BOGOR, (Panjimas.com) – Tak kunjung mereda. Justru, menjelang perayaan Hari Raya Idul Adha, puluhan warga sipil Rohingya tewas dalam tragedi kemanusiaan. Penyisiran oleh militer setempat di perkampungan Muslim Rakhine, dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, semakin memperpanjang konflik yang belum juga ada tanda-tanda mereda.
Bahkan sejak konflik besar pada 2012, kondisi di pemukiman etnis Rohingya tak menentu keamanannya. Sesekali konflik dari tragedi kemanusiaan tersebut, mengagetkan kita semua. Kecaman keras atas jatuhnya korban sipil hingga menimbulkan korban jiwa, masih belum memberikan tanda-tanda perdamaian.
Respon terbaik dalam bentuk bantuan langsung maupun diplomasi perdamaian terus diupayakan oleh berbagai pihak. Salah satunya adalah Dompet Dhuafa yang sejak 2012, setia menjaga amanah donasi dari para donaturnya untuk merespon kebutuhan masyarakat korban konflik kemanusiaan di Myanmar. Dalam kondisi konflik, tentu masyarakat Rohingya membutuhkan dukungan dalam bentuk apapun, termasuk upaya perdamaian. Terlebih jika belum ada tanda untuk menyudahi konflik dari pihak yang bertikai.
“Sejak 2012 hingga saat ini, Dompet Dhuafa terus menggulirkan bantuan berkala bagi masyarakat Rohingya. Tahapan intervensi yang kami galang dapat dikatakan cukup kuat. Mulai dari respon darurat atas kebutuhan masyarakat di pengungsian seperti dropping logistik dan kebutuhan kesehatan terus bergulir di pengungsian Rakhine, yang memang cukup sulit ditempuh aksesnya. Dompet Dhuafa berupaya sekuat-kuatnya agar untuk terlibat dalam upaya membatasi, dan kalau bisa menghentikan penyebab-penyebab konflik yang ada di lapangan,” ungkap Bambang Suherman, selaku Direktur Mobilisasi ZIS saat ditemui di kantor Dompet Dhuafa, Kamis (7/9).
Dari 2012, di tengah menggulirkan bantuan logistik dan kesehatan, Dompet Dhuafa juga memainkan peran dalam hal diplomasi kemanusiaan. Berbagai upaya ditempuh untuk menciptakan perdamaian baik di Myanmar, Asia Tenggara, dan di seluruh penjuru dunia. Bersama lembaga kemanusiaan lainnya, dalam upaya diplomasi Dompet Dhuafa menginisiasi lahirnya South East Asia Humanitarian Forum (SEAHUM), sebagai aliansi upaya perdamaian dalam konflik atau tragedi kemanusiaan. Kemudian di dalam negeri Dompet Dhuafa menginisiasi lahirnya Youth for Peace, melalui berbagai konferensi.
“Jalur diplomasi tak boleh terlupakan. Melalui berbagai gerakan dan konferensi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk daerah atau negara yang berkonflik, tentu akan semakin mempercepat upaya perdamaian. Seperti yang dikerjakan kawan-kawan di Youth for Peace, mereka duduk bersama mengupayakan perdamaian di Asia Tenggara. Bahkan, Youth for Peace sudah memiliki kader dari para calon doktor yang menempuh pendidikan di Indonesia. Mereka merancang konferensi untuk mengupayakan perdamaian di daerah konflik. Kader yang kini bergerak telah menghadirkan perdamaian di Filipina Selatan, dan saat ini juga tengah mengupayakan hal yang sama untuk Rohingya di Myanmar,” tambah Bambang.
Tak berhenti di situ saja. Untuk benar-benar menghadirkan perdamaian bagi masyarakat Rohingya di Myanmar, Dompet Dhuafa bersama lembaga kemanusiaan lainnya di Indonesia dan Kementerian Luar Negeri membentuk Aliansi Kemanusiaan Indonesia Myanmar (AKIM). Hal tersebut sebagai upaya untuk dapat mendistribusikan bantuan secara permanen, dengan melibatkan pemerintah sebagai fasilitator negosiasi akses dan keamanan. Mengingat kondisi yang memprihatinkan dalam berbagai sektor di Rohingya, Myanmar.
Rancangan program jangka panjang dari Dompet Dhuafa untuk Rohingya juga telah disiapkan. Desain program yang dirancang Dompet Dhuafa bersama lembaga kemanusiaan yang lain yaitu menghadirkan tiga intervensi program. Sehingga masyarakat di pengungsian juga tetap mendapatkan perhatian baik dari segi kebutuhan logistik, kesehatan, pendidikan, dan juga penghidupan atau mata pencaharian.
“Dompet Dhuafa tengah merancang tiga desain respon di Rohingya, Pertama adalah water and sanitasion, yaitu sebagai langkah intervensi kawasan-kawasan pengungsian, dan juga lokasi pergerakan pengungsi di perbatasan antar negara. Mengingat kondisi air dan sanitasi di kawasan tersebut sangat memprihatinkan. Kedua adalah di lini pendidikan, melalui Sekolah Guru Indonesia atau Sekolah Literasi Indonesia dengan menghadirkan peserta didik. Sehingga sistem yang ada di program sekolah guru tersebut dapat diaplikasikan di pengungsian.” jelas Bambang.
Kemudian untuk di kawasan pergerakan pengungsi di perbatasan antar negara, Dompet Dhuafa menghadirkan School For Refugee. Bahkan School For Refugee telah berjalan sejak kedatangan manusia perahu atau pengungsi dari Rohingya yang masuk ke sejumlah wilayah di Medan dan Aceh di periode 2015 dan 2016. School For Refugee juga banyak diadopsi dan mendapatkan penghargaan dari UNHCR.
Dan yang terakhir adalah program Livelihood atau pendekatan ekonomi yang dilakukan Dompet Dhuafa dengan merancang Peace Concept Pasar Ramah yang bertujuan untuk memunculkan interaksi yang kuat dan transaksi pragmatis para pihak yang bersengketa saat ini. Adanya pasar tersebut, kita berharap dapat menciptakan interaksi yang bagus dan juga menimbulkan saling ketergantungan di antara mereka. Sehingga terbangun kesadaran bahwa mereka sebenarnya saling membutuhkan, bukan saling berperang.
Namun bagaimanapun, upaya ini bukan milik Dompet Dhuafa atau lembaga kemanusiaan semata. Semua terkait tragedi atau konflik kemanusiaan dalam mengupayakan perdamaian, menjadi tugas bersama untuk membantunya. Karena Rohingya adalah saudara kita, kini saatnya kita semua hadirkan perdamaian di sana. Karena bagaimanapun, konflik kemanusiaan hingga menimbulkan korban jiwa layak kita singkirkan dari dunia. [RN]