(Panjimas.com) – Kalimat pembuka dalam artikel ini didahului dengan pernyataan agar Presiden Jokowi segera memulihkan – secara politis “membebaskan” – alim ulama dan para aktivis dari serangkaian proses hukum yang ditengarai adanya unsur kriminalisasi.
Kriminalisasi disini, diartikan sebagai perbuatan seseorang yang sebenarnya bukan termasuk kualifikasi perbuatan pidana, tetapi malah dikategorikan sebagai tindak pidana. Kriminalisasi tersebut tergolong sebagai salah satu bentuk pelanggaran atas Hak Asasi Manusia dan sekaligus pelanggaran hukum. Pasal 9 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. Jaminan perlindungan kepada tiap-tiap warga negara telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dipertegas lagi dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kasus-kasus kriminalisasi yang menimpa alim ulama dan para aktivis pada umumnya yang bersangkutan justru sedang menggunakan hak kebebasan berpendapat dalam rangka menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses hukum pada sejumlah ulama dan aktivis ditengarai akibat dari “ketidakbebasannya” hukum dari pengaruh politik (baca: kekuasaan). Terjadinya kekeliruan dalam penerapan hukum yang disengaja, merupakan dalil pendapat ini. Jika seseorang disangkakan telah melakukan perbuatan pidana dan dengannya telah pula memenuhi persyaratan pertanggungjawaban pidana, namun ternyata diketahui secara pasti bahwa alat bukti yang digunakan tidak sah menurut hukum dan tidak memenuhi unsur delik – baik objektif maupun subjektif – apakah pantas seseorang tersebut diproses secara pidana?
Presiden Jokowi memiliki peluang besar untuk menghentikan sekaligus meralat kriminalisasi terhadap alim ulama dan para aktivis, melalui beleid abolisi. Abolisi diartikan sebagai peniadaan tuntutan pidana. Abolisi bukan suatu pengampunan dari Presiden kepada para terpidana sebagaimana grasi. Abolisi adalah sebuah upaya Presiden untuk menghentikan proses pemeriksaan dan penuntutan terhadap seorang tersangka/terdakwa, atau dengan kata lain pencabutan tuduhan kriminal karena pemeriksaan dan penuntutan tersebut dapat mengganggu stabilitas nasional.
Pada prakteknya, pemberian abolisi sering disandingkan dengan pemberian amnesti. Hal ini dapat dimaklumi mengingat ketentuan amnesti dan abolisi disatukan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Begitu dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Kata “dan” menunjukkan kesatuan integral antara amnesti dan abolisi. Pemberian abolisi juga sangat terkait dengan prinsip penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan sekaligus memajukannya. Ditinjau dari aspek hukum pidana formil, KUHAP bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia dari kesewenang-wenangan negara, terutama yang terkait dengan hak hidup dan kebebasan, sebagai hak yang sangat fundamental bagi manusia sebagaimana ditentukan dalam konstitusi.
Kita sepakat bahwa dalam penegakkan hukum (law enforcement), berarti menegakkan keadilan (justice enforcement) dan kebenaran, tentunya dilandasi dengan moral dan kejujuran. Di sini, konsep negara hukum diberi arti materiil, sehingga acuan utamanya bukan hanya hukum yang tertulis seperti yang dianut di dalam paham legisme melainkan hukum yang adil. Kepastian hukum di sini haruslah diletakkan di dalam kerangka penegakan keadilan (justice enforcement). Norma hukum materil yang semata-mata memberikan kepastian hukum itu haruslah disejalankan secara linear dengan hukum materil yang mengandung sifat keadilan. Hak untuk mendapatkan keadilan adalah hak setiap warga negara tanpa kecuali terutama warga negara yang sedang memperjuangkan keadilan (yustitiabelen) dan siapa pun tidak boleh menghalangi warga negara atau pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan.
Kemudian, dalam rangka menciptakan kondusifnya stabilitas nasional dari segala ancaman, tantangan, hambagan dan gangguan (ATHG), maka sudah selayaknya dilakukan rekonsiliasi antara seluruh elemen masyarakat. Upaya rekonsiliasi haruslah dilakukan segera mungkin dengan kesadaran penuh mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Pilar berlakunya rekonsiliasi adalah mengembalikan keadaan pada posisi semula. Di sini kebijakan politik Presiden dalam pemberian amnesti maupun abolisi sangat strategis. Baik amnesti maupun abolisi ini diberikan demi terwujudnya perdamaian dalam rangka menjaga kepentingan bangsa dan negara. Terkait dengan apa yang dilakukan oleh alim ulama dan para aktivis, menurut penulis justru merupakan aktivitas menjaga kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, patut dipertimbangkan bahwa mereka telah banyak berjasa dalam pembangunan. Alim ulama berperan dalam peningkatan ahlaq dan moral, para aktivis berkontribusi dalam pemajuan demokrasi dan hak asasi. Mereka semua telah memberikan solusi bagi kemajuan bangsa dan negara, itu tidak dapat dipungkiri. Karena itu, memberikan amnesti maupun abolisi adalah sebuah “jalan politik” untuk menegakkan Hak Asasi Manusia bagi pemerintahan Jokowi, dan sekaligus menciptakan rekonsiliasi guna perdamaian dalam rangka terwujudnya kepentingan bangsa dan negara. Semoga Presiden Jokowi memaklumi dan mengimplementasikan kebijakan politik dimaksud. [RN]
Penulis, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
Ahli Hukum & Pengurus Komisi Kumdang MUI