(Panjimas.com) – Dua anak lelaki, satu bertelanjang dada, satu lagi tanpa sehelai benangpun. Mereka asyik mandi di sumur pompa. Pompa air itu baru dipasang, belum ada plester di bawahnya, masih tanah liat coklat.
“Namamu siapa?” tanya saya. “Nujibullah,” jawab anak kecil itu. Logat Bengali kental di lidahnya.
Nujibullah dan adiknya asyik mandi. Di sela membilas kulit mereka yang legam mengkilat itu, mereka menenggak air yang keluar dari pompaan mereka. Warnanya coklat muda.
Saya penasaran. Lalu mengambil air memakai dua tangan. Rasanya, lumpur pekat. Saya keluarkan lagi dari mulut. Batin saya, bagaimana mereka bisa minum air itu ya? Masih tercampur lumpur.
Saya lihat, perut buncit tanda kurang gizi. Mengenaskan sekali anak pengungsi Rohingya itu. Makan seadanya, mengandalkan bantuan, minum pun air tanah mentah.
Disentri, kolera, dan wabah penyakit mengerikan mengepung anak-anak ini. Nujibullah hanya satu, tapi yang bernasib seperti dia dan adiknya, ada ratusan ribu. Mereka yatim, baik biologis maupun kenegaraan. Ayah mereka mati di Myanmar, ibu mereka tak tahu dimana, dan mereka tidak dianggap warga negara manapun.
Inilah wajah anak-anak pengungsi Rohingya. Kita harus membantu. Rumah Zakat akan mendistribusikan bantuan makanan ke pengungsi. Setelah itu akan membangun shelter sementara yang layak huni. Termasuk juga sarana air bersih. Agar mereka bisa mandi, dan minum air yang layak.
Saya, Hendrik Andika, relawan kemanusiaan Rumah Zakat, saat ini ada di Cox’s Bazar Bangladesh. Mengajak untuk ikut membantu, bangunkan mereka rumah tinggal layak meski sederhana. Mari bantu bersama. [RN]
Penulis, Amin Sudarsono