Pandangan Islam Tentang Reklamasi
(Panjimas.com) – Masalah reklamasi kembali mencuat menjadi sebuah polemik, terutama setelah terungkapnya kasus suap yang melibatkan anggota DPRD DKI dan penguasa properti yang menangani reklamasi salah satu pulau buatan di pantai utara Jakarta. Polemik ini sebenarnya hanya melanjutkan polemik yang sudah muncul terkait reklamasi sejak awal proyek reklamasi dilakukan di negeri ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan kedepan, proyek-proyek reklamasi akan terus menjamur.
Istilah reklamasi tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Menurut pengertiannnya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia terbitan Gramedia disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah from the sea. Artinya membuat laut menjadi daratan. Masih dalam kamus yang sama, arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan memperoleh tanah.
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (UU No.27 Tahun 2007).
Reklamasi daratan (biasanya disebut reklamasi saja) adalah proses pembuatan daratan baru dari dasar laut atau dasar sungai. Tanah yang direklamasi disebut tanah reklamasi atau landfill.
Para ahli belum banyak yang mendefinisikan atau memberikan pengertian mengenai reklamasi pantai. Dalam ranah ilmu teknik pantai, reklamasi adalah suatu pekerjaan atau usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya dikawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai atau di laut, dtengah sungai yang lebar, ataupun di danau.
Reklamasi kawasan perairan merupakan upaya pembentukan suatu kawasan daratan baru baik diwilayah pesisir pantai ataupun ditengah lautan. Tujuan utama reklamasi ini adalah untuk menjadikan kawasan berair yang rusak atau belum termanfaatkan menjadi suatu kawasan baru yang lebih baik dan bermanfaat untuk berbagai keperluan ekonomi maupun untuk tujuan strategis lain. Kawasan daratan baru tersebut dapat dimanfaatkan untuk kawasn pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pelabuhan udara, perkotaan, pertanian, jalur transportasi alternatif, reservoir air tawar di pinggir pantai, kawasan pengelolaan limbah dan lingkungan terpadu, dan sebagai tanggul perlindungan daratan lama dari ancaman abrasi serta untuk menjadi suatu kawasan wisata terpadu.
Biasanya kegiatan reklamasi ini dilakukan oleh suatu otoritas (negara, kota besar, pengelola kawasan) yang memiliki laju pertumbuhan yang tinggi dan kebutuhan lahannya meningkat pesat, tetapi mengalami kendala keterbatasan atau ketersediaan ruang dan lahan untuk mendukung laju pertumbuhan yang ada, sehingga diperlukan untuk mengembangkan suatu wilayah daratan baru.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa obyek reklamasi adalah kawasan berair. Sebagian besar reklamasi yang dilakukan adalah terhadap kawasan rawa-rawa, danau, kawasan pesisir dan laut. Point ini menjadi penting untuk melihat bagaimana pandangan Islam tentang reklamasi.
Dalam pandangan Islam, danau, kawasan pesisir, dan laut merupakan harta milik umum seluruh rakyat secara berserikat. Harta milik umum itu dalam ketentuan syariah tidak boleh dikuasai atau dikuasakan kepada individu, kelompok individu atau korporasi. Menurut syari’ah,Negara dengan pengaturan tertentu harus memberi kemungkinan kepada seluruh rakyat untuk bisa memanfaatkan atau mendapatkan manfaat dari harta milik umum. Negara juga harus mengelola langsung harta milik umum dan hasil pengelolaan itu seluruhnya dikembalikan kepada rakyat.
Dilihat dari ketentuan syariah itu, maka praktik pengaplingan reklamasi sebanyak 17 pulau buatan di Teluk Jakarta atau kawasan pesisir Jakarta, jelas tidak boleh. Sebab, kawasan pesisir atau teluk adalah harta milik umum. Karena itu, tidak boleh dikuasai atau dikuasakan atau diberikan konsesinya kepada individu, kelompok individu atau korporasi.
Negara boleh saja memberikan tanah rawa atau semacamnya kepada individu, kelompok individu atau korporasi. Individu,kelompok individu atau korporasi yang diberi tanah rawa itu bisa saja lalu mereklamasinya dan menggunakannya atau mengelola dan mentasharrufnya sesuka dia. Hanya saja, dalam memberikan tanah rawa atau semacamnya itu, negara tetap harus memperhatikan banyak ketentuan syariah lainnya. Diantaranya adalah negara harus memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan kekayaan di masyarakat ( lihat QS. Al-Hasyr: 7). Negara juga harus memperhatikan kemaslahatan dari berbagai aspek termasuk kemaslahatan keselamatan lingkungan.
Adapun reklamasi kawasan pesisr, laut dan perairan yang termasuk milik umum, maka jika reklamasi itu dilakukan oleh individu, kelompok individu atau korporasi untuk kepentingan individu, kelompok individu atau korporasi itu sendiri, maka dalam Islam dilarang. Sebab, harta milik umum haram dikuasai, dikuasakan, atau diberikan konsesinya kepada individu, kelompok individu atau korporasi.
Harta milik umum yang diproteksi untuk tujuan atau kepentingan tertentu itu tidak boleh diubah menjadi milik individu, tetapi statusnya tetap milik umum. Dari sini, maka negara boleh memproteksi sebagian kawasan pesisir atau laut untuk keperluan pelabuhan, konservasi, pasar umum,fasilitas publik, pertahanan, benteng dan sebagainya. Termasuk di dalamnya, negara boleh mereklamasi kawasan pesisir atau laut untuk tujuan atau keperluan tertentu yang untuk itu ditetapkan kebijakan proteksi atas sebagian harta milik umum itu.
Dalam melakukan itu, negara tetap harus memperhatikan ketentuan-ketentuan syariah lainnya. Semisal, reklamasi itu tidak boleh membahayakan baik secara fisik, lingkungan, maupun social. Itu artinya, kajian semacam Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) juga hendaknya dilakukan dengan seksama dan dijadikan pertimbangan untuk melakukan reklamasi atau tidak.
Wallohu a’alam bi ash-shawab.[RN]
Penulis, Tri Setiawati,S.Si
Ibu Rumah Tangga, tinggal di Blitar