(Panjimas.com) – Setelah jargon terorisme tidak laku, kini jargon baru digunakan untuk menyerang Islam. Istilah radikal tentunya sudah tidak asing lagi, terminologi radikal yang membentuk istilah radikalisme, awalnya berasal dari bahasa latin radix, radices, yang artinya akar (roots). Istilah radikal dalam konteks perubahan kemudian digunakan untuk menggambarkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Berpikir secara radikal, artinya berpikir hingga ke akar-akarnya. (Taher, 2004:21).
Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), radikal berarti akar, sumber, atau asal mula. Dalam kamus Oxford ini disebutkan, istilah radical, kalau dikaitkan dengan perubahan atau tindakan, berarti: relating to or affecting the fundamental nature of something; far-reaching or through (berhubungan atau atau yang mempengaruhi sifat dasar dari sesuatu yang jauh jangkauannya dan menyeluruh).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”,” habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan” dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Dalam pengertian lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok dan esensial. Berdasarkan konotasinya yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu,politik, ilmu social. Bahkan dalam ilmu kimia dikenal istilah radikal bebas.
Dengan demikian, dari sisi bahasa, istilah radikal sebenarnya istilah yang netral, bisa positif bisa negatif. Secara historis, penggunaan itilah radikal tidaklah selalu negatif. Dalam strategi perjuangan bangsa Indonesia untuk memerdekakan diri dari penjajahn, strategi non-kooperatif atau sering disebut sebagai strategi radikal. Strategi ini mengiringi strategi kooperatif atau non radikal, semisal negosiasi dan perundingan-perundingan seperti Perundingan Linggarjati, Renville, Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar.
Istilah radikal kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan idiologi dan kepentingan Barat. Julukan “Islam radikal” kemudian digunakan secara sistematis untuk menyebut pihak-pihak yang menentang sistem idiologi Barat (Kapitalisme, Sekulerisme, dan Demokrasi), ingin memperjuangkan syariah Islam, Khiafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi dan melakukan jihad melawan Barat.
Karena itu, tidak aneh jika Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya Dr.Imran Mawardi MA, mengatakan, istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca runtuhnya Komunisme, satu-satunya idiologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam. “Istilah radikalisme adalah buatan Barat untuk menghancurkan dan mengkooptasi umat Islam. Barat sadar bahwa Islam adalah ancaman bagi dia” (Hidayatullah.com).
Radikalisme dikaitkan dengan perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah. Keinginan umat Islam untuk dapat kembali melanjutkan kehidupan Islam sebagai solusi atas problematika umat dengan menegakkan syariah dan Khilafah dianggap sebagai tindakan yang mengusung radikalisme. Perjuangan mewujudkan syariah Islam dalam institusi Khilafah dianggap sebagai tindakan diskriminatif, rasis dan ‘fear label’ lainnya. Dengan pemahaman yang dangkal, pihak- pihak yang terusik dengan perjuangan menerapkan syariah Islam menganggap bahwa ada bagian dari syariah Islam yang bersifat diskriminatif.
Misal dalam hal hukum waris, pembedaan pembagian antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Larangan orang kafir untuk menjadi pemimpin bagi orang Islam juga dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Banyak lagi ayat-ayat al-Quran maupun hadist Rosulullah saw yang mulia yang menjadi korban tuduhan mereka.
Pemahaman yang dangkal yang dibalut dengan frame sekulerisme Barat yang telah menstigma Islam sebagai enemy melahirkan tuduhan terhadap firman Alloh SWT yang mulia. Ayat-ayat al-Quran dan al-Hadist yang menyerukan perintah jihad fi sabilillah dianggap sebagai seruan radikalisme. Kemuliaan jihad dan pujian bagi para syuhada dianggap sebagai glorifying violence (mengagungkan kekerasan). Merekapun menuduh bahwa bibit radikalisme justru ada dari inti ajaran Islam itu sendiri.
Sekulerisme Barat juga telah mendiskreditkan segala bentuk pemikiran yang masih dibalut dengan agama. Sekulerisme mengharuskan fasl ad-din ‘an al-hayah (memisahkan agama dengan aspek kehidupan). Radikalisme pun dituding lahir dari paradigma berpikir yang masih menghubung-hubungkan kehidupan ini dengan nilai-nilai agama. Manusia tidak bisa ‘pure’karena diikat dengan doktrin agama yang tidak netral, tidak inklusif. Dengan demikian lahirlah manusia-manusia yang memiliki pemikiran yang sempit, tidak terbuka, tidak mau menerima perbedaan/heterogenitas.
Paham komunis bisa berkembang di negri ini, tidak lain karena negara ini menerapkan paham sekulerisme yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Amin Rais menyatakan,” Kalau politik di pisahkan dari agama, politik menjadi kering dari nilai-nilai kebaikan, akan jadi beringas, akan jadi eksploitatif.
Walhasil, sekulerisme melahirkan pejabat yang tidak lagi bertakwa ketika duduk di kursi jabatannya. Tidak aneh bila muncul koruptor dan penindas rakyat, karena ketakwaannya tersimpan di tempat-tempat ibadah. Akhirnya, sekulerisasi ini menghasilkan kemudharatan dan ancaman terbesar bagi eksistensi negeri ini. Karena ide ini produk barat, pastilah barat yang menikmati hasilnya. Inilah bentuk penjajahan gaya baru, neo imperialism. (Media Umat)
Keberadaan syariah dan Khilafah adalah kebaikan bagi umat manusia karena keduanya lahir dari rahim Islam. Sebagai agama yang diturunkan oleh Alloh SWT, Zat Yang Maha Sempurna, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Didalam Qur’an surat al-anbiya’ ayat 107, Alloh berfirman: “Kami tidak mengutus kamu [Muhammad], kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ayat ini menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa, tujuan Rasulullah saw diutus adalah agar risalahnya menjadi rahmat bagi manusia. Jadi, aneh bila ada yang menganggap keberadaan syariah dan Khilafah sebagai ancaman. Bisa jadi, yang menganggap keduanya ancaman adalah pihak-pihak yang memang jauh dari nilai-nilai Ilahiah yang ingin hidupnya dilandasi oleh hawa nafsu dan kepentingan belaka.
Khilafah yang mulia sudah tiada sejak runtuh tahun 1924. Gelora perjuangan umat untuk dapat mengembalikan kehidupan Islam dalam naungan Khilafah tentunya tidak boleh hanya mengandalkan semangat belaka. Pemahaman yang utuh dan benar, dilandasi dengan pondasi tauhid yang kokoh dan kedalaman pemahaman syariahnya, akan mewujudkan fikrah dan thariqah yang shahih dalam perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah.
Perubahan menuju tegaknya syariah dan Khilafah harus dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Pemahaman keliru tentang syariah dan Khilafah, yang sepotong-sepotong dan tidak utuh, justru akan melahirkan kekeliruan terhadap apa yang dimaksud dengan syariah dan Khilafah. Akibatnya, ini justru akan menjauhkan dari cita-cita penegakkan syariah dan Khilafah itu sendiri.
Perubahan menuju tegaknya syariah dan Khilafah pun harus dilakukan dengan membangun kesadaran masyarakat serta membangun dukungan dari ahlul quwwah. Karena masyarakat atau umatlah pemilik yang hakiki perubahan ini. Tanpa kesadaran mereka, perubahan hanyalah kesia-siaan. Ahlul quwwah adalah pengikat dari proses perubahan . merekalah kunci umata, kepercayaan umat dan sandaran umat. Wallohu a’lam. [RN]
Penulis, Tri Setiawati,S.Si
Ibu Rumah Tangga, tinggal di Kademangan Blitar Jawa Timur