(Panjimas.com) – Ketika membuka mata dan melihat media terutama kanal berita, mainstream yang disuguhkan tak lain adalah berita tentang kriminalitas, lifestyle, dan kisah-kisah kaum marjinal. Akan tetapi, mayoritas headline dalam media adalah bab kriminalitas. Baik kriminalitas secara “an sich”, atau kriminalisasi oknum pemerintah terhadap suatu golongan. Seperti halnya kita dapati kasus-kasus aktual, seperti kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel yang bersikeras mengungkap kasus tersebut. Selain itu kematian mendadak saksi kunci, Johannes Marliem kasus tersebut juga mencengangkan publik.
Selain itu, kasus beras maknyuss sebagai beras lokal yang “dilibas” oleh oknum pemerintah serta impor besar-besaran garam oleh Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita hingga mematikan petani garam mewakili ekonomi. Juga pembangunan megaproyek Meikarta oleh pengusaha Asing yang tanpa izin terus berjalan.
Yang terakhir, kasus adu domba pemerintah antara ormas Muhammadiyah dan NU dengan diviralkannya video, “Bunuh mentrinya !!” Mengingatkan kita pada politik devide at empera kolonialisme Belanda. Seolah kita terjajah di negeri sendiri dan pedihnya pelaku penjajahan adalah elit politik sendiri. Sampai Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa dalam pembubaran HTI pemerintah memiliki tendensi untuk berkarakter militeristik. Padahal dunia melawannya.
Begitu sulit berdaulat di negeri sendiri, padahal Bung Karno telah mewasiatkan trisaktinya yang terdiri dari,
- Berdaulat secara politik
- Mandiri secara ekonomi
- Berkepribadian secara budaya
Optimisme Bung Karno, agaknya merupakan utopia di rezim ini. Dari fakta-fakta yang telah tersaji, banyak diskusi-diskusi yang dilakukan oleh LSM, ormas, maupun oleh pemerintah itu sendiri.
Diskusi membangun keadilan struktural juga mengingatkan penulis saat berbincang-bincang dengan Dr. Adian Husaini, Direktur Pascasarjana UIKA Bogor, dan founder Institute For The Study of Islam and Civilization (INSIST).
Ada beberapa poin yang harus disoroti dalam diskusi tersebut yakni,
Orientasi Diri
“Problem utama manusia ada di dalam dirinya, kita harus berbuat adil”
– Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Adil menurut fuqaha adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Begitupula menempatkan diri kita ini pada tempat yang semestinya. Posisi kita adalah sebagai makhluk yang diciptakan Allah SWT di zaman primordial yang bertujuan untuk menyembahnya (QS. Adz-Dzariyat: 56) maka dari itu kita harus menempatkan posisi kita di bawah Khaliq yang menguasai segalanya.
Peradaban barat, pasca reinessance cenderung menuhankan manusia. Sains menggantikan tuhan, gereja dijual, para pastur diburu. Filsafat Humanistik JJ. Rosseau, Abraham Maslow, Combs merupakan penggagasnya. Di tabi’ kan oleh Sigmund Freud, Karl Marx, Lenin, Tsar Alexander. Akibatnya manusia berkehendak semena-mena. Seperti Fir’aun, yang berkata. “Wahai para pembesar kaumku! Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagimu selain aku” (QS. Al-Qashas: 38)
Maka dari itu sebelum sampai ke dalam ranah negara, manusia harus mampu berbuat adil, memposisikan dirinya sebagai makhluk, yang tunduk patuh kepada aturan khaliq, baik itu dalam agenda dirinya, keluarganya, dan masyarakat. Setelah mampu berbuat adil hingga masyarakat. Orang tersebut dapat membuat suatu negara menjadi adil. Sesuai dengan cita-cita “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”
Sistem Pendidikan
“Suatu bangsa tidak akan maju, jika tidak ada guru yang ikhlas mendidik bangsa”
– Mohammad Natsir (Pendiri NKRI)
Menurut beliau, sebab primer yang menyebabkan kerusakan struktural di Indonesia adalah pendidikan. Pendidikan yang diadopsi dari Barat tidak sepenuhnya relevan bagi Indonesia. Pendidikan ala Paolo Freire amat bebas. Menitik beratkan pada kognisi adalah corak pendidikan Barat.
Sebagai negara yang memiliki wisdom yang membudaya, Indonesia tidak bisa berpikir pragmatis seperti itu. Kalau dipaksakan hasil akhirnya akan kurang maksimal. Indonesia adalah negara adil dan beradab yang keduanya merupakan “emanasi” dari sila Ketuhanan yang Maha Esa.
Solusi beliau adalah membumikan pendidikan akhlak. Sesuai Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Maka dari itu akhlak harus diutamakan dalam pendidikan.
Sebagai contoh dalam katalogisasi intra kulikuler dan ekstra kulikuler. Pendidikan moral dan agama serta penilaian afektif menjadi syarat mutlak kelulusan dan masuk dalam kegiatan intrakurikuler. Sedangkan ilmu-ilmu seperti Matematika, Sains dan Bahasa bukan menjadi masalah besar jika nilai tidak mencapai KKM. Hal ini bertujuan untuk mengikis dekadensi moral yang berhujung pada rusaknya negara ini.
Materi Pendidikan
“Barat menganut metodhological secularism jika bukan, berarti metodhological atheism”
– Prof. Dr. Kuntowijoyo
Pembunuhan Tuhan di barat, merupakan tradisi keilmuan yang sangat mengerikan. Kata Sigmund Freud, pendiri psikoanalisa, “Agama merupakan suatu neurosis masal, ilusi yang secara klinis justru berbahaya”
Ilmu kehilangan hakikatnya untuk membangun manusia, karena di barat ilmu tersebut menghilangkan kemanusiaannya itu sendiri. Banyak ilmuwan yang tersesat dalam pemikirannya sendiri. Seperti Nietzsche yang menganggap hidupnya tragedi. Selain itu banyak ilmuwan yang bunuh diri seperti Alan Turing, Wallace Carrothers, George Eastman dan masih banyak lagi.
Pemerintah harus berusaha menyelaraskan ilmu yang ada dengan tujuan pendidikan nasionalnya. Satu-satunya cara adalah dengan Islamisasi Ilmu karena nilai moral yang berujung pada ketakwaan kepada tuhan yang maha esa hanya dalam Islam. Ilmu-ilmu esakta dan sosial perlu direkonstruksi agar mendapatkan tujuan ilmu sendiri, yakni “ziyadah iman ila rabbihi” atau menambah iman pada tuhannya. (Syed Muhammad Naquib Al-Attas)
Jika terwujud, hilanglah perspektif asal mula manusia ini dari monyet atau Darwinisme. Derajat manusia akan lebih tinggi dari binatang. (QS. Al-Mu’minun : 14) Kebutuhan bukanlah makan, sandang, dan tempat tinggal akan tetapi adalah beribadah karenanya masyarakat tidak saling membantai berebut makanan. (QS. Adz-Dzariyat : 56) Selain itu kemerdekaan Indonesia tidak hanya karena kesamaan penderitaan, karena jika telah merdeka mereka akan berebut kekuasaan karena penderitaan telah hilang. Akan tetapi karena perjuangan melawan penjajah merupakan fatwa wajib yang diserukan oleh Choedrotus Syaikh Hasyim Asy’ari, dan berkat ulama-ulama lain yang telah berdarah mempertahankannya, jadi kita akan senantiasa berjihad melawan nafsu untuk berbuat kriminal (QS Al-Hasyr : 18)
Ketika telah dirumuskan ilmu yang sesuai dengan hakikatnya, karakter dan iman takwa akan terwujud. Kebejatan moral akan terkikis dan semakin termarginalkan oleh orang-orang yang beradab. Pada akhirnya Indonesia akan kehilangan para koruptor, kriminal berdasi, dan kriminal bertato.
Perangkat Pendidikan
Perlu diketahui bahwa pasca peristiwa pengeboman atom oleh Amerika di Nagasaki dan Hiroshima orang Jepang memprioritaskan guru sebagai orang yang pertama kali harus di selamatkan.
Guru adalah orang terpenting kedua setelah para nabi, ” Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR Tirmidzi)
Akan tetapi kini banyak kasus amoral yang bersarang di institusi pendidikan, spertihalnya kasus pencabulan murid oleh guru di Bantul baru-baru ini. Guru berinisial “P” memperkosa muridnya sebanyak sepuluh kali hingga hamil. Tindakan asusila yang “diajarkan” oleh guru tentunya berimplikasi langsung pada murid. (DetikNews 10/07/17)
Maka dari itu Islam mengenalkan konsep uswah. Akhlak dan yurisprudensi Islam merupakan idealisme yang realistis. Nabi SAW adalah contoh sempurnanya (QS.Al-Ahzab: 21). Berbeda dengan Sosialisme dan Demokrasi yang gagal mencapai puncak idealnya bahkan di negara penggagas sekalipun.
Sebagai pewaris nabi, seorang guru juga harus mewarisi akhlak nabi. Nabi adalah seorang manusia biasa yang akhlaknya dapat ditiru oleh siapa saja. Ketika guru mengikuti nabi, tidak lagi terdengar Indonesia mengalami krisis teladan. Akhirnya tujuan pendidikan nasional pun tercapai
Keempat hal diatas merupakan formulasi membangun Indonesia yang berkeadilan. Dr. Adian Hussaini juga menambahkan,
“Ketika keempat hal diatas secara masif dilakukan, dan pendidikan akan selaras dengan tujuannya, maka di tahun 2045 Indonesia akan melebihi Amerika dan China.”
Wallauhua’lam bishawab. [RN]
Penulis, Muhammad Arsyad Arifi
Aktivitas Pemuda Muhammadiyah DIY