JEMBER, (Panjimas.com) – Ada upaya pembredelan hafalan ayat dan hadits agar mudah dimu’tazilahkan dan bahkan diliberalkan (menganggap semua agama relatif sama benarnya). Sehingga ketika mahasiswa diajari bahwa tokoh non Islam yang dinilai baik (oleh kaum liberal) maka dia pun dianggap akan masuk surga.
Peringatan itu disampaikan oleh Ustadz Hartono Ahmad Jaiz di Masjid STDI (Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah) Imam Syafi’i Jember Jawa Timur, Kamis, (14/9). Dia bersama rombongan Yayasan Abu Bakar Shidiq Bintaro Tangerang pimpinan Nugraha dan Adang mengunjungi STDI Imam Syafi’i.
Adanya upaya mengikis hafalan ayat dan hadits itu, menurut Ustadz Hartono Jaiz, dimotori oleh tokoh yang mengubah kurikulum pendidikan tinggi Islam se-Indonesia, dari Ahlus Sunnah ke Mu’tazilah tahun 1980-an.
Ustadz Hartono menyampaikan, dirinya mewawancarai langsung Prof Harun Nasution pengubah kurikulum itu. Harun mengaku bahwa diubahnya kurikulum dari Ahlussunnah ke (aliran sesat) Mu’tazilah itu dengan alasan, kalau tetap di Ahlus Sunnah maka tidak akan maju-maju, karena masih percaya takdir. Adapun Mu’tazilah diklaim sebagai aliran rasionalis.
Oleh karena itu, Ustadz Hartono Ahmad Jaiz menulis buku Ada pemurtadan di IAIN. Untuk menulis buku itu bahannya sudah dikumpulkan dengan mengumpulkan makalah-makalah para dosen se-Indonesia yang ditatar Harun Nasution di Yogyakarta, sejak 1977, kemudian buku itu baru ditulis dan diterbitkan tahun 2006. Buku itu dibedah di berbagai perguruan tinggi Islam, dari UIN Jakarta, Serang Banten, Lampung, Medan, Semarang, sampai Makassar dan lainnya.
Di antara jalan untuk memuluskan pemu’tazilahan yang ujungnya peliberalan itu adalah membredel hafalan ayat dan hadits. Dan itu pernah dihadapi langsung oleh Ustadz Hartono.
Dituturkan, dalam seminar di Masjid IAIN Medan, Sabtu 11 Maret, Ikbal Irham seorang dosen IAIN Medan yang mengaku muridnya mendiang Harun Nasution di Pasca Sarjana IAIN (kini UIN) Jakarta mengemukakan, Harun Nasution mengajarkan dalam perkuliahan bahwa Bunda Theresia (Nasrani) kelak masuk surga. Dan itu ada ayatnya: “Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. (QS Ali Imran/ 3: 114).
Dosen yang murid Harun Nasution itu mengemukakan hal tersebut dalam seminar di Masjid IAIN Medan, Sabtu 11 Maret 2006. Dia juga berupaya membela Nurcholish Madjid di hadapan Dr Masri Sitanggang, seorang pembicara dalam seminar ini. Karena Dr Masri menegaskan bahwa Nurcholish Madjid dulu tidak mampu mempertahankan pendapatnya tentang Islam bukan nama agama, ketika dibantah oleh Masri dalam seminar di Medan, 27 Juli 1993. Saat itu, Masri membantah Nurcholish Madjid dengan makalah berjudul Kajian Kritis terhadap Makalah Nurcholish Madjid Berjudul: Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang.
Murid Harun Nasution dijawab
Ungkapan dosen yang murid Harun Nasution tentang Ahli Kitab itu saya (Hartono Ahmad Jaiz) jawab: Nah itulah buktinya. Karena pelajaran hafalan (ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) sudah dibredel di IAIN, maka mahasiswa (walaupun di pasca sarjana) tidak hafal ayat, tidak hafal hadits, tidak tahu tafsir ayat, dan tak kenal asbabun nuzulnya. Maka ketika dikemukakan hal yang sebenarnya bertentangan dengan isi ayat dan hadits, mahasiswa hanya ikut saja, tidak bisa membantahnya. Padahal kalau tahu asbabun nuzulnya, bahwa ayat itu berkaitan dengan Raja Najasyi, maka tahu bahwa Ahli Kitab di situ orang yang sudah masuk Islam. Sebagaimana orang yang beriman dari kalangan Fir’aun masih disebut min ali fir’aun, dari kalangan Fir’aun, tetapi sudah beriman, keyakinannya tidak seperti Fir’aun.
Di samping itu, kalau hafal hadits, maka akan menyanggah pernyataan Harun Nasution itu, karena ada hadits sohih riwayat Muslim, siapa saja yang sudah mendengar seruan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian mati dalam keadaan tak beriman kepadanya maka pasti termasuk penghuni-penghuni neraka.
Haditsnya:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim).
Untuk menjelaskan sesatnya faham Harun Nasution mengenai ayat laisu sawaa’ perlu kita merujuk kepada penjelasan ulama, di antaranya penafsiran Imam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Daqoiqut Tafsir juz 1 halaman 313-319.
Dari pengalaman itu, lanjut Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, dirinya merasa bergembira, kini tumbuh penggalakan hafalan Al-Qur’an dan Hadits di mana-mana di dalam pendidikan Islam. Bahkan ada musabaqoh hafalan Qur’an dan hadits (MHQH) tingkat nasional bahkan internasional.
Semoga hal itu besar manfaatnya dan mendorong untuk mampu menghafal dan memahami dengan baik. Karena ternyata yang dihadapi adalah keadaan yang sangat memerlukan adanya generasi yang hafal ayat dan hadits serta mengerti tafsirnya dan kaitan-kaitannya. Sehingga tidak mudah untuk diliberalkan yang membahayakan agama karena merelatifkan kebenaran Islam disamakan dengan agama-agama lainnya.
Oleh karena itu, perlu disadari bahwa menuntut ilmu ini adalah tugas mulia yang ayatnya disandingkan atau diimbangkan dengan jihad.
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (At Tawbah: 122).
Dalam pepatah Arab, kata Hartono ada ungkapan:
“Sebelum kamu berburu dengan panah maka wajib menyiapkan panah-panah lebih dulu dan memenuhi wadah dengan panah.” Ini pepatah digunakan untuk mengingatkan pentingnya persiapan dalam menghadapi perkara apapun sebelum terjadinya peristiwa yang akan dihadapi.
Dicontohkan dalam nasihat singkat itu, seorang Ustadz di Purbalingga Jawa Tengah, untuk menyampaikan pengajian tafsir di Masjid Agung Purbalingga ba’da maghrib selama setengah jam, dikatakan perisapannya sampai 7 jam. Itu agar yang disampaikan benar-benar shahih.
Oleh karena itu, lanjutnya, para thullabul ‘ilm hendaknya menggunakan waktu sebaik-baiknya, sungguh-sungguh dalam belajar, sehingga ketika menjalankan tugas:
“Dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At Taubah: 122).
telah punya bekal sebaik-baiknya. Hingga mampu memberi peringatan kepada Ummat, sekaligus mampu menghadapi persoalan-persoalan yang mengitarinya.
Demikian nasihat yang disampaikan, dalam kunjungan rombongan dari Jakarta ke STDI Imam Syafi’i Jember untuk bertemu para Ustadz yang rata-rata doktor dari Madinah ini.
Dalam perbincangan dengan Pemimpin STDI, Ustadz Muhammad Arifin Badri didampingi Dr Muhammad Nur Ihsan banyak hal mengenai pendidikan Islam dan dakwah yang disampaikan secara familier. Keakraban pun tampak terasa, seakan seperti saudara kandung yang sudah lama tidak ketemu. Kenikmatan persaudaraan Islam dengan saling mengunjungi seperti ini tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. [RN]