Panjimas.com) – Sejumlah pimpinan perguruan tinggi dan civitas akademik mengikuti acara deklarasi aksi kebangsaan perguruan tinggi se Indonesia melawan radikalisme. Acara ini berlangsung di Nusa Dua Convention Center Bali pada tanggal 25-26 September 2017. Materi seminar kebangsaan ini mengangkat judul “Lembaga Pendidikan Tinggi sebagai Benteng Pancasila dan NKRI”. Hadir dalam acara tersebut sebagai pembicara Kapolri Jendral Tito Karnavian, Menteri Agama H. Lukman Hakim Saifuddin, dan tokoh sebuah ormas. Hadir pula Presiden Joko Widodo dalam acara tersebut.
Dalam acara tersebut disampaikan rekomendasi agar radikalisme dimasukkan dalam mata kuliah. Selain itu juga disampaikan bahwa radikalisme merupakan rongsokan peradaban Arab yang kalah dan kelompok moderat harus lebih banyak bersuara untuk menghadapi kelompok radikal. Sebagai hasil tindak lanjut acara ini, akan diselenggarakan Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2017 yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Aksi tersebut rencananya akan diikuti oleh pimpinan perguruan tinggi dan civitas akademik yang sepakat menolak paham radikalisme di kampus. Bentuk dari aksi ini adalah kuliah akbar dan pembacaan deklarasi perguruan tinggi melawan radikalisme.
Agenda deklarasi aksi kebangsaan yang berlangsung di Bali tersebut selain menghasikan rencana aksi kebangsaan pada tanggal 28 Oktober, juga menimbulkan efek pembungkaman sikap kritis mahasiswa dan kegiatan dakwah Islam di kampus. Di beberapa kampus, organisasi kemahasiswaan dan juga UKM dibekukan. Lembaga kajian keislaman di kampus juga demikian. Bahkan ada beberapa organisasi kemahasiswaan yang dibuat statusnya tidak jelas.
Semua itu dilakukan penguasa sebagai bentuk upaya perlawanan rezim ini terhadap apa yang mereka sebut sebagai radikal dan merongrong Pancasila dan NKRI. Siapa saja yang mereka klaim bertentangan dengan Pancasila dan NKRI itu harus disasar, tidak hanya ormas tetapi juga civitas kampus. Berbagai kebijakan dari pembekuan ormawa sampai memasukkan materi radikalisme sebagai mata kuliah adalah bukti nyata tak terbantahkan.
Jika kita cermati, sasaran gagasan anti radikalisme adalah apa dan siapa saja yang berhubungan dengan sikap kritis juga berhubungan dengan Islam. Seolah sikap kritis dan Islam itu sangat berbahaya. Sehingga kampus kini dijadikan perpanjangan tangan rezim dalam membendung sikap kritis dan dakwah Islam. Dengan memunculkan opini bahwa kampus adalah sarang radikalisme, rezim terus membenturkan Islam dengan pancasila dan NKRI serta membungkam suara mahasiswa.
Atas dasar itulah maka jika kita telisik lebih dalam, rencana agenda aksi kebangsaan tanggal 28 oktober yang bertepatan dengan hari sumpah pemuda nanti adalah bentuk dukungan masyarakat (kampus) terhadap kebijakan penguasa dalam melawan radikalisme. Tentu radikalisme yang dimaksud adalah radikalisme versi penguasa hari ini. Penguasa hendak melandingkan opini menyesatkan dengan menampilkan semangat pemuda dalam melawan apa yang mereka sebut radikalisme.
Sungguh nyata, radikalisme kini menjadi kedok dalam melakukan perlawanan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Sejak dikeluarkannya PERPPU No.2 Tahun 2017 penguasa berusaha untuk membendung segala pemikiran kritis terhadap kinerja penguasa juga dalam dakwah Islam. Sudah seharusnya masyarakat intelektual dunia kampus juga harus memahami apa yang terjadi, bukan justru menjadi tangan panjang penguasa.[RN]
Penulis, Novita Fauziyah