SOLO, (Panjimas.com) – Sepanjang tahun 2017 Masa Orientasi Studi (MOS) baik siswa SD, SMP dan SMA di tanah air hampir bisa dikatakan tidak ada berita kekerasan yang mencolok. Artinya pihak penyelenggara pendidikan sudah berbenah sangat baik dalam cara mengenalkan siswa didik baru dalam lingkungan sekolah.
Berhasilnya pelaksanaan MOS tidak berarti tidak ada lagi kekerasan terhadap anak. Fakta sangat mengejutkan dirilis oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada 27 Desember 2017, dimana menurut Komnas PA sepanjang tahun 2017 telah menerima laporan atau aduan 2.737 kasus kejahatan terhadap anak. Jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun 2016 tercatat 3.339 kasus kekerasan terhadap anak.
Dari jumlah 2.737 kasus pelecehan seksual terhadap anak tersebut, 52 persen dari laporan tersebut merupakan kasus kekerasan seksual atau 1.424 kasus, kekerasan fisik sebanyak 825 kasus (30 persen), dan kekerasan bentuk lainnya sebanyak 11 kasus (1 persen). Yang sangat memprihatinkan adalah dari 1.424 kasus kekerasan seksual yang terjadi, sodomi terhadap anak menjadi kasus yang paling tinggi yaitu 771 kasus, kemudian pencabulan 511 kasus, perkosaan sebanyak 122 kasus, dan incest sebanyak 20 kasus.
“Apabila ditilik dari sisi korban dari kekerasan seksual tersebut ternyata anak TK dan SD menjadi sasaran terbesar, yaitu sebanyak 1.433 anak, kemudian anak SMA sebanyak 513 anak, dan terakhir anak SMP sebanyak 498 anak.” Ujar Najib A Gisymar Ketua Perkumpulan Alumni Sma Muhammadiyah Siji (Pamuji) melalui releasenya Ahad, (31/12).
Meskipun jumlah kekerasan seksual terhadap anak tahun 2017 menurun dibandingkan tahun 2016 yaitu sebanyak yaitu tercatat sebanyak 3.339 kasus, hal tersebut tetap menjadi suatu yang sangat memperihatinkan.
Najib menambahkan, selain kekerasan seksual kepada anak tersebut, fakta lain yang sangat memperihatikan adalah penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang terus meningkat dan telah meracuni pelajar dan mahasiswa. Kepala Badan Nasional Narkotika (BNN) Komjend Budi Waseso dalam kunjungan kerjanya ke Aceh pada 20 Desember 2017 menyampaikan, berdasarkan hasil survei, angka penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah mencapai 2,18 persen atau sekitar 4 juta jiwa. Diperkirakan bahwa setiap hari sebanyak 33 orang meninggal akibat penyalahgunaan narkoba atau sebanyak 12.044 penyalahguna per tahun. Pada kelompok pelajar dan mahasiswa sebesar 1,9 persen atau 2 dari 100 orang pelajar dan mahasiswa menyalahgunakan Narkoba.
Pemerintah sangat menyadari perlunya menyelamatkan generasi muda sebagai penerus masa depan bangsa. Mengingat pentingnya hal tersebut Presiden tanggal 6 September 2017 telah menerbitkan melalui Peraturan Presiden No. 8 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dengan pertimbangan bahwa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya merupakan negara yang menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti. Guna mewujudkan bangsa yang berbudaya maka perlu dilakukan penguatan nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab, perlu penguatan pendidikan karakter.
“Mencermati realitas tersebut, kita tidak bisa berpangkutangan hanya mengandalkan pihak sekolah mendidik karakter dan akhlaq anak didiknya semata. Orangtua, masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya perlu secara serius mengawasi dan mengawal anak-anak kita menapaki masa depan denga akhlaq dan ilmu sehingga tidak terjadi lagi kekerasan seksual pada anak serta terhindar dari penyalahgunaan narkoba.” Pungkasnya. [RN]