(Panjimas.com) – Janji harus ditepati. Setiap calon pemimpin politik, termasuk calon presiden, gubernur dan bupati/walikota secara “social etic” harus membuat janji kepada pemilih. Sebab janji merupakan bagian terpenting dari ikhtiar branding para calon untuk mengenalkan program-program terbaiknya kepada para pemilih. Janji menjadi barang jualan untuk memberi harapan kepada para pemilih sebagai kompensasi suara yang diberikan. Janji adalah bukti kontrak politik yang bisa ditagih di kemudian hari. Janji inilah yang belakangan lebih populer dengan istilah “janji politik”.
Terkait dengan janji politik, calon pemimpin bisa dicluster dalam dua kelompok: pertama, tipe pragmatis yaitu calon pemimpin yang asal janji. Tipe ini yang paling banyak jumlahnya di era demokrasi sekarang ini. Banyak calon mengobral janji-janji politiknya tanpa lebih dahulu mengukur rasionalitasnya. Semua janji yang diminta pemilih ia sepakati. Semua kesepakatan tertulis ia tandatangani. Satu tujuannya: rakyat senang karena terakomodir keinginannya, lalu memberi kepercayaan dan memilihnya menjadi pemimpin. Sikap pragmatis ini sering digunakan oleh kebanyakan calon pemimpin semata-mata sebagai strategi meraih dukungan, baik di pilpres maupun pilkada. Disinilah dusta biasanya diobral. Apakah janji-janji itu dipenuhi?
Ada ungkapan: semakin banyak orang membuat janji, maka semakin besar kemungkinannya untuk menghianati. Ini biasa berlaku di pileg, pilpres, terutama pilkada. Jokowi termasuk calon presiden saat itu yang murah janji. Bahkan ada yang mengatakan pilkada dan dusta adalah saudara kembar. Yang lebih apatis lagi, seperti J. Kristiadi (Kompas 4 Oktober 2016) misalnya berkata: tiada pilkada tanpa dusta.
Kedua, calon pemimpin yang selektif dan berhati-hati soal janji. Artinya, ia punya ukuran-ukuran tertentu dan tidak sekedar ingin memenuhi hasrat rakyat. Ia menghitung dengan benar apakah janji itu rasional dan bisa dipenuhi. Calon pemimpin tipe ini umumnya adalah mereka yang potensi karirnya bagus dan berpeluang untuk melanjutkan karir politik ke tingkat yang lebih tinggi. Jika ia bupati/walikota, ia berpeluang untuk menjadi gubernur. Dan jika ia gubernur, ia berpeluang jadi presiden. Mereka umumnya tidak mudah meneken dan bermain-main dengan janji, karena akan sangat berpengaruh bagi masa depan karir politiknya.
Model calon pemimpin tipe kedua ini tidak banyak karena umumnya para calon pemimpin politik itu pragmatis dan berpikir jangka pendek. Terutama bagi calon pemimpin dengan IQ pas-pasan, pendidikan rendah, minus pengalaman dan hanya modal popularitas/pencitraan dan uang.
Bagaimana gubernur dan wagub terpilih DKI Anies-Sandi? Pasangan ini telah menawarkan 23 janji saat kampanye. Apakah mereka akan mampu memenuhi janji politiknya?
Terlalu dini untuk menilai mereka saat ini. Tapi setidaknya publik bisa meraba-raba dengan mengajukan beberapa pertanyaan: pertama, apakah janji Anies-Sandi masuk akal?
Keberanian Anies-Sandi membuat 23 janji ini termasuk sebuah terobosan dan keberanian. Dengan menyebut angka 23 secara kuantitatif pasangan ini seperti menantang publik untuk mengukur tingkat kesuksesan dan kegagalan mereka. Sederhana, dengan menggunakan prosentase kuantitatif, maka akan keluar skor seberapa besar janji Anies-Sandi bisa dilaksanakan. Jika 23 janji semua terpenuhi, maka Anies-Sandi sukses. Jika tidak terpenuhi, maka Anies-Sandi gagal. Berapa persen tingkat kegagalannya tinggal mengukur berapa janji yang belum/tidak dipenuhi dalam jangka waktu lima tahun. Belum dari aspek kualitatif, sesuaikah pemenuhan 23 janji itu dengan standar kualitas kebutuhan masyarakat dan potensi penyerapan anggaran yang dimiliki DKI.
Harus diakui, tidak banyak calon pemimpin yang punya nyali untuk memberi kejelasan janji yang membuat publik mudah untuk mengukur skoring kinerja seorang pemimpin. Pada umumnya para calon pemimpin membuat janji yang absurd, sehingga tidak mudah didikte karena tidak ada ukuran yang pasti.
Bicara rasionalitas 23 janji Anies-Sandi mulai dari KJP Plus, DP 0%, Mengentaskan 200 ribu dari 600 ribu pengangguran di DKI, pemberdayaan perempuan terutama di bidang ekonomi, transportasi terintegrasi, sampai menghentikan proyek reklamasi, merupakan program yang wajar, masuk akal dan sesuai kebutuhan masyarakat Jakarta. Untuk program yang disebutkan terakhir adalah program yang tidak mudah dari sisi pelaksanaan karena harus berhadapan dengan pengembang raksasa yang telah berhasil menyuap oknum anggota legislatif dan mendapat dukungan pemerintah pusat.
Kedua, bagaimana keberpihakan Anies-Sandi ketika berhadapan dengan dua kepentingan yang seringkali berlawanan yaitu rakyat yang memberikan amanah dan konglomerat yang biasanya menawarkan kompensasi menggiurkan?
Berhadapan dengan para taipan biasanya hanya ada satu diantara dua pilihan: mengakomodir dengan kompensasi yang menggoda, atau menolak dengan konsekuensi akan diganggu kinerjanya, bahkan diancam posisinya. Jawaban tegas Sandiaga Uno pada pertemuan di kantor DPP partai Golkar minggu, 29 oktober 2017 lalu untuk menghentikan proyek reklamasi menunjukkan pilihan yang kedua: menolak dengan konsekuensi menghadapi resiko kerja dan politik. Disisi lain sikap ini telah memberi harapan masyarakat bahwa pemimpin baru DKI ini tidak main-main dengan 23 janjinya kepada rakyat. Pilihan menghentikan proyek naga ini bisa dianggap sebagai bentuk ketegasan keberpihakan kepada rakyat kecil, terutama nelayan yang terancam profesinya dan rakyat Jakarta yang dihantui banjir.
Tidak hanya reklamasi, Anies-Sandi juga menutup Alexis (Kumparan, 27/10/2017). Diawali dengan tidak memperpanjang izin Alexis, sebuah bisnis lendir terbesar dan termegah di Jakarta Anies-Sandi melalui dinas terkait mengirim surat resmi kepada direktur PT. Grand Ancol Hotel, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) yang isinya menyatakan tidak bisa memproses surat permohonan tanda daftar usaha pariwisata (TDUP) yang diajukan Alexis, menjadi pemanasan gubernur dan wagub di bulan pertama kinerjanya. Kebijakan ini menjadi sinyal bahwa Anies-Sandi tidak mau kompromi dengan para pengusaha hitam. Ini tidak berarti tanpa resiko. Sebab, tidak ada pengusaha hitam yang tidak memiliki koneksi kekuasaan dan kekuatan backing. Keputusan tidak memperpanjang bisnis esek-esek kelas kakap ini menunjukkan bahwa Anies-Sandi punya nyali untuk berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang siap mengganggu kinerjanya di kemudian hari. Hal ini dianggap sangat berani mengingat Anies-Sandi tidak punya back up kursi partai mayoritas di DPRD dan juga kekuasaan yang lebih tinggi di belakangnya. Keputusan ini tergolong super nekat.
Penutupan Alexis oleh Anies-Sandi spontan telah mengundang reaksi dari anggota DPRD, diantaranya adalah Ketua Fraksi Nasdem, Bestari Barus. Ini bukti betapa kebijakan yang berpihak kepada rakyat seringkali harus berhadapan dengan sejumlah kepentingan yang siaga menghadang dengan berbagai perlawanan, baik hukum maupun opini.
Pengusaha dalam menjalankan bisnisnya umumnya memiliki jejaring kekuatan di berbagai lini kekuasaan. Seperti suatu keniscayaan bagi setiap kapitalis untuk menggandeng punguasa sebagai pelindung bisnisnya. Inilah yang oleh kelompik Marxis dikritik tajam dengan ungkapan bahwa negara adalah anjing borjuis.
Tidakkah Anies-Sandi punya kekuatan people power? Ini pertanyaan bagus mengingat Anies-Sandi didukung oleh hampir enam puluh persen warga Jakarta. Yang perlu dipahami, jika Anies-Sandi tidak mampu menjaga hubungan yang bersifat “mutualism” dengan rakyat, maka rakyat pun bisa berbalik menyerangnya. Seringkali rakyat masuk angin ketika terjadi kasus dengan pengelolaan isu yang massif oleh lawan-lawan politik. Disinilah kepiawaian Anies-Sandi dalam membangun komunikasi dengan rakyat dan kesesuaian program-programnya dengan kebutuhan rakyat akan menjadi penentu.
Dua hal di atas yakni menghentikan proyek reklamasi dan menutup Alexis, meski merupakan langkah awal yang penuh harapan, tapi belumlah cukup untuk memberikan penilaian kepada gubernur dan wagub yang baru dua pekan dilantik ini. Masih banyak program yang harus dibuktikan kepada publik, khususnya terkait dengan 23 janji yang telah dicatat oleh masyarakat. Rakyat juga menunggu bukti keberpihakan Anies-Sandi kepada rakyat, terutama ketika harus berhadapan dengan sejumlah kepentingan yang berseberangan. [RN]
Penulis, Tony Rosyid
Direktur Graha Insan Cendikia