(Panjimas.com) – Milenia ketiga ini telah menunjukkan ciri khasnya. Setiap insan merdeka kini menikmati kebebasan hidup yang tiada tara. Apapun kini dilakukan atas nama HAM, kemerdekaan individu untuk berbuat semaunya adalah tolak ukur kebenaran pada abad ini. Inilah yang sudah diramalkan oleh Prof. Kuntowijoyo sebelum ajal menjemputnya beberapa tahun silam.
Dominasi media massa juga mengisyaratkan siapapun yang memegang opini publik, maka di tangannyalah kekuasaan bersujud. Akbar S. Ahmed dalam bukunya post-modernism menamakan hal ini sebagai karakter post-modernisme.
Maka dari itu meminjam istilah dari Dr. Adian Hussaini kini kita dalam ghazwul fikr atau perang pemikiran. Siapapun yang tak memiliki iman dan ilmu yang kuat maka ia akan tergerus oleh zaman dan terbutakan oleh pengetahuan yang menyesatkan.
Dapat kita ketahui bahwasannya globalisasi telah mencapai tahap yang mengerikan. Di satu sisi, informasi yang terbuka turut mempermudah bagi masyarakat awam untuk membedah dunia. Akan tetapi di sisi lain, orang awam tersebut tidak mengetahui mana yanng dianggapnya informasi baik mana yang dianggapnya informasi jahat. Kini masyarakat pedesaan di pelosok negeri, banyak yang memiliki gaya hidup seperti orang-orang Washington atau Paris tanpa mengetahui latar belakang terwujudnya budaya tersebut. Karena hal itu merupakan suatu hal yang baru, dan tidak diketahui sebelumnya bagi masyarakat awam. Apalagi hal yang sangat penting ialah tentang kesesuaian agama kita dengan budaya tersebut.
Dewasa ini kita di hebohkan dengan kasus cara berpakaian bagi orang-orang muslim. Ada yang mengaku mewajibkan misalnya bercadar, kalau tidak berarti dosa. Ada juga yang mengaku mengharamkan cadar jika memakainya termasuk bid’ah. Media menggiring pola pikir masyarakat mengatakan bahwasannya yang memakai cadar itu teroris. Juga pakaian seperti gamis, celana yang tidak isbal atau dibawah mata kaki, dikatakan budaya Arab dan tidak cocok di Indonesia juga diidentikkan dengan teroris. Selain itu pakaian-pakaian yang berasal dari barat seperti celan jeans yang ketat atau sobek-sobek, you can see, mengumbar rambut dan sejenisnya dikatakan hal biasa dikatakan pula kebebasan. Hal ini merupakan suatu fenomena yang juga tidak biasa dihindarkan. Mau tidak mau kita berada dalam kumparan majemuk ini.
Apakah kita bisa menyatukan semuanya, menjadi satu pemahaman walaupun kita berdalil sana sini ? Tentunya tidak.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ اُنْثَى وَ جَعَلْنكُمْ شُعُوْبًا وَ قَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقكُمْ اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai orang-orang beriman sungguh kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sungguh Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS. Al-Hujurat : 13)
Setiap manusia memiliki kadar iman, kedalaman ilmu, dan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwasannya kemajemukan adalah sunnatullah. Kita harus memposisikan diri sebagai subyek yang ingin mengenal suatu subyek lain, tanpa ada perbedaan kelas sosial. Jika ingin menyatukannya sama saja menuntut semua orang yang ada di dunia ini berbicara menggunakan bahasa Inggris semuanya. Hal ini sangat mustahil, kesalahan ideologi-ideologi terdahulu seperti Nazisme, Fasisme, Khawarij, dsb. Adalah sangat ingin memaksakan sebuah ideologi serta mengesampingkan kemajemukan nilai.
Kita tidak bisa menjustifikasi bahwasannya cadar merupakan budaya Arab, hanya karena cadar kini diidentikkan dengan Arab dan Islam tidak mewajibkan pemakaiannya. Kalau seperti itu caranya, kita dapat menyebut bahwasannya celana jeans yang sobek-sobek, you can see, rok mini itu budaya eropa, dan tidak sesuai dengan Indonesia karena bertentangan dengan moral dan kearifan lokal. Juga patut dipertanyakan mana budaya Indonesia yang asli ? Yaitu Budaya yang dapat dikatakan sebagai budaya nasional yang dilakukan oleh nenek moyang kita dahulu di seluruh Indonesia.
Tan Malaka dalam bukunya MADILOG menyontohkan kejayaan Nusantara pada zaman kuno yang menjadi pusat budaya di Asia Tenggara. Akan tetapi kini, kita hanya menemukan sisa-sisa dari prasasti-prasasti dan diketahui dari peradabannya yang menyembah dewa-dewa dan alat kelamin seperti yang dijelaskan oleh Buya HAMKA di filsafat ketuhanan. Seperti patung Adityawarman yang kelihatan alat kelaminnya dan budaya Bairawatantra yang menyembelih wanita. Apakah kita harus menyontoh budaya demikian ? Sedangkan kata asli saja berasal dari bahasa arab (اصل) yang berarti dasar.
Jika kita ditanya mana budaya asli Indonesia, kerancuan akan terjadi. Karena menurut teori Harun Yahya yang diambil dari kebenaran Islam, manusia bergerak sporadis beranak pinak dari turunnya manusia pertama yakni Nabi Adam hingga kini. Dalam berpindahnya mereka beradaptasi dan membuat budaya, jadi pada hakikatnya budaya yang benar-benar asli tidak ada dan budaya akan saling terkait oleh budaya lainnya.
Menurut Andreas Eppink Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dll, tambahan lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Jadi budaya Indonesia adalah suatu budaya yang berisi kumpulan budaya yang ada didalamnya. Termasuk cadar yang tak bisa dipisahkan dari asimilasi budaya dalam salah satu upaya pemahaman syariat Islam. Dalam budaya, kita harus mengamini perkataan para filsuf Yunani yang mengatakan bahwasannya perubahan itu akan senantiasa terjadi yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.
Kita harus belajar dari sejarah, telah banyak darah yang tertumpah demi menyelamatkan suatu peradaban. Berjuta-juta perang telah dilakukan atas nama ideologi. Jika kita kembali kepada sifat ekstrimis demikian sia-sia darah miliaran orang yang mati karenanya. Kini peradaban sendiri itu telah dewasa, mencapai titik tasamuh yang tinggi. Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah, mengatakan Indonesia dapat merdeka karena dapat mempersatukan seluruh Umat Islam. Beragamnya model pakaian yang ada di Indonesia ini adalah merupakan produk sejarah dan budaya. Karenanya bersifat sporadis dan tentunya tidak bisa digeneralisasikan.
Syariat jangan kita posisikan sebagai alat untuk memecah belah persatuan. Maka dari itu kita harus benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan tuhuan syariat atau Maqashid Syariah. Setiap terproduksinya hukum praktis seperti haram, makruh, wajib, sunnah dan mubah, terikat dengan dimensi waktu dan kondisi. Pakaian merupakan masuk dalam kategori Muammalah bukan ibadah ataupun aqidah. Sedangkan dalam hal muammalah terdapat kaidah fikih :
لأَصْلُ فِى الشُّرُوْطِ فِى المُعَمَّلَاتِ الحِلُّ وَ الإِبَاحَةُ إِلَّا بِدَلِيْلٍ
Hukum asal menetapkan syarat dalam muammalah adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.
Muhammadiyah dalam Fatwa Tarjihnya (Tanya Jawab Agama 4, hal. 238-239) juga mengambil sikap tengah-tengah dalam bab cadar ini yakni tidak melarangnya dan tidak mewajibkannya. Maka dari itu pada hakikatnya bukan menjadi suatu masalah bagi yang memakai cadar maupun tidak, karena kebutuhan tiap-tiap orang berbeda-beda yang paling penting adalah pakaian yang menutup aurat. Jangan kita larang orang untuk bercadar karena seperti itulah ia memahami Islam dan berusaha menaatinya. Seandainya cadar dilarang maka lebih berhak melarang rok mini, jeans ketat, serta pakaian yang mengumbar aurat lain yang dikatakan budaya barat yang jelas-jelas melanggar syariat.
Pada hakikatnya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari menyatakan bahwasannya persatuan merupakan Maqashid Syari’ah (tujuan syari’at) terpenting di agama Islam. Jangan hanya karena hal furu’ seperti cadar ini, Umat Islam terpecah belah. Karena persatuan merupakan suatu hal yang penting demi mengembalikan kejayaan peradaban Islam yang saat ini terpuruk dibawah peradaban lainnya. Wallahua’lam bishawab. [RN]
Jakarta, 18 Oktober 2017
Penulis, Muh. Arsyad Arifi
Aktivis Pemuda Muhammadiyah DIY, sedang menempuh pendidikan di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Jakarta