(Panjimas.com) – Yang jadi pegangan adalah yang tertulis di Fatwa MUI, bukan sekadar omongan oknum-oknum MUI. Ramai di media, soal ucapan selamat natal. Sejatinya, MUI telah mengeluarkan.
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 56 Tahun 2016
Tentang
HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM.
Fatwa itu Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :
14 Rabi’ul Awwal 1437 H
14 Desember 2016 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA
Sekretaris
Intinya:
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan :
Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.
Kedua : Ketentuan Hukum
- Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
- Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
(Selengkapnya lihat di sini: Fatwa MUI: Menggunakan Atribut Non Muslim Haram!).
Mengenai ucapan selamat natal, dalam fatwa MUI itu dicantumkan di antaranya:
Dalam poin
MEMPERHATIKAN :
- Pendapat Imam Khatib al-Syarbini dalam kitab “Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Jilid 5 halaman 526, sebagai berikut:
ﻭَﻳُﻌَﺰَّﺭُ ﻣَﻦْ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭَ ﻓِﻲ ﺃَﻋْﻴَﺎﺩِﻫِﻢْ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻤْﺴِﻚُ ﺍﻟْﺤَﻴَّﺔَ ﻭَﻳَﺪْﺧُﻞُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺬِﻣِّﻲٍّ ﻳَﺎ ﺣَﺎﺝُّ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻫَﻨَّﺄَﻩُ ﺑِﻌِﻴﺪِﻩِ….
“Dihukum ta’zir terhadap orang-orang yang menyamai dengan kaum kafir dalam hari-hari raya mereka, dan orang-orang yang mengurung ular dan masuk ke dalam api, dan orang yang berkata kepada seorang kafir dzimmi ‘Ya Hajj’, dan orang yang mengucapkan selamat kepadanya (kafir dzimmi) di hari raya (orang kafir)…”.
(Kemudian poin MEMPERHAIKAN pada butir ke-6):
- Pendapat Imam Ibnu Qoyyim al Jauzi dalam kitab Ahkam Ahl al-Dzimmah, Jilid 1 hal. 441-442:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه
“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari raya ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan “selamat pada hari raya ini” dan yang semacamnya. Maka ini, jika orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, maka ini termasuk perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka setara dengan ucapan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”
***
Walaupun fatwa MUI itu mengenai HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM, namun jelas-jelas mencantumkan dua poin fatwa ulama yang tegas-tegas mengharamkan ucapan selamat untuk perayaan agama selain Islam.
Oleh karena itu kalau ada oknum MUI yang menyatakan belum pernah mengeluarkan fatwa haramnya ucapan selamat natal (namun kenyataannya mencantumkan/ mengutip fatwa yang sangat tegas:
Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari raya ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan “selamat pada hari raya ini” dan yang semacamnya. Maka ini, jika orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, maka ini termasuk perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka setara dengan ucapan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” ), maka oknum MUI itu ibarat lempar batu sembunyi tangan.
Ada apa?
Sekarang yang dibesar-besarkan media adalah perkataan oknum-oknum MUI yang membolehkan atau tidak melarang atau tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang haramnya ucapan selamat natal. Padahal, secara herargi keilmuan, perkataan oknum-oknum MUI, ketika bertentangan dengan yang tertulis di fatwa MUI, maka omongan mereka itu tidak perlu dipakai. Jadi, yang dipakai mestinya justru yang tertulis, yang jelas mengutip fatwa yang tegas dan jelas tentang haramnya mengucapkan selamat terhadap perayaan ataupun syiar kekafiran/ agama selain Islam. Media-media (terutama media Islam) selayaknya tidak usah ikut-ikutan membingungkan umat Islam. Perlu senantiasa kita waspada an taqwa kepada kepada Allah Ta’ala.
Semoga hal ini jadi pelajaran berharga bagi Umat Islam. [RN]
Penulis, UstadzHartono Ahmad Jaiz