(Panjimas.com) – Suatu malam usai shalat Isya seorang jama’ah pulang paling akhir. Ia bukan marbot masjid, hanya jama’ah biasa. Maklum, kepengurusan masjid itu belum berfungsi prima. Maklum, kampung itu dulunya “milik” agama lain lalu terjadi islamisasi perlahan.
Orang itu mematikan lampu, menutup-mengunci pintu. Di serambi, di lantai tepat muka pintu, ada ubin bercorak lain. Lantai berdebu disentuh telapak kaki basah, corak lain itu. Menuju bangunan dekat tempat wudhu ia mau mengambil alat pengepel lantai.
Sempat ragu, ingat di rumah ada tanggungan pekerjaan, harus menghemat waktu, tak berlama-lama di situ. “Mengapa aku harus melakukan apa yang orang lain tak memedulikan?” ia berfikir. Tak hanya malam itu, semenjak tinggal di kampung tersebut setahun lalu, disaksikannya kondisi masjid yang tetap sama, merana. Hati tersentuh, tangan merespon dengan tindakan: sekadar mengepel serambi muka pintu, menjumput sampah di halaman.
Malam itu, tersadar di benak, “Manusia dicipta dengan keunikannya.” Ia ingat seorang jama’ah yang sangat aktif shalat di masjid. Setiap tak sedang masuk kerja di kota, ia hadir, walau hujan dan jalan setapak dari rumahnya ke arah masjid tergenang. Dan nyaris setiap hadir, ia mengajak anak balitanya, walau akhirnya hanya berlari-lari kian kemari mengganggu kekhusyukan ibadah. Itu keunikan dirinya. Manusia punya keunikan sendiri-sendiri.
“Wahai manusia, Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (al-Hujuraat: 13).
Tiada keseragaman sempurna, keberagamanlah yang ada. Jangan menuntut kesamaan, biarkan perbedaan. Berbeda boleh saja asalkan dalam kebaikan. Jangan takut berbeda dengan kebanyakan orang. Tapi juga jangan khawatir keunikan diri ditiru orang-orang dan akhirnya jadi milik banyak orang. Tak mengapa, karena Allah ta’ala memberi nilai berdasar kualitas taqwa, bukan keunikannya. Keunikan yang baik bila ditiru oang lain malah akan menjadi pahala kita tanpa mengurangi pahala mereka.
“Barangsiapa menunjuki kepada kebaikan, ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakan.” (HR. Muslim 1893).
Kita tak perlu enggan melakukan apa yang orang lain tak lakukan. Biar saja orang, asal itu kebaikan, lakukan!
“Dan setiap umat memiliki kiblat yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebajikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkanmu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah: 148).
Keunikan, selama itu baik, hendaknya dipelihara karena itulah jati diri yang sebenarnya. Di samping itu, kita juga harus memaklumi keunikan orang lain dengan hati terbuka. Misal saja keunikan jama’ah yang aktif mengajak anak balita. Kita harus memahaminya dengan baik sangka, bahwa ia melakukan itu dengan maksud menanamkan jiwa ahli ibadah sejak dini kepada anaknya. Bila ternyata cara yang ia terapkan berefek samping mengusik ketenangan kita, berarti kita dapat pesan moral dari situasi itu. Bila sadar cara itu kurang ahsan, kita akan terpacu mencari cara beda yang lebih tenggang rasa.
Memahami keunikan orang lain, belajar dari keunikan-keunikan yang ada, dan berintrospeksi atas keunikan diri, adalah tugas kita sebagai Muslim dalam berperikehidupan. Dengan demikian, insya Allah peradaban Islam kian berkemajuan. Wallahu a’lam. [IB]