(Panjimas.com) – Negeri yang mengagungkan HAM harusnya menjamin asasi setiap warganya. Tapi apa daya, jika asasi terlanjur terjajah, jadilah seperti negeri ini yang tak terasa diinjak oleh kebebasan yang merusak perilaku, moral, dan merusak masa depan bangsa sendiri.
Diberitakan -Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya menangkap seorang pengurus panti asuhan di kawasan Surabaya Timur karena dilaporkan telah menyetubuhi dan mencabuli sejumlah anak asuhnya. “Pelaku berinisial AL, usia 34 tahun, indekos di Jalan Pucang Jajar Utara Surabaya, kami tangkap menindaklanjuti laporan internal dari Panti Asuhan tempat kerjanya,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Polisi Leonard Sinambela kepada wartawan di Surabaya, Jumat. Dia mengatakan ada sembilan anak di panti asuhan tersebut yang menjadi korbannya.”Dua di antaranya telah beberapa kali disetubuhi, yaitu berumur 16 dan 17 tahun, lainnya berusia 9 hingga 14 tahun mendapat perlakuan pencabulan,” ujarnya. Kepada polisi, AL mengaku melakukan persetubuhan dan pencabulan kepada para anak asuhnya selama sekitar dua tahun terakhir. (Antara Jatim).
Di pemberitaan yang lain disebutkan Al (34) tersangka pencabulan kepada 9 anak di panti asuhan tempat ia bekerja ternyata sudah melakukan aksi bejatnya sejak 2 tahun lalu. Sudah 13 tahun ia ditugaskan mengasuh panti asuhan di Jalan Ngagel Jaya Tengah. Pada Agustus 2015, tersangka mulai melancarkan niat jahatnya. Dia mengajak salah satu anak panti asuhan yg bernama Riri (samaran) untuk ikut dengannya dan ia berjanji untuk mengantarkan korban ke sekolah. Siswi yang masih duduk di bangku kelas XII SMK (usia 17 tahun) dibawanya ke hotel di Surabaya. Korban yg lain juga masih di bawah umur, dari 9 korban 5 diantaranya adalah anak asush di panti asuhan di Jalan Ngegel Surabaya, sementara 4 lainnya merupakan anak asuhnya di Batu. Usia korban beragam, ada yang masih kelas 3 SD.
Orang pertama mengatakan, “Ah sudah biasa Surabaya kan kota Metropolitan” dan orang kedua berkata “Bisa dihindari kok, asalkan bisa jaga diri dan terus waspada tinggal di kota metropolitan seperti Surabaya ini”, dan mungkin ada orang ketiga yang mendukung pernyataan keduanya. Berapapun yang punya keyakinan sama, tetap mata ini terbuka, telinga ini mendengar, dan batin ini merasakan betapa kejahatan seksual terus terjadi terutama di kota – kota besar seperti Surabaya, angkanya terus naik dari tahun ke tahun.
Semua melakukan upaya yang mampu dilakukan, tapi tetap saja persoalan yang satu ini tak kunjung terselesaikan. Ini adalah rahasia gunung es yang tidak mampu dilihat oleh orang yang hanya berputar di atas air. Menyelam ke dasar, maka akan terlihat betapa kuat akar gunung es yang tadinya terlihat biasa itu. Persoalannya bukan sekedar kota metropolis atau tidak bisa menjaga diri. Persoalannya adalah minimnya konsep solutif untuk menyelesaikan masalah sistemik, bahkan akar persoalanpun tak pernah mampu diungkap. Jadinya gunung es semakin besar dan akarnya semakin dalam, kekerasan seksual terus terulang tanpa diketahui akarnya ada dimana.
72 tahun merdeka bisa dijadikan momentum untuk berbenah. Menundukkan kepala dan kembali mendekatkan diri kepada Allah, kiranya kudu dilakukan pemerintah biar nemu solusi atas persoalan rakyatnya. Merenung bukan sembarang merenung, mendekat bukan sembarang mendekat, tapi disertai ketundukkan penuh kepada Allah SWT dengan menerapkan seluruh aturan-aturanNya. [RN]
Penulis, Puspita Ningtiyas
Mahasiswi STIS SBI Surabaya