang bisa terangsang lalu menuntut dipenuhi. Rangsangan muncul karena dua faktor: Pertama, pemikiran (al-fikr), termasuk fantasi (al-wahm) dan khayalan (at-takhayyul); Kedua, fakta (lawan jenis) bagi masing-masing pria dan wanita.
Dalam sistem pergaulan Islam, ada beberapa prinsip yang harus dipahami oleh setiap individu masyarakat, diantaranya:
Pertama, Islam memandang bahwa hubungan laki-laki dan perempuan berorientasi takwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Pemenuhan kebutuhan seksual itu dipenuhi sesuai ketentuan syariat, yaitu hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri saja. Jika dilakukan oleh selain suami istri hukumnya haram dan pelakunnya akan dikenai hukuman.
Kedua, Islam memerintahkan baik kepada laki-laki maupun perempuan untuk saling menjaga pandangan.QS An Nuur: 30-31.
Ketiga, Islam melarang gaul bebas antara laki-laki dan perempuan, yaitu kholwat atau berduaan antara laki-laki dan perempuan. ikhtilat atau campur baur antara laki-laki dan perempuan. Serta mewajibkan bagi wanita untuk menutup seluruh auratnya demikian pula bagi laki-laki.
Keempat, Islam menyediakan sanksi bagi yang melanggar ketentuan syariat.
Selain aturan diatas, sistem Islam pun memberikan pendidikan seks kepada anak, yang merupakan bentuk penjagaaan terhadap mereka, seperti yang di jelaskan oleh Dra. (Psi) Zulia Ilmawati (dakwah.info), diantaranya:
- Menanamkan rasa malu pada anak. Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain. Membiasakan anak perempuan sejak kecil berbusana Muslimah menutup aurat.
- Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan.
Adanya perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi yang berbeda yang kelak akan diperankannya.
- Memisahkan tempat tidur mereka. Usia antara 7-10 tahun merupakan usia saat anak mengalami perkembangan yang pesat.
- Mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu). Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta izin.
- Mendidik menjaga kebersihan alat kelamin. Mengajari anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga mengajari anak tentang najis
- Mengenalkan mahram-nya.
Selain dalam penjagaan terhadap interaksi sosial disisi lain, Islam juga memberlakukan sanksi yang tegas dan keras terhadap pelaku tindak perkosaan. Dalam hal ini para ulama’ menyatakan, bahwa sanksi bagi pelaku tindak perkosaan ini adalah had zinâ, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya Muhshan (sudah menikah); dan dijulid (dicambuk) 100 kali dan diekspos selama 1 tahun, jika pelakunya Ghair Muhshan (belum menikah). Sebagian ulama’ menambahkan kewajiban membayar mahar kepada perempuan yang menjadi korban.
Adapun jika kasusnya terhadap sesama jenis pelaku, seperti yang dilakukan WS, maka hal itu termasuk pada liwath atau sodomi. Ada tiga pendapat, mengenai hokum liwath atau sodomi, yaitu:
- Pendapat yang mengatakan bahwa pelakunya harus dibunuh secara mutlak.
- Pendapat yang mengatakan bahwa pelakunya harus diberi sanksi (ta’zir). Pendapat ini didasarkan ketika para sahabat Rasulullah. diantaranya Nashir, Qosim bin Ibrahim dan al-Syafi’i (dalam satu pendapat) mengatakan bahwa hadd terhadap pelaku liwath adalah hukum bunuh, meskipun pelakunya masih jejaka (ghoiru muhson),baik ia mengerjakan maupun yang dikerjai.
- Para tabi’in diantaranya Sa’id bin Mussayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan Qotadah, Nakhai, al-Tsauri, al-Auzai, dan al-Syafii dalam satu pendapat mengatakan bahwa pelaku liwath yang masih jejaka dijatuhi hukuman hadd dera dan dibuang. Sedangkan pelaku liwath yang duda (muhson) dijatuhi hukum rajam. (referensimakalah.com)
Demikianlah Islam memberikan perlindungan terhadap manusia dan anak didalamnya untuk menjaga kehormatanya. Negara dalam Islam memiliki peran penting dalam menjaga kehormatan umat manusia, termasuk anak-anak sebagai generasi umat. Negara ini tak lain adalah Khilafah. Khilafah memiliki tanggung jawab untuk memelihara akidah Islam dan terlaksananya hukum-hukum Allah secara sempurna ditengah-tengah kehidupan. Sebagai pelaksana hukum-hukum Allah dan RasulNya.
Hanya saja keberlangsungan penerapan syariat Islam ini membutuhkan penopang, yaitu, terwujudnya ketaqwaan para individu masyarakat dan adanya kontrol yang kuat dari masyarakat. Selain itu Islam telah menetapkan bahwa orang tua memiliki peranan besar dalm mendidik dan mengarahkan anak-anaknya. Seperti yang sudah dijelaskan diparagraf sebelumnya.
Selain pilar Negara dan individu atau keluarga, maka masyarakat memiliki peran yang stategis dalam mengontrol perilaku anggota masyarakat lainnya, termasuk mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa. Lewat kontrol inilah kondisi masyarakat diperbaiki dan menjadi tempat yang baik bagi tumbuh kembang anak-anak setelah keluarganya. Maka disini akan terbentuk para generasi umat yang tangguh dan berkualitas yang akan membawa pada kegemilangan. [RN]
Penulis, Sri Nurhayati, S.Pd.I
Pengisi Keputrian SMAT Krida Nusantara