JAKARTA (Panjimas.com) – ‘’Eleuh, ngadadak teuing, kaya tahu bulet (mendadak amat, seperti tahu bulat [digoreng dadakan]),’’ gumam Bey Hanafi sambil tersenyum bahagia, usai menerima telepon dari Dewan Dakwah Pusat, medio Agustus lalu. Suara pengurus senior Dewan Dakwah di ujung ponsel mengabarkan, Bey berangkat haji tahun ini atas undangan Pemimpin Saudi, Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud.
Selasa (22/8) siang, diantar keluarga dan familinya sebanyak delapan orang, Bey tiba di Gedung Dewan Dakwah, Jalan Kramat Raya 45, Jakarta Pusat.
Setelah melapor pada pengurus Dewan Dakwah, ia mengikuti kursus kilat ibadah haji yang disampaikan Ketua Laznas (Lembaga Amil Zakat Nasional) Dewan Dakwah, H Ade Salamun. Ayah tiga anak ini manggut-manggut saja mengikuti teori manasik haji, lantaran sebelumnya sudah membaca buku tatacara menjalankan rukun Islam kelima.
Lepas ashar, barulah Bey sempat makan siang di selasar masjid Al Furqon. Menunya hasil masakan istri sendiri, seperti balado sotong, ikan asin, ayam goreng, gulai ayam, dan kerupuk.
‘’Ini ceritanya kita sedang walimatus safar haji ya,’’ seloroh seorang pengurus Laznas Dewan Dakwah yang menemani Bey makan. ‘’He, he, iya, iya,’’ ucap Bey sambil tertawa.
Oleh Laznas Dewan Dakwah, Kafilah Bey Hanafi diinapkan di sebuah hotel di seberang Masjid Al Furqon. ‘’Padahal mah, biarin nginep di mesjid aja, bisa ngampar-ngampar nggak usah bayar,’’ tawar ustadz bersahaja ini.
Rabu (23/8) selepas subuh, Bey’s family diantar menuju kediaman Duta Besar Kerajaan Saudi Arabia (KSA) di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Bergabung dengan puluhan undangan lainnya untuk diterima dan dilepas Dubes KSA, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuaibi.
Selanjutnya, tanpa disertai lagi oleh keluarga pengiringnya, rombongan calon haji menumpang bus menuju Bandara Soekarno-Hatta, untuk kemudian terbang ke Saudi.
Ustadz Bey Hanafi lahir di Desa Cigeulis, Kec Cigeulis, Kab Pandeglang, Banten, 4 Mei 1972. Setelah lulus Madrasah Aliyah, ia mengikuti pelatihan di Ma’had Al-Ghuraba. Selanjutnya, remaja ini langsung diterjunkan oleh Dewan Dakwah sebagai da’i di pelosok Desa Kie, Kecamatan Oilasi Kupang, Kabupaten Timur Tengah Selatan, NTT (Nusa Tenggara Timur).
Sempat shock Bey Hanafi di awal hidup bersama warga desa. Masyarakat yang sangat terbelakang dan miskin. Makanan utama mereka jagung. Pagi jagung rebus, siang nasi jagung, malamnya jagung titi (tumbuk).
Heran Bey, banyak warga desa ternyata belum bisa sekadar memasak air dengan benar. Maka, ketrampilan hidup pertama yang diajarkannya kepada masyarakat setempat adalah cara memasak air minum. Pelajaran ini berlangsung hampir sebulan.
Budaya lain warga desa ini adalah jarang mandi. Mulanya kepepet lantaran sulit air, namun lama-lama jadi kebiasaan. Di musim hujan pun mereka tak mandi. Hal ini juga menjadi tantangan Ustadz Bey, dalam rangka mengajarkan bersuci sebelum sholat.
Walau sudah agak lama menjadi mualaf, ternyata banyak warga pria yang belum bersunat. Maka, pada suatu hari Bey dengan dukungan Dewan Dakwah, menggelar sunatan massal di Desa Kie. Pesertanya mulai anak-anak usia belasan tahun hingga orang tua.
Bukannya dipanggil ‘’ustadz’’, Bey Hanafi di Nusa Tenggara Timur disapa “Bapak Pendeta Islam”. Sebagaimana warga pun menyebut masjid sebagai ‘’gereja Islam’’.
“Iya, saya dipanggil sebagai pendeta Islam. Kalau yang Katolik dipanggil romo,” kenang Bey sambil tersenyum.
Untuk berdakwah keliling masuk ke kampung-kampung, Bey Hanafi berjalan kaki. Untuk mencapai kampung lain, dibutuhkan waktu cukup lama. Kadang-kadang bisa satu hari satu malam baru sampai ke tujuan berikutnya.
Alhamdulillah, setelah berdakwah sekian lama, Bey akhirnya memiliki seorang kader dakwah. Dialah yang kelak meneruskan langkah Bey.
Sejak 1997, Bey Hanafi berdakwah di kampung halamannya sendiri. Selain di Cigeulis, ia juga berdakwah di Malingping, Panimbang, dan sekitarnya. Selain dakwah bil-lisan, Bey Hanafi juga menjalankan dakwah bil-haal dengan dukungan Laznas Dewan Dakwah. Misalnya membentuk kelompok peternakan kambing, kelompok pembuat keripik pisang, singkong, dan emping, juga membudayakan pembuatan sarana MCK (mandi-cuci-kakus). Yang terakhir ini untuk mengikis budaya ‘’trio-dol’’; Dolbon (modol di kebon) alias buang air besar (BAB) di kebun, doli (modol di kali), dan dolwah (modol di sawah). (bowo)