(Panjimas.com) – Globalisasi telah menempati titik sentral dalam berbagai agenda intelektual dan politik yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan krusial tentang apa yang oleh banyak orang dipandang fundamental dan dinamis pada zaman kita ini, yakni sebuah epos perubahan yang menentukan dan secara radikal sedang mentransformasikan hubungan-hubungan dan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada abad ke-21.
Pengaruh perkembangan globalisasi dalam bentuk liberalisasi ekonomi saat ini telah merubah makna kedaulatan rakyat atas bidang ekonomi secara tidak langsung. Dikatakan demikian oleh karena kekuasaan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk hak menguasai negara saat ini mengalami pergeseran yang cukup serius. Hal ini membawa kita kepada suatu pertanyaan sudah sejauhmanakah para pemegang kebijakan (perekonomian) di Indonesia melaksanakan amanat yang tercantum dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara murni dan konsekuen.
Makna Kedaulatan
Kedaulatan (sovereignty) merupakan konsep yang biasa dijadikan objek dalam filsafat politik dan hukum kenegaraan. Di dalamnya terkandung konsepsi yang berkaitan dengan ide kekuasaan tertinggi yang dikaitkan dengan negara (state). Dari segi bahasa, perkataan kedaulatan itu sendiri dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata “daulat” dan “dulatan” yang dalam makna klasiknya berarti pergantian, peralihan atau peredaran (kekuasaan). Dalam Al-Quran yang mencerminkan penggunaan bahasa Arab klasik, kata daulah ini dipergunakan hanya dua kali (dua tempat), yaitu dalam QS. 3: 140 yang mempergunakan bentuk kata kerja “nudawiluha” (ia Kami perganti-kan atau pergilirkan), dan dalam QS. 59: 7 yang mempergunakan kata kerja duulatan (beredar).
Jika diperhatikan, dalam ayat pertama di atas, makna kata daulat dipakai untuk pengertian pergantian kekuasaan di bidang “politik”, sedangkan ayat kedua menunjuk pengertian kekuasaan di lapangan “perekonomian”. Dengan demikian, pengertian kata kedaulatan itu dalam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan tertinggi, baik di bidang ekonomi maupun terutama di lapangan politik.
Dalam berbagai literatur politik, hukum, dan teori kenegaraan pada zaman sekarang, terminologi kedaulatan (souvereignty) itu pada umumnya diakui sebagai konsep yang dipinjam dari bahasa Latin, soverain dan superanus, yang kemudian menjadi sovereign dan sovereignty dalam bahasa Inggris yang berarti penguasa dan kekuasaan yang tertinggi.
Kedaulatan dalam suatu negara merupakan salah satu unsur atau syarat yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu negara, pemerintahan yang berdaulat. Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945), sehingga rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Kedaulatan rakyat berdimensi dua yakni kedaulatan politik (demokrasi politik) dan kedaulatan ekonomi (demokrasi ekonomi). Sistem perekonomian nasional Indonesia adalah berdasarkan asas “kebersamaan dan asas kekeluargaan”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.
Kedaulatan rakyat sering diidentikkan dengan demokrasi yang di zaman sekarang ini cenderung tidak lagi hanya dipandang sebagai konsep politik. Tema demokrasi ekonomi (kedaulatan rakyat di bidang ekonomi) juga tidak kalah menonjol dibandingkan dengan demokrasi politik. Dikatakan demikian oleh karena jaminan akan hak-hak politik saja tidak lagi cukup untuk memperkuat kedudukan rakyat dalam suatu negara, khususnya jika dikaitkan dengan kenyataan perkembangan kekuatan ekonomi masyarakat pada level papan-bawah. Dengan demikian, maka demokrasi ekonomi juga menjadi semakin aktual untuk dikembangkan bersamaan dengan demokrasi politik.
Konfigurasi dan Dependensi
Kedaulatan ekonomi suatu negara tidak lepas dari konfigurasi ekonomi politik internasional yang kemudian memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi corak ekonomi suatu negara yang dianut, termasuk Indonesia – yang dapat dilihat dari konstitusi ekonominya. Dalam kasus Indonesia, konfigurasi yang terjadi justru telah “meminggirkan” peran (kewenangan) negara dalam mengatur dan mengurus perekonomian nasional, khususnya di bidang sumber daya alam. Keadaan ini menyebabkan terbukanya ketergantungan atau dependensi (dependency) terhadap pendanaan dari negara-negara maju dan lembaga-lembaga finansial internasional.
Dependensi adalah situasi yang dikondisikan di mana ekonomi sebuah negara atau kelompok negara ditentukan oleh pembangunan dan perluasan (kepentingan) dari negara-negara lain. Dalam perspektif ketergantungan (dependency), investasi asing atau penanaman modal asing (PMA) di Indonesia dapat dibaca sebagai kelanjutan investasi asing di masa kolonial yang ditekankan pada beberapa hal, yaitu (1) investasi untuk eksploitasi sumber daya dan pertanian, (2) investasi baru yang bertujuan untuk mendapatkan pasar lokal serta bahan baku dan pekerja murah sehingga menjadi lebih kompetitif pada pasar internasional. Ini merupakan kesinambungan dari masa lalu, ketika investasi dari suatu negara ke negara lain dapat terjadi karena adanya praktek kolonialisme.
Globalisasi identik dengan imperialisasi. Globalisasi yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan hasil perkembangan yang panjang dan lama dari sistem kapitalisme. Globalisasi adalah kata popular untuk menjelaskan sebuah fenomea intenasionalisasi sistem kapitalisme yang berkembang menjadi sistem dunia yang luar biasa besarnya dan yang menentukan hampir semua hal di dunia. Padanan lain dari globalisasi adalah imperialisme, yaitu sistem kapitalisme yang berkembang dalam tahapan-tahapan secara kualitatif melewati proses sejarah sehingga pada akhirnya melingkupi wilayah-wilayah antar-perbatasan nasional dan berwatak internasional / global.
Pada kasus Indonesia, perihal dependensi mewujud dalam bentuk pemulihan ekonomi nasional (economic recovery), negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia) meluncurkan kebijakan ekonomi neoliberal. Ciri utama kebijakan ini adalah privatisasi dan liberalisasi serta pemotongan besar-besaran subsidi. Pengadopsian kebijakan ini menjadi masuk akal karena negara-negara yang mengalami krisis keuangan menggunakan dana pinjaman dan konsultasi IMF, tempat bercokolnya ideologi neoliberal. Pinjaman dari negara-negara tertentu ternyata menyimpan agenda terselubung atas lahan dan sumber daya alam. Tidaklah mengherankan apabila liberalisasi kepemilikan hak atas tanah menjadi kebijakan pemerintah saat ini.
Tesis utama para penganut neo-liberalisme adalah pasar merupakan institusi utama dan paling utama dalam masyarakat, dan karenanya pasar dianggap sebagai mekanisme yang paling efisien dalam mendistribusikan sumber-sumber ekonomi langka. Untuk itu, pasar harus dibebaskan dari campur tangan negara, karena campur tangan ini hanya akan membuat pasar tidak dapat bekerja secara efisien dalam mendistribusikan sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat.
Oleh karena itu, kebjiakan neo-liberalisme ini mempunyai ciri dalam tiga hal, yakni liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Keadaan ini menunjukkan bahwa upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah, deregulasi, privatisasi BUMN dan liberalisasi impor, termasuk dan khususnya dalam sektor pangan dan liberalisasi kepemilikan hak atas properti.
Kampanye demokrasi yang diusung oleh negara-negara penganut pasar bebas (barat), dengan aktor-aktornya seperti IMF, Word Bank dan WTO telah menjadi intstrumen keberlakuan kapitalis global. Kendati pun pemimpin pemerintah dipilih secara langsung oleh rakyat – sebagai perwujudan demokrasi (kedaulatan) politik – tetap saja kebijakan pemerintah nyatanya lebih banyak melayani kepentingan para pemilik modal dan korporasi global (multinasional).
Memudarnya Kedaulatan Rakyat
Perihal kedaulatan ekonomi di era liberalisasi ekonomi saat ini semakin menjauh dari nilai-nilai yang dikandung dalam rumusan Pasal 33 UUD 1945. Sejarah politik hukum Indonesia mencatat lahirnya sejumlah produk perundang-undangan yang bernuansa liberal, seperti UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Semua undang-undang tersebut adalah produk dari pergulatan ekonomi politik di Indonesia pasca-reformasi. Sebagai hasil kesepakatan politik, hampir semua undang-undang tidak lepas dari nota keberatan. Saat disahkan dalam Sidang Paripurna DPR, sejumlah anggota dewan mengajukan minderheidsnota, dengan alasan substansi sebagian besar undang-undang tersebut bercorak paham liberal yang “durhaka”, khususnya terhadap Pasal 33 UUD 1945, yang mengatur soal perekonomian nasional. Undang-undang yang mengandung minderheidsnota itu, kemudian dimohonkan judicial review oleh sejumlah kalangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya satu yang dibatalkan oleh MK secara mutlak, yaitu UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
Permasalahan yang sangat signifikan dalam menentukan cabang produksi manakah yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, sampai dengan saat ini belum ada ketentuan/acuannya, sehingga untuk menentukan suatu cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak diserahkan dan tergantung kepada pandangan pemerintah, terlepas dari adanya pengujian undang-undang (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi. Keadaan ini menjadikan prinsip hak menguasai negara tidak memiliki kepastian dalam hal pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diembankan kepada pemerintah selaku pemegang kekuasaan atas nama rakyat.
Selanjutnya, terkait dengan kepemilikan hak atas properti, Orang Asing dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian, sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. Kepemilikan dengan jangka waktu yang panjang – dengan Hak Pakai – yakni selama 30 (tiga puluh) tahun dengan perpanjangan selama 50 (limapuluh) tahun, serta dapat diwariskan, apabila Orang Asing meninggal dunia. Keberlakuan kepemilikan hak atas properti terkait dengan migrasi internasional, dengan masuknya Orang Asing ke Indonesia.
Paradigma Maqashid Syari’ah: Suatu Solusi
Dalam kaitannya dengan permasalahan pengelolaan sumber daya alam nasional, maka perlu dicarikan alternatif sistem ekonomi yang lebih mengedepankan kedaulatan rakyat (demokrasi ekonomi) dalam rangka mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyaakat umum. Alternatif yang dimaksudkan adalah merujuk kepada hukum yang bersifat universal, yakni hukum agama Islam, yakni teori maqashid syari’ah. Secara literal Maqashid al-Syari’ah merupakan kata majmuk (murakkab idlafi) yang terdiri dari kata maqashid dan al-syari’ah. Menurut kata dasarnya, kedua kata tersebut masing-masing mempunyai pengertian tersendiri. Kata ”maqashid” adalah jama’ (plural) dari kata ”maqshad” (mashdar mimy) dari kata kerja ”qashada, yaqshidu qashdan wa maqshadan” yang memiliki arti sebagai legitimasi; komitmen terhadap jalan yang benar (QS. Al-Nahl : 9) dan dapat diartikan juga sebagai keseimbangan dan moderat (QS.Luqman : 19). Kata ”syari’ah” secara harfiah berasal dari akar kata “syara’a” dan memiliki dua arti yaitu: (a) sebagai sumber air (mata air) yang dapat digunakan sebagai air minum, “masyra’at al-mãi” artinya: “maurid al-mãi” (sumber air). (b) sebagai jalan yang benar (lurus) (QS. Al-Jatsiyah : 18). Dua kata di atas (maqashid dan syari’ah) jika digabung menjadi satu, maka bisa menghasilkan makna sebagai ”maksud agama atau hal-hal yang menjadi maksud dan tujuan dalam agama”. Imam Al-Ghazali rhm, mengatakan bahwa; “wa maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun wa hiya: ’an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa ‘aqlahum wa naslahum wa mãlahum” (tujuan syariat Allah SWT bagi makhluk-Nya adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka). Dengan demikian, universalitas maqashid syari’ah sangat terasa, komprehensif, sistemik dan integral atas kebutuhan manusia. Bukan hanya, untuk kebutuhan dan perlindungan terhadap harta, melainkan mencakup dimensi Hak-Asasi Manusia yang bersifat mendasar, yakni, keturunan, akal, jiwa dan agama.
Teori maqashid syari’ah, dipandang sesuai dan mampu mengikuti perkembangan dunia global yang tengah berlansung saat ini, dikatakan demikian terdapat kaedah usul fiqh yang menyatakan: “mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Pada intinya teori maqashid syari’ah selaras dengan teori keadilan sosial dan kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksudkan dalam ideologi Pancasila, tepatnya pada Sila Kelima, dan Pasal 33 UUD 1945. Maqashid syari’ah sebagai epistimologi hukum merupakan pembahasan penting dalam hukum Islam, sebagai salah satu metode ijtihad yang telah dikembangkan oleh ulama beberapa abad abad yang lalu dan merupakan hasil dari prestasi yang gemilang dalam bidang pemikiran ilmu hukum.
Pemikiran maqashid syari’ah sebagai teori hukum yang pembahasan utamanya menjadikan “jalb al-manfa’ah” dan “daf’u al-mafsadah” sebagai tolok ukur terhadap sesuatu yang dilakukan manusia dan menjadikan kebutuhan dasar manusia sebagai tujuan pokok dalam pembinaan hukum Islam. Selanjutnya, maqashid syari’ah dapat di-break down menjadi tiga bagian yang berurutan secara hierarkhis, yaitu dharuriyyat (necessities/primer), hajjiyyyat (requirements/sekunder), dan tahsiniyyat (beautification/tersier). Dengan al-maqashid syariah sebagai salah satu epistemologi hukum Islam diharapkan dapat membangun hukum yang mampu berfungsi dalam mewujudkan “jalb al-mashalih wa daf’u al-mafasid” sehingga dapat tercipta stabilitas dalam kehidupan, terwujud keadilan, kemanfaatan serta kesejahtaeraan dalam kehidupan manusia di dunia dan “al-fauz bi al-jannah wa an-najat min an-naar” di akhirat nanti dan itulah yang menjadi kemaslahatan tertinggi bagi manusia dan itulah inti dari maqashid syari’ah.
Epilog
Penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Kedua prinsip keadilan tersebut hanya dapat terlaksana atau terwujud dengan menerapkan maqashid syari’ah, sebagaimana telah dijelaskan.
Secara filsafati, kita memahami bahwa hukum yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia, sudah pasti ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Dikatakan demikian, oleh karena hukum yang dibentuk oleh Allah SWT bukanlah untuk Allah SWT sebagai Syari’ (lawgiver). Allah SWT tidak membutuhkan suatu hukum untuk diri-Nya, dan tentu bukan pula diciptakan untuk hukum itu sendiri, sebab jika demikian maka keberadaan hukum itu akan sia-sia, akan tetapi hukum diciptakan Allah SWT untuk kehidupan manusia di dunia. Wallahu A’lam Bishawab, semoga bermnafaat. [RN]
Penulis, Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
Tim Ahli KAPPU Partai Bulan Bintang
Tulisan ini disarikan dari buku penulis yang berjudul: “Pengelolaan Sumber Daya Alam Nasional Berbasiskan Paradigma Al-Maqashid Syari’ah”, Penerbit Lisan Hal, Jakarta, 2016.