(PANJIMAS.COM) – Walau mencopoti detektor logam di pintu masuk kompleks Masjid Al-Aqsa, Yerusalem Timur, penjajah Israel memasang kamera pengintai canggih. CCTV ini mampu memotret dan ‘’menangkap’’ wajah jamaah hingga teridentifikasi dengan sangat jelas.
Kolonial Israel memasang detektor logam dan kamera pengintai di Al Aqsha, setelah dua serdadu Israel yang sedang berjaga di dekat kompleks Al-Aqsa ditembak mati pada 14 Juli lalu.
Untuk membiayai instalasi elektronik dan penambahan personil serdadu pengamanan yang masif itu, Israel mengalokasikan tak kurang dari 100 juta shekel (sekitar 28 juta dollar Amerika).
Penembakan terhadap tentara Zionis itu merupakan ekspresi perlawanan terhadap keangkaraan Israel atas Al Aqsha.
Seperti dikutip Al Jazeera (26/03/ 2016), Direktur Wakaf Islam yang mengelola Al-Aqsha, Syaikh Najeh Daoud Bkerat, mengungkapkan, sejak Zionis Israel mencaplok Timur Baitul Maqdis pada 1967, mereka telah melakukan lebih dari 1.700 kasus penyerangan atau pengrusakan properti di kompleks bangunan suci umat Islam tersebut. Itu di luar serangan-serangan yang tak terhitung terhadap individu, termasuk penangkapan, pemukulan dan pengamanan represif lainnya.
Menurut Mudhir Madrasah Ghazwul Fikry Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, DR Teten Romli Qomaruddin, Palestina termasuk Masjidil Aqsha-nya merupakan bagian dari Negeri Syam.
‘’Negeri Syam adalah negeri keberkahan yang ada di muka bumi. Kebaikan negeri ini menjadi symbol kebaikan penduduk bumi, keburukan negeri ini menjadi simbol keburukan penduduk bumi pula,’’ tuturnya dalam pengajian Reboan di Aula Masjid Al Furqon, Gedung Menara Dakwah, Jakarta Pusat, Rabu (26/7) pagi.
Mengutip Syaikh Shalih al-Munajjid dalam kutaibatnya “Thuubaa Lis Syaam”, anggota Dewan Hisbah Persatuan Islam ini memaparkan, Syam meliputi Palestina, Syria, Libanon, dan Yordania. Inilah zona istimewa di muka, yang berjuluk ‘’bumi para nabi’’ (diyaarun nabiyyien), tempat berkumpulnya orang-orang mulia dan ahli ilmu (markazul fudhalaa was shaalihien), tempat berkumpulnya manusia (maudhi’ul khasyr), negeri pertahanan (bilaadur ribaath) dan kiblat pertama kaum Muslimin (maudhi’ul qiblat).
Menurut para ahli tafsir, lanjut Teten, gelar-gelar atas Syam tersebut merupakan makna dari “alladzie baaraknaa haulahu (negeri-negeri seputar Baitul Maqdis yang diberkati)” (Qs Al-Isra’ : 1). Di dalamnya terdapat Masjidil Aqsha yang merupakan titik ujung isra dan titik tolak mi’raj Nabi Muhammad SAW ke sidratul muntahaa di langit dunia (Kitab “Al-Isra’ wal Mi’raaj” karya Imam As-Suyuthy dan Ibnu Rajab al-Hanbaly).
Thuubaa lis syaam (berbahagialah negeri Syam), demikian wasiat dari Rasulullah SAW kepada para shahabatnya. Ketika ditanyakan alasannya, Rasul menjelaskan, “Al malaaikatu baasithuu ajnihatahaa ‘alas syaam (para malaikat senantiasa membentangkan sayapnya di atas negeri Syam)” (HR Ahmad, Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Hibban dari shahabat Zaid bin Tsabit ra).
Karenanya, Al Aqsha harus senantiasa terjaga. Sejarah mencatat, Khalifah ‘Umar bin Khaththab ra dengan panglimanya Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah ra, berhasil membebaskan Al Aqsha dari cengkeraman penjajahan Romawi; Sulthan ‘Imaduddin Zanki dan puteranya Sulthan Nuruddin Mahmud Zanki, membebaskan dari penjajahan Eropa. Dan puncaknya, Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi kembali berhasil memerdekakan Al Aqsha dari Pasukan Salib. Pembebasan ketiga ini dirancang setengah abad lamanya, sejak Abu Hamid al-Ghazali menulis Kitab Ihyaa ‘Uluumiddien.
Setelah upayanya membeli tanah Palestina ditolak mentah-mentah oleh Khalifah Turki Utsmaniyah, Sulthan Abdul Hamid II, kaum Zionist dengan tokohnya Theodore Herzel (1897) menancapkan kukunya di bumi suci Palestina.
Menurut DR Yusuf Qaradhawi, Palestina adalah medan jihad kaum Muslimin, dan seluruh dunia Islam wajib merebut kembali negeri Muslim Palestina yang kini dikuasai oleh Israel, dengan cara jihad.
“Ingatlah, tanah yang dirampas dengan kekuatan harus direbut kembali dengan kekuatan (besi harus dengan besi lagi),” seru Qaradhawi (Yusuf Qaradhawi, Al Quds Masalah Kita Bersama, Al Kautsar, Jakarta, 1999).
Dalam buku Wajah Dunia Islam Kontemporer, DR Ali Gharishah mengelompokkan negeri Palestina sebagai “negeri-negeri Islam yang dirampas” dan wajib direbut kembali oleh kaum Muslimin.
Gharishah mencatat: “Kalau Bumi Palestina dapat dirampas dengan menjauhkan Islam dalam setiap peperangan, maka logikanya hanya dengan mengembalikan Islam, Palestina akan kembali ke pangkuan orang-orang Islam (Gharishah, Wajah Dunia Islam Kontemporer (diterjemahkan oleh Mustholah Maufur MA), Al Kautsar, Jakarta, 1989:119).
Menandaskan hal tersebut, DR Mohammad Natsir menyatakan, “Persoalan Palestina bukanlah tanggung jawab Ikhwanul Muslimin, Hamas, Brigade Al-Qassam dan bangsa Palestina semata, melainkan kewajiban seluruh Muslim di dunia.” (Nurbowo/des)