(Panjimas.com) – Diskursus relevansi agama berikut elastisitasnya dalam masyarakat telah menjadi suatu perbincangan yang amat panjang. Porsi budaya manakah yang dapat terinkubasi dalam agama? Pertanyaan tersebut yang akan selalu diulang-ulang dan selalu menjadi perdebatan hingga memunculkan bermadzhab-madzhab yang berkenaan dengannya.
Akbar S Ahmed juga menerangkan di zaman post-modernisme ini karakter masyarakat cenderung memburuk. Karakter masyarakat cenderung bersifat apatis, konsumtif, kurang memiliki daya kreasi untuk memiliki suatu karya yang besar. Serta yang paling parah adalah menjauh dari budaya keislaman dan Islam itu sendiri. Imam Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Nashaihul ‘Ibad mengajarkan bahwasanya ketika ada segolongan umat yang menjauhi ulama dan fuqaha maka akan datang tiga bencana yakni, hilangnya barakah atasnya, diangkat atasnya pemimpin yang dzalim, dan mati dalam keadaan tanpa iman.
Maka dari itu dibutuhkan suatu kekuatan yang sangat besar yang efektif dan efisien untuk dapat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat. Budaya tentunya dapat mengisi porsi kekosongan ini. Hal ini tak lepas dari peran budaya lokal yang menjadi “tembok berlin” terakhir atas determinasi globalisasi yang begitu kuat mengikis kepribadian masyarakat.
Akan tetapi dalam diskursus budaya ini, terdapat hal beberapa kritik terkait relevansinya dengan agama. Kebanyakan orang-orang sepemikiran dengan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najddy. Atau orang-orang yang mengatasnamakan Ahlu Sunnah wal Jamaah sebagai pendiri Wahabi. Genealogi kemunculan sekelompok ini dapat dipahami dan dibenarkan karena banyak tahayul, bid’ah, dan khurafat yang menyelimuti Umat Islam kala itu. Kini bagian dari umat Islam ini menjadi salah satu bagian yang berpendapat bahwasanya budaya itu memiliki beberapa hal bertentangan secara diametral dengan agama. Porsi pertentanganya lebih besar daripada bagian yang menyatakan dirinya Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Terlepas dari konflik tersebut kini kita tentunya akan melihat beberapa poin perspektif budaya sebagai alat dakwah era milenial,
Pertama, Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Menurut Kuntowijoyo, dalam kacamata budaya Indonesia, Islam dapat terlembagakan dengan apik dalam struktur masyarakat karena bantuan dari budaya. Kasus tahlilan, yasinan, barzanji terlepas dari kontroversinya mungkin dapat mewakili sampel pertama ini. Karena se sibuk apapun orang-orang seberapapun derajat keimanannya baik tua maupun muda di era milenial ini ketika diseru untuk tahlilan, yasinan, atau barzanji dapat dipastikan sebagian besar masyarakat mengikutinya. Karena hal tersebut telah menjadi simbol eksistensi dirinya dalam suatu masyarakat. Tanpanya seolah dia kehilangan eksistensinya, alienasi dan isolasi dari masyarakat sebagai akibat dari pelanggaran ini. Budaya seolah menjadi kekuatan epik yang dapat mengasimilasikan Islam dalam pola kehidupan sehari-hari serta dapat menjadi wadah yang efektif bagi ketersampaiannya Islam kepada masyarakat.
Kedua, Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Maka dari itu budaya dapat menjadi suatu wasilah dalam menjaga warisan spirit beragama orang-orang terdahulu. Misalkan ketika kita membicarakan maulid dan barzanji terlepas dari kontroversinya kita bisa menelusuri perjuangan nabi dan mewarisi spirit perjuangannya dalam menegakkan Islam. Studi aplikatif ini dapat menjadi bahan edukasi bagi masyarakat Indonesia yang angka membacanya menurut Pustakawan Utama perpus RI, Subekti Makdriani menduduki peringkat 60 dari 61 negara.
Ketiga, Dalam mengubah suatu keyakinan beragama tentunya membutuhkan suatu daya kreasi yang amat mumpuni dan tingkat intensitas implementasi yang tinggi. Kemunculan budaya sebagai fasilitator agama tentunya tak lepas dari peran para mubaligh dan kyai yang menurut Clifford Geertz sebagai cultural broker di masyarakat. Maka dari itu dibutuhkan suatu karya dan event yang menarik disuguhkan kepada masyarakat. Maka dari itu dibuatlah suatu event-event dakwah yang baru agar masyarakat awam dapat tertarik berkecimpung didalamnya. Hasil kreasi itu dapat kita lihat konkretnya dalam budaya tahlilan, barzanji, dsb sebagai budaya dalam artian event keagamaan. Upaya lain juga dilakukan seperti Sunan Kalijaga mengubah cerita dan tokoh Mahabarata dalam wayang, dengan nama-nama malaikat serta nabi. Selain itu dikarangnya tembang-tembang jawa seperti maskumambang, dhandang gula dsb oleh para wali yang menempatkan filosofi Islam disana. Arsitektur Masjid Kudus juga dapat mewakili asimilasi Islam didalamnya.
Keempat, Sakralisasi merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan ini. Hal ini dapat diruntut dalam genealogi bid’ah tahayul dan khurafat dalam agama Allah ini di zaman Nabi Nuh AS. Maka dari itu Sakralisasi terhadap event-event yang merupakan hasil kreasi ulama merupakan suatu keniscayaan pula. Maka dari itu dari event-event tersebut muncul keyakinan yang bersifat sinkretik yang turun-menurun. Tugas kita harus memahami suatu keniscayaan ini dan jangan melihat dari fakta dhahiri saja akan tetapi menelisik genealogi event keagamaan tersebut pada awal perumusannya. Mengapa hal tersebut di rumuskan dan uji relevansi dengan tuntutan zaman saat ini. Ulama ketika membudayakan suatu event pasti memiliki tujuan yang mulia yakni menyampaikan Islam dan disesuaikan dengan zaman tersebut. Masalah pemahaman sebagian masyarakat yang bersifat sinkretik tentunya merupakan tugas bersama untuk mengembalikan pemahaman tersebut ke tujuan awal.
Pada era post-modernisme ini, terimplementasinya Islam dalam kehidupan merupakan suatu hal yang sangat penting. Maka dari itu setiap bagian dari Umat Islam mempunyai caranya tersendiri untuk menyampaikan Islam. Hal ini yang patut sebagai perhatian kita semua bahwasanya suatu cara ketika dilandasi dengan postulat hukum yang kuat sah sah saja dilakukan. Jangan sampai kita mengkritik cara dan lupa dengan tujuan sebenarnya. Saat ini kita harus dapat menggugat perkataan Muhammad Abduh mengenai “Al-Islam mahjubun bil Muslimin.” Maka dari itu hendaknya kita merangkul satu sama lain untuk dapat menyampaikan Islam sebagai way of life dan juga menjadi sarana untuk mencapai raison d’etre kehidupan. Wallauhua’lam bishawab. [RN]
Penulis, Muhammad Arsyad Arifi
Aktivitas Pemuda Muhammadiyah DIY