(Panjimas.com) – Memang tidak mudah kehidupan mereka yang sering orang sebut dengan rakyat kecil atau wong cilik. Di tengah begitu rupa harapan mereka, pemerintah sepertinya belum sepenuhnya berbuat untuk kepentingan mereka. Bahkan seringnya mereka hanya dipertontonkan kegaduhan politik dan keributan antar lembaga negara, yang notebene di isi orang-orang terhormat.
Mereka juga seringnya hanya mendapatkan janji-janji para pemimpin yang sedikit terbukti. Pemimpin berjanji pertumbuhan ekonomi akan meroket tajam, nyatanya biasa-biasa saja. Rakyat juga mendengar ada janji tidak akan pernah menambah hutang, tidak akan memangkas subsidi listrik misalnya. Faktanya semua berbanding terbalik dengan apa yang dilihat dan dirasakan oleh rakyat. Dampaknya, rakyat makin sulit mendapatkan akses-akses ekonomi dari mulai lemahnya daya beli masyarakat dan lainnya.
Kadang saya berfikir, jargon-jargon wong cilik hanya muncul dari mereka saat masih di luar kekuasaan. Mereka banyak melakukan aksi demo misalnya dalam rangka membela wong cilik. Mereka menolak kenaikan harga BBM dan lain sebagainya. Akan tetapi jargon tersebut sirna ketika mereka dalam lingkaran kekuasaan. Maka tidak salah jika banyak yang mengatakan apapun bisa dilakukan demi meraih kekuasaan, meski harus dengan mencari perhatian rakyat dan mengorbankannya ketika berkuasa.
Mungkin para pemangku kebijakan sudah merasa dalam jalan yang benar. Sebab rakyat sejatinya sudah mereka wakili sebagian harapan-harapannya. Sebagian besar rakyat tentu berharap agar bisa hidup nyaman dengan rumah, mobil dan lainnya. Bahkan terbilang mewah. Rakyat ingin rumah, pejabat sudah mewakilinya. Rakyat ingin mobil, pejabat sudah mewakilinya dan seterusnya. Sehingga semua itu memang sudah diwakili oleh para pemangku kebijakan atau pejabat. Sehingga wajar mungkin jika mereka sudah merasa bekerja dan mewakili rakyat. Ini sebenarnya hanya lelucon yang sering ada di tengah-tengah masyarakat.
Intinya, saya hanya ingin katakan bahwa sebenarnya sangat banyak harapan-harapan dalam benak rakyat. Dalam bahasa yang sering saya gunakan adalah adanya keadilan dalam segala bidang, baik dalam sektor ekonomi, hukum, politik dan sebagainya. Keadilan dalam bidang ekonomi misalkan, rakyat memiliki jaminan kesejahteraan, mempunyai akses ekonomi yang mudah, tidak ada ketimpangan dan kesenjangan yang “disengaja”, benar-benar menikmati kekayaan ekonomi di dalam negeri dan lain sebagainya. Saya pikir semua sepakat jika ini adalah harapan mereka. Begitupun bentuk-bentuk keadilan dalam sektor selain ekonomi. Pertanyaannya, sudahkah penguasa memenuhi harapan-harapan tersebut, atau sudahkan ada usaha nyata ke arah itu?
Di situlah kemudian, ada kontradiksi yang terjadi sekarang ini berkaitan dengan pencabutan izin organisasi masyarakat (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebab, di tengah upaya penguasa negeri ini dalam mewujudkan harapan rakyat tadi yang masih menjadi pekerjaan rumah. Penguasa malah mengeluarkan kebijakan yang menuai kegaduhan dan kontroversi dengan membubarkan ormas yang nyata-nyata berperan aktif dalam perbaikan negeri.
Apalagi jika melihat prosesnya terlihat kesan tergesa-gesa, berlebihan dan seolah ingin mengalihkan perhatian publik dari persoalan utama. Terkesan tergesa-gesa dikarenakan Menkumham pernah mengatakan proses pembubaran akan melalui pengadilan agar fair. Nyatanya dengan kesan yang memaksa pemerintah mengeluarkan perppu berikut narasi argumentasi-argumentasinya. Meski argumentasi yang dilontarkan menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan, bahkan pakar.
Terlihat berlebihan disebabkan prosesnya sangat sepihak dan subjektif yang mengarah kepada tindakan represif atau otoriter. Tanpa memberikan ruang bagi HTI untuk menjelaskan duduk persoalannya. Padahal sangat penting bagi rakyat untuk mendengarkan argumentasi dari HTI, semisal penjelasan tentang AD/ART HTI dan lainnya. Maka wajar jika banyak pakar yang menilai tindakan ini tak ubahnya sebuah cerminan dari rezim diktator. Pemerintah memang boleh saja berargumen, namun pihak lain juga berhak menilai. Saya menilai HTI berada dalam pihak yang benar, dan akan menang dalam proses-proses hukum yang ada. Itu keyakinan saya.
Kesan berikutnya, yaitu adanya aroma pengalihan perhatian publik yang sangat terlihat menurut saya. Sederhananya, sekarang pemerintah sedang dalam tugas berat menyelesaikan persoalan utamanya, yakni mewujudkan harapan-harapan rakyat. Namun ditengah upaya tersebut, justeru banyak paket kebijakan yang tidak mengarah pada keadilan bagi masyarakat, baik dalam sektor ekonomi, hukum maupun politik. Ambilah contoh persoalan presidential treshold, kontak freeport, pengistimewaan terpidana penista agama dan lain sebagainya. Saya melihat perhatian publik akan terfokus pada HTI, dan nyatanya itu benar menjadi perbincangan hangat dimanapun.
Saya hanya berharap dan berkayakinan bahwa rakyat akan cerdas dan objektif melihat proses pembubaran HTI ini. Apalagi HTI sangat terkenal vocal dan tegas dalam mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang memang tidak berpihak pada keadilan. Dan yang menarik adalah kritikan tegas HTI selalu diiringi dengan gagasan-gagasan penyelesaiannya yang mana sangat mudah untuk di akses, baik gagasan tentang ekonomi, politik-pemerintahan, hukum, pendidikan dan semuanya. Artinya HTI sangat berperan aktif dalam upaya mewujudkan harapan rakyat.
Sehingga, saya masih heran dan aneh. Kok ada ormas yang di dalamnya ada orang-orang berkumpul. Dan memiliki cara pandang melihat persoalan dan penyelesaian yang ada di negeri yang sedang amburadul. Justeru dibubarkan, dan malah bukan dirangkul. Mungkin saya harus bertanya pada si Doel. [RN]
Penulis, Lutfi Sarif Hidayat
Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)