Oleh: DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH. MH*
(PANJIMAS.COM) – Esensi dalam penegakan hukum adalah pemenuhan rasa keadilan. Pada hakekatnya keadilan adalah kata sifat yang mempuyai arti adil atau tidak berat sebelah atau tidak pilih kasih. Sifat ini merupakan salah satu sifat manusia. Keadilan merupakan suatu konsep yang mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam perlakuan (justice or fair treatment).
Penegakan hukum yang tidak mengindahkan nilai-nilai keadilan, dapat dipastikan akan menimbulkan penyimpangan dan penyalahgunaan dan tentunya akan berimplilasi buruk bagi tatanan sosial di masyarakat.
Secara falsafati, ilmu hukum memandang keadilan sebagai konsepsi falsafati yang menjadi tujuan hukum itu sendiri, dan itu tergantung dengan ideologi negara yang bersangkutan. Ada yang menjadikannya sebagai tujuan utama dalam berhukum, dan ada juga yang menomorduakannya, karena dengan alasan demi kepastian dan ketertiban hukum.
Dalam konteks penegakan hukum di Indonesia, ternyata lebih cenderung mengedepankan corak positivisme. Padahal ide
kepastian hukum yang sering didengung-dengungkan oleh kaum positivisme, tidak selalu benar-benar kepastian hukum, sebab kemungkinannya ia hanyalah kepastian undang-undang (legisme).
Kelemahan paham positivisme hukum adalah menyingkirkan spekulasi tentang aspek metafisik dan hakikat hukum itu sendiri. Paradigma positivisme di Indonesia tentunya mempunyai pengaruh bagi keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia. Paradigma positivisme berpandangan, demi kepastian maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan.
Para pelaku penegak hukum mempunyai kecenderungan untuk berpikir secara positivisme atau legisme. Asas legalitas formil sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengutamakan kepastian hukum (legal certainty) dianggap sebagai satu-satunya titik tolak dalam menegakkan hukum pidana sejak dari penyidikan, penuntutan, hingga pemidanaan dalam proses peradilan pidana Indonesia.
Dengan demikian keadilan yang diperoleh pun semata-mata hanya keadilan formal (prosedural) dan bukan keadilan materiil (substansial) yang mengandung nilai keadilan hakiki atau setidaknya mendekati hakikat keadilan.
Pengaruh positivisme telah menjadikan aparat penegak hukum hanya menegakkan bunyi undang-undang, bukan menegakan keadilan sebagai substansi dari hukum itu sendiri. Kondisi inilah yang membentuk terjadinya penyalahgunaan atas celah atau kelemahan dari bunyi pasal-pasal undang-undang.
Paul Scholten berpendapat bahwa hukum memang ada dalam undang-undang, tetapi harus ditemukan. Mencari dalam peraturan adalah menemukan makna atau nilai yang terkandung dalam peraturan dan tidak hanya membacanya secara datar begitu saja. Hukum adalah sesuatu yang sarat makna dan nilai.
Berbagai kasus dalam penegakan hukum pidana yang terjadi dewasa ini justru menimbulkan ketimpangan dan melukai rasa keadilan masyarakat. Penerapan hukum berparadigma poitivistik dapat dilihat pada penalaran dengan metode deduktif. Semua fakta ditampung dalam norma, padahal fakta itu belumlah tentu sebagai perbuatan melawan hukum.
Tepatlah apa yang dikatakan oleh Bernard Arief Sidharta, bahwa interpretasi dalam silogisme bagaikan dalam sangkar besi (iron cage), karena jawaban (konklusi) diam-diam sebenarnya sudah tersedia dalam premis mayornya. Inilah yang terjadi dan dialami oleh Habib Rizieq Shihab dan para aktivis yang terjerat pasal pemufakatan makar.
Di sini terlihat pemenuhan fakta sebagi premis minor memang sudah diarahkan agar memenuhi premis mayor, sehingga menghasilkan konklusi yang tak terbantahkan.
Mengutip Barda Nawawi Arief, mengatakan bahwa dalam konteks Pancasila perlu dikembangkan keadilan bercirikan Indonesia, yaitu “keadilan Pancasila, yang mengandung makna “ keadilan berketuhanan”, “keadilan berkemanusiaan (humanistik)”, “keadilan yang demokratik, nasionalistik, dan berkeadila sosial”.
Ini berarti, keadilan yang ditegakkan juga bukan sekedar keadilan formal, tetapi keadilan substansial. Dalam penegakan keadilan substantif dibutuhkan kecerdasan spiritual para aparat penegak hukum dalam menegakan keadilan, tidak serta merta menerapkan pasal tanpa menemukan maknya yuridis dari peraturan yang bersangkutan.
Selanjutnya, dalam penerapan hukum yang responsif sebagaimana diajukan oleh Nonet dan Selznick hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum. Hukum harus berkompeten dan juga adil, harus mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.
Menurut paradigma hukum responsif, adanya tekanan-tekanan sosial di masyarakat seyogyanya dimaknai sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri, bukan sebaliknya dijadikan sebagai lawan yang harus dibidik dengan hukum pidana.
* Ahli Hukum & Pengurus Komisi Kumdang MUI