Oleh: Hersubeno Arief
(Panjimas.com) – Sebuah media online menurunkan berita dengan judul cukup provokatif. “(Berdasarkan) Konsultasi kartu tarot, Anies-Sandi bisa mundur di tengah jalan.” Judul berita tersebut sesungguhnya bukanlah ramalan, tapi sebuah harapan. Lebih tegasnya lagi bahkan sebuah rencana. Ya Anies-Sandi, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru akan dilantik Senin (16/10) sudah menghadapi berbagai skenario konspirasi menjatuhkannya. Eksekusi berbagai skenario itu bahkan sudah berlangsung jauh hari sebelum keduanya menjabat.
Beberapa hari sebelum pelantikan, di berbagai platform pertemanan media sosial sudah beredar secara massif janji-janji kampanye Anies-Sandi. Di bawahnya tertulis “Harapan 58% penduduk Jakarta, tapi bukan saya.”
Lucunya yang menyebarkan pesan tersebut kebanyakan bukan warga Jakarta. Banyak diantaranya malah tinggal di luar negeri. Tentu saja mereka tidak memilih Anies-Sandi dan tidak berharap dapat Dp rumah 0%.
Kontestasi Pilkada DKI 2017 sampai saat ini belum berakhir, bahkan mungkin tidak akan pernah berakhir. Para pendukung Ahok-Djarot terutama para cukongnya, hingga kini belum bisa move on dan tetap mencari berbagai cara agar pemerintahan Anies-Sandi tidak berjalan sukses. Kalau perlu seperti “ramalan” tarot tadi, keduanya harus turun di tengah jalan.
Anies-Sandi adalah ancaman serius sebuah status quo yang selama ini dinikmati oleh kelompok oligarki. Kemenangan pasangan yang didukung oleh kelompok masyarakat madani dan umat ini, membuat skenario penumpukan kekayaan dan kekuasaan di tangan mereka menjadi berantakan. Wajar jika mereka marah tak ada habis-habisnya.
Apa saja skenario dan cara yang akan ditempuh kelompok-kelompok penentang Anies-Sandi ini? Setidaknya ada empat skenario/cara yang bisa dilakukan. Pertama, menjegal berbagai program Anies-Sandi melalui pemerintah pusat. Kedua, melalui internal Pemprov. Ketiga, melalui proses politik di DPRD. Keempat melalui jalur hukum.
Penuh ranjau dan bom waktu
Skenario pertama sudah berjalan. Salah satu janji kampanye Anies-Sandi adalah menghentikan proses reklamasi Pantai Utara Jakarta. Badan Pertanahan Nasional sudah menerbitkan Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) untuk Pulau C dan Pulau D. Penyerahan sertifikat HPL bahkan langsung dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Setelah itu Kemenko Maritim mencabut moratorium 17 pulau reklamasi. Semua proses tersebut dilakukan dengan cepat sebelum Anies-Sandi dilantik. Seperti sebuah orchestra yang partiturnya telah ditulis dengan rapi, Gubernur DKI Djarot segera mengajukan pembahasan Rancangan Perda (Raperda) pulau reklamasi hanya dua hari menjelang masa jabatannya berakhir. Rajin dan bersemangat sekali gubernur yang satu ini.
Target dari berbagai manuver pemerintah pusat dan Djarot ini jelas untuk menyelamatkan proyek para pengembang raksasa itu. Mereka menginginkan semua proses hukum dan perizinan beres. Dengan begitu Anies-Sandi tidak bisa berbuat apa-apa, sekaligus tidak bisa memenuhi janji kampanyenya.
Skenario kedua, Anies-Sandi diganjal secara internal. Hanya tiga bulan sebelum meninggalkan jabatannya, Djarot melakukan pergantian besar-besaran di eselon II , III dan IV Pemprov. Tidak tanggung-tanggung, ada 174 pejabat yang dirotasi. Djarot dicurigai menempatkan para pendukungnya di berbagai posisi strategis. Para pendukung Ahok-Djarot ini bisa mengganjal berbagai program Anies-Sandi agar dan bertindak sebagai oposisi dari dalam.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, pada Pasal 71 ayat 1 dan 2 seorang pejabat tidak boleh mengambil berbagai keputusan strategis, termasuk mengganti pejabat, enam bulan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali mendapat izin Mendagri.
Anehnya Djarot yang sudah kalah Pilkada mendapat restu dari Mendagri melakukan rotasi. Masalahnya sebagai pejabat baru Anies-Sandi juga terkena aturan tidak boleh melalukan pergantian pejabat setidaknya pada enam bulan pertama masa jabatannya. Untuk pejabat pimpinan tinggi aturannya malah sampai dua tahun awal masa jabatan. Hal itu diatur dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Bisa dibayangkan apa yang bisa dilakukan Anies-Sandi harus bekerja dengan tim/pejabat pilihan gubernur sebelumnya yang nota bene adalah lawan politiknya.
Djarot juga sudah meninggalkan bom waktu berupa APBD 2018 yang tidak mengakomodir program kerja Anies-Sandi. Salah satunya adalah janji kampanyenya berupa Dp 0 rupiah. Program tersebut hampir dipastikan tidak bisa diekseskusi pada tahun pertama pemerintahannya, kecuali setelah ada APBD perubahan pada bulan September-Oktober.
Skenario ketiga, Anies-Sandi akan menghadapi oposisi dan tawar menawar politik yang keras dari DPRD. Partai pendukung keduanya Gerindra-PKS hanya memiliki 26 kursi dari total 100 kursi di DPRD DKI. Bila ditambah dengan 2 kursi PAN yang bergabung di putaran kedua, jumlahnya hanya 28 kursi. DPRD bisa mengganjal berbagai program yang dirancang oleh Anies-Sandi.
Skenario keempat melalui jalur hukum. Sejumlah media menulis bahwa sehari setelah pelantikan Wagub Sandiaga Uno akan diperiksa oleh polisi dalam kasus penggelapan tanah. Pada masa kampanye dan setelah terpilih Sandi juga pernah diperiksa oleh KPK berkaitan dengan kasus korupsi yang melibatkan mantan Bendum Partai Demokrat Nazarudin.
Tidak tertutup kemungkinan akan bermunculan berbagai pelaporan kasus yang melibatkan Anies-Sandi, baik yang bersifat pribadi (skandal perempuan dsbnya), maupun masalah hukum seperti korupsi. Semuanya bisa dicari-cari dan diatur. Soal benar atau tidak, bukan masalah. Yang penting muncul di media.
Berbagai kasus tadi akan diblow up melalui media dan media sosial. Jangan kaget bila hari-hari mendatang isi media dan media sosial adalah berita-berita negatif tentang Anies-Sandi. Targetnya mendowngrade dan membuat tingkat kepercayaan publik menjadi rendah (public distrust).
Serangan tersebut akan sangat gencar pada masa-masa awal pemerintahan Anies-Sandi, yang entah dari mana salahnya sering disebut sebagai 100 hari pertama. Seolah bila dalam 100 hari tidak berhasil melaksanakan janji kampanye, maka pemerintahan tersebut sudah gagal. Agar terkesan ilmiah berbagai skenario tadi akan dilengkapi dengan berbagai survei. Yakni survei secara berkala tentang tingkat kepuasan publik.
Survei-survei ini akan dikemas sedemikian rupa, dan dibentuk menjadi publik opini yang disebar secara massif melalui media dan medsos. Targetnya pemerintahan keduanya gagal memenuhi janji kampanye dan harapan publik. Pokoknya dibandingkan dengan Ahok, mereka tidak ada apa-apanya.
Sejumlah lembaga survei yang pada Pilkada DKI 2017 terbukti menjadi konsultan atau setidaknya partisan Ahok-Djarot dipastikan akan mengambil peran utama dalam proses penggembosan Anies-Sandi. Siapa saja mereka? Anda pasti dengan mudah mengenalinya. Hari-hari Anies-Sandi memimpin DKI tidak akan mudah. Selain harus memenuhi janji kampanye, mereka akan menghadapi sebuah masyarakat yang terbelah (divided society, divided nation).
Apapun yang keduanya lakukan, akan dicari kesalahannya. Sikap tamak, kebencian dan kemarahan yang membara di dada, membuat orang cerdas menjadi bodoh dan dungu. Sebagaimana dikatakan Presiden AS ke-28 Woodrow Wilson “In Public Affair, Stupidity is more dangerous than knavery, its harder to fight.” []