(Panjimas.com) – Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, dimana tujuan sistem hukum mensyaratkan terpenuhinya tiga unsur yang selalu menjadi tumpuan hukum, yakni keadilan (gerechtigkeit), kepastian (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigket). Hukum dalam pengertiannya yang umum adalah keseluruhan kaidah dan asas yang berfungsi sebagai alat atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Adapun hukum pidana dan penegakannya merupakan bagian dari politik kriminal (criminal policy), politik kriminal merupakan bagian dari politik penegakan hukum (law enforcement policy). Politik penegakan hukum merupakan bagian bagian politik sosial (social policy) yang merupakan usaha setiap masyarakat dan negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.
Dalam diskursus pengaruh politik terhadap hukum, selalu dipertanyakan determinannya politik terhadap hukum. Menurut pandangan Critical Legal Studies (CLS), batas pemisah antara hukum dan politik sebenarnya tidak pernah ada. Hukum bekerja sebagai “agenda politik” atau setidak-tidaknya bekerja dengan menyembunyikan agenda politik. CLS berpandangan bahwa doktrin hukum yang selama ini terbentuk, sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan (power), baik itu kekuatan ekonomi, politik ataupun militer. Oleh karena itulah, maka dalam memahami masalah hukum juga harus selalu dilihat dari konteks power-relations. Roberto Unger menunjukkan bahwa betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum dan politik. Analisis hukum yang hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi doktrinal dan asas-asas hukum semata dengan demikian mengisolasi hukum dari konteksnya.
Secara normatif (doktrinal), kekuasaan dan hukum merupakan dua sisi mata uang yang dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Kekuasaan adalah konsep politik, sedangkan hukum adalah konsep tentang keadilan, sehingga keduanya saling membutuhkan dan memerlukan. Namun, telah menjadi kenyataan, bahwa hukum dalam praktik – ketika dalam tahap penerapannya sebagai hukum in concreto – selalu saja merupakan hasil dari proses yang amat sarat dengan muatan motif-motif politik yang tersembunyi. Terkait dengan hal ini, dalam berbagai penerapan hukum terhadap ulama dan aktivis, khususnya terhadap HRS, disangkakan telah melakukan perbuatan pidana tidak dapat dilepaskan dari kepentingan (motif) politik yang melingkupinya. Pendapat ini didasarkan pada berbagai indikasi dalam proses penerapan hukum yang dilakukan, semenjak suatu kelakuan dinyatakan sebagai perbuatan pidana dan penetapan status tersangka yang dilekatkan. Sebagai contoh, pada penegakan hukum terhadap HRS ternyata pula didasarkan dari adanya pembentukan opini sebelumnya di masyarakat tentang adanya kejahatan berbentuk konten pornografi melalui mass media secara luas yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Pihak Kepolisian kemudian melalui penyidik menggunakan sarana penal berupa proses kriminalisasi.
Kemudian, dalam perkara dugaan tindak pidana penodaan Lambang Negara pada Polda Jabar, juga telah terjadi ‘penyelundupan hukum’. Dimaksudkan disini, perkataan HRS dinyatakan telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana disebut dalam Pasal 154 a KUHP dan/atau Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan. Menurut prinsip hukum pidana, jika terjadi suatu perubahan terhadap peraturan perundang-undangan, maka yang berlaku adalah peraturan yang belakangan atau yang baru, dengan demikian peraturan yang lama dinyatakan tidak berlaku (lex posterior derogat legi priori). Prinsip demikian, dalam syariat Islam dikenal dengan nasikh-mansukh. Oleh karena itu penerapan sangkaan dengan mengacu kepada Pasal 154 a KUHP tidaklah dapat dibenarkan. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 57 huruf a yakni : mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara, tidaklah dapat diterapkan pada perkataan HRS yang hanya berbicara tentang rumusan Pancasila pada sidang BPUPKI. Jelasnya, perkataan tersebut tidak dapat dipersamakan dengan perbuatan mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara. Pada perkara ini, terlihat penyidik telah melampui kewenangannya (ultra vires) dengan menggunakan penafsiran hukum yang sejatinya kewenangan tersebut milik Pengadilan.
Mendukung pernyataan sebelumnya, penulis mengutip teori Sibenertika yang dikemukakan oleh Talcott Parsons. Pada intinya mengemukakan bahwa hukum dalam masyarakat itu tidaklah otonom karena penegakannya selalu dipengaruhi oleh faktor non-hukum yaitu faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam interaksi antara politik dengan hukum, ternyata “politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar,” sehingga hukum berada pada posisi yang lemah. Teori Talcott Parsons ini sejalan dengan fenomena hukum yang dialami oleh HRS, bahwa penegakan hukum tidaklah berjalan sebagaimana mestinya, hukum dalam penegakannya selalu dipengaruhi oleh faktor non hukum utamanya politik. [RN]
Penulis, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH
Ahli Hukum & Pengurus Komisi Kumdang MUI