ISTANBUL, (Panjimas.com) – Bank Syariah Turki “Kuveyt Turk” yang berbasis di Istanbul menyumbangkan dana senilai 1 juta liras Turki ($286.000 dollar) kepada Masyarakat Bulan Sabit Merah Turki, Jumat (22/09) lalu untuk membantu Muslim Rohingya yang dianiaya di Myanmar.
Ufuk Uyan, Manajer Umum Bank Keuangan Islam “Kuveyt Turk”, mengatakan bahwa karyawan dan para pelanggan mereka menawarkan untuk membantu Rohingya dengan harapan ini akan membuka jalan bagi kampanye amal, dilansir dari Anadolu.
Presiden Masyarakat Bulan Sabit Merah Turki (Turkish Red Crescent Society), Kerem Kinik mengatakan bahwa pihaknya gembira mengetahui bahwa bank mengetahui tanggung jawab sosialnya dan ingin membantu kelompok rentan seperti Rohingya.
Berbicara tentang kunjungannya ke Bangladesh di mana ratusan ribu pengungsi Rohingya tinggal di kamp-kamp, Kerem Kinik berkata: “Kami melihat ketakutan di wajah-wajah mereka. Mereka telah melarikan diri bahkan tanpa sepasang sepatu di kaki mereka.”
Kinik menambahkan bahwa pemerintah di Myanmar tidak memberikan hak-hak dasar kepada etnis Muslim Rohingya.
“Mereka tidak punya hak kewarganegaraan. Mereka tidak bisa kuliah di universitas, atau memiliki lebih dari dua anak. Mereka tidak bisa pergi ke kota lain.”
Kinik mengatakan Masyarakat Bulan Sabit Merah Turki (Turkish Red Crescent Society) akan membangun 24.000 tempat penampungan dan rumah sakit untuk 100.000 Muslim Rohingya di Myanmar.
“Kami akan membantu 20.000 keluarga Rohingya pekan ini,” pungkasnya.
Dia mendesak warga Turki untuk menyumbangkan dana senilai 10 liras Turki ($3 dollar) dengan mengirim pesan “Arakan” ke 2868 atau dengan mengunjungi www.kizilay.org.tr.
Sejak 25 Agustus, lebih dari 429.000 Rohingya telah menyeberang dari negara bagian Myanmar di Rakhine ke Bangladesh, menurut Badan Imigrasi PBB, IOM.
Secara total, lebih dari 800.000 pengungsi Rohingya sekarang diyakini berada di Bangladesh, termasuk gelombang para pendatang baru yang melonjak sejak 25 Agustus lalu.
Sementara Militer Myanmar mengatakan bahwa mereka hanya menargetkan gerilyawan Rohingya, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia, ‘United Nations High Commissioner for Human Rights’, Zeid Ra’ad Al Hussein mencemooh pernyataan tersebut, dengan mengatakan bahwa citra satelit dengan jelas menunjukkan bahwa Militer Myanmar membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Para pengungsi Rohingya terpaksa melarikan diri dari operasi keamanan militer di mana pasukan keamanan dan gerombolan ektrimis Buddha membunuhi pria, wanita dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah dan bahkan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Menurut pemerintah Bangladesh, sekitar 3.000 Muslim Rohingya dibantai dalam tindakan kekerasan Militer Myanmar tersebut.
Etnis Paling Teraniaya di Dunia
Rohingya, disebut oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya di dunia, danmereka telah menghadapi ketakutan atas serangan tersebut sejak puluhan orang bahkan ada yang menyebut ratusan terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Sementara itu, Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) menegaskan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, terstruktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.[IZ]