(Panjimas.com) – Sudah lebih satu tahun, pagelaran (International Conference of Islamic Media – ICIM) diselenggarakan di Jakarta. Hasil strategis yang dibahas adalah bagaimana penyatuan agenda media massa Islam dunia – kususnya Indonesia – untuk menjadikan Al-Quds Ashsharief sebagai wilayah yang harus dipertahankan oleh para pejuang media. Secara umum, Palestina yang terus ditindas layak dijadikan konten yang terus disebarkan kepada masyarakat dunia.
Setidaknya, penyebarakan tentang Al-Quds Ashsharief dapat membuka mata dunia tentang apa sebenarnya yang terjadi di sana. Selama ini, bangsa kita selalu mendapat konten yang sepihak, yang tidak objektif, yag selalu merugikan ummat Islam khususnya yang ada di Palestina. Padahal, kekejaman Israel sudah sangat di luar batas, namun tidak dipublikasikan secara adil.
Kini, kita mendapatkan momentumnya kembali, dimana media massa Islam untuk kembali mengingatkan pentingnya menjadikan Al-Quds Ashsharief sebagai konten media. Bahkan kini, persoalannya bukan lagi antara Islam dan non Isam, tetapi sudah masuk pada ranah kemanusiaan. Ketidak adilan global sudah ditabuh dan semakin nyaring, media harus menunjukkan profesionalismenya untuk memastikan keberpihakannya pada kemanusiaan yang sifatnya universal.
Salah satu rekomendasi dari ICIM adalah pentingnya membentuk International Muslim Media Alliance (IMMA). Saat itu, isu yang berkembang adalah diskriminasi Islam dalam skala gobal. Islam dalam konteks Palestina tidak mendapat porsi pemberitaan yang berimbang dari media-media besar yang memiliki pengaruh besar pada publik, sehingga publik dunia tidak mengetahui tentang peristiwa yang sebenarnya. Dalam konteks yang lain, ketidak adilan juga terkait dengan diskiriminasi Islam dalam berbagai kasus di dunia, termasuk di tanah air. Contoh kongkritnya misanya pada kasus-kasus terorisme yang selalu diidentikkan oleh media dengan Islam. Bahkan nyaris tidak ada peliputan mendalam tentang para pelaku teror. Jika pelaku teoror dilakukan non muslim, nyaris luput dari pemberitaan, atau tidak disebutkan identitas keagamannya.
Kebersamaan media-media massa Islam dalam mengusus agenda Palestina menjadi lebih urgen, sebab menyangkut kehormatan ummat Islam dunia. Sesungguhnya, secara faktual, media massa Islam, baik di negara Timur Tengah, di Asia, bahkan di negara-negara lain pun sebenarnya selalu ada dan tumbuh beserta kaum muslimin. Keberadaannya memberikan kontribusi bagi masyarakat khususnya ummat Islam di mana media itu hadir. Namun disadari, bahwa keberadaan media massa Islam itu masih berjalan sendiri-sendiri dan belum memiliki ikatan yang kuat antar satu dengan lainnya. Kerjasama dalam berbagai bentuk, baik pada aspek konten, manajemen, SDM, dan yang lainnya, belum terbangun kerjasama yang memadai.
Petingnya kerjasama media massa Islam juga ditegaskan Imam Besar Mesjid New York Syamsi Ali. Syamsi meyakini ke depan media massa Islam akan jauh lebih kuat lagi. Media massa Islam akan lebih pro aktif lagi dalam membela kepentingan ummat Islam. Bahkan media massa Islam sesungguhnya tidak akan menjadi media yang ekslusif, sebab sesuai dengan ajaran Islam, media massa Islam juga akan menjadi media yang universal dan dipersembahkan untuk kepentingan kemanusiaan yang lebih luas lagi.
Lagi-lagi, peristiwa di Palestina merupakan momentum untuk kembali melihat ke dalam, sejauh mana solidaritas media massa Islam dalam menyusun agenda bersama untuk membangun peradaban ini. Palestina menjadi perekat, isu bersama, dan wilayah yang dapat menyadarkan akan arti penting kebersamaan.
Dari Al-Quds Ashsharief semuanya berawal. Kesadaran keberagamaan benar-benar diuji. Media massa Islam sudah saatnya bangkit dan menjadi mazhab pemberitaan dunia atas peritiwa-peristiwa kebiadaban yang senantiasa dilakukan kaum zionis. Selain memberikan pencerahan, media massa Islam juga secara objektif dapat membuka mata dunia tentang ketidak adilan yang dilakukan negara adidaya yang nihil moral dan anti HAM.
Bagi ummat Islam yang tidak bergerak di media massa, sudah selayaknya memberikan dukungannya dengan berbagai cara. Masyarakat Islam yang mayoritas ini diharapkan dapat bahu-membahu memperkuat media massa Islam setidaknya dengan menjadi pembaca atau konsumen yang baik. Jika kini banyak seruan untuk melakukan boikot produk zionis, maka layak juga kini kita memboikot media-media yang selama ini selalu mendeskrititkan Islam dan kita beralih ke media massa Islam.
Dengan beralih kepada media-media Islam, maka ummat Islam secara langsug atau pun tidak, telah berkontribusi untuk membangun sebuah tradisi informasi berbasis pada nilai-nilai Islam yang selama ini dikobarkan para pengelola media massa Islam. Kini, kekuatan media, khususnya cetak, terletak pada komunitasnya. Maka jika media massa Islam ingin kuat, maka ummat Islamnya harus menjadi konsumen aktif.
Membangun kesadaran jihad di wilayah media ini, diharapkan dapat menggerakkan seluruh Ummat Islam untuk bahu membahu menyusun kekuatan informasi yang positif. Sebuah tradisi informasi yang dapat membangun peradaban Islam yang sempat terkubur, dan untuk kemanusiaan dunia yang lebih adil.
Maka pada kasus Palestina, khususnya Al-Quds Ashsharief , persoalannya bukan hanya antara Islam dan non Islam, tetapi masuk pada arena kemanusiaan, keadilan, HAM, dan peradaban. Pada wilayah ini, kita akan membicarakan kasus ini bukan hanya tugasnya media massa Islam, tetapi juga seluruh media yang mengaku dikelola secara profesional dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang baik. artinya pula, bahkan dengan keberpihakannya kepada kemanusiaan, kasus Al-Quds Ashsharief tidak lagi dipandang sebelah mata, tetapi pandanglah ini sebagai kejahatan global yang jika dibiarkan, bukan tidak mungkin juga akan terjadi pada wilaya dan negara lain yang di situ mayarakatnya bukan mayoritas Islam. [RN]
Penulis, Roni Tabroni
Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi Pimpina Pusat Muhammadiyah