JAKARTA (Panjimas.com) – Media sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalin silaturrahmi, menyebarkan informasi, dakwah, pendidikan, rekreasi, dan untuk kegiatan positif di bidang agama, politik, ekonomi, dan sosial serta budaya. Bermuamalah melalui media sosial harus dilakukan tanpa melanggar ketentuan agama dan ketentuan peraturan perundangundangan.
Seperti diberitakan sebelumnya, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Fatwa MUI bernomor : 24 Tahun 2017 ini ditetapkan di Jakarta pada 13 Mei 2017 dan ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa Prof. DR. H. Hasanuddin AF, MA dan Sekretaris DR. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA.
Hal yang harus diperhatikan dalam menyikapi konten atau informasi di media sosial, antara lain: Konten atau informasi yang berasal dari media sosial memiliki kemungkinan benar dan salah; Konten atau informasi yang baik belum tentu benar.
Selanjutnya, konten atau informasi yang benar belum tentu bermanfaat; Konten atau informasi yang bermanfaat belum tentu cocok untuk disampaikan ke ranah publik. Tidak semua konten atau informasi yang benar itu boleh dan pantas disebar ke ranah publik.
Adapun pedoman verifikasi konten atau informasi yang harus diperhatikan adalah setiap orang yang memperoleh konten atau informasi melalui media sosial (baik yang positif maupun negatif) tidak boleh langsung menyebarkannya sebelum diverifikasi dan dilakukan proses tabayyun serta dipastikan kemanfaatannya.
Proses tabayyun terhadap konten atau informasi bisa dilakukan dengan langkah sebagai berikut: Dipastikan aspek sumber informasi (sanad)nya, yang meliputi kepribadian, reputasi, kelayakan dan keterpercayaannya.
Dipastikan aspek kebenaran konten (matan)nya, yang meliputi isi dan maksudnya. Dipastikan konteks tempat dan waktu serta latar belakang saat informasi tersebut disampaikan.
Cara memastikan kebenaran informasi antara lain dengan langkah: Bertanya kepada sumber informasi jika diketahui; Permintaan klarifikasi kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas dan kompetensi.
MUI menjelaskan, upaya tabayyun dilakukan secara tertutup kepada pihak yang terkait, tidak dilakukan secara terbuka di ranah publik (seperti melalui group media sosial), yang bisa menyebabkan konten atau informasi yang belum jelas kebenarannya tersebut beredar luar ke publik.
Konten atau informasi yang berisi pujian, sanjungan, dan atau hal-hal positif tentang seseorang atau kelompok belum tentu benar, karenanya juga harus dilakukan tabayyun.
Pedoman Pembuatan Konten
Selanjutnya Komisi Fatwa MUI memberikan pedoman atau panduan dalam pembuatan konten atau informasi yang akan disampaikan ke ranah publik. Pedoman itu meliputi: menggunakan kalimat, grafis, gambar, suara atau yang simpel, mudah difahami, tidak multitafsir, dan tidak menyakiti orang lain.
Konten atau informasi harus benar, sudah terverifikasi kebenarannya dengan merujuk pada pedoman verifikasi informasi sebagaimana bagian A pedoman bermuamalah dalam Fatwa ini.
Konten yang dibuat menyajikan informasi yang bermanfaat.Konten atau informasi yang dibuat menjadi sarana amar ma‟ruf nahi munkar dalam pengertian yang luas.
Konten atau informasi yang dibuat berdampak baik bagi penerima dalam mewujudkan kemaslahatan serta menghindarkan diri dari kemafsadatan; memilih diksi yang tidak provokatif serta tidak membangkitkan kebencian dan permusuhan.
Kontennya tidak berisi hoax, fitnah, ghibah, namimah,bullying, gosip, ujaran kebencian, dan hal lain yang terlarang, baik secara agama maupun ketentuan peraturan perundangundangan.
Kontennya tidak menyebabkan dorongan untuk berbuat hal-hal yang terlarang secara syar’i, seperti pornografi, visualisasi kekerasan yang terlarang, umpatan, dan provokasi. Kontennya tidak berisi hal-hal pribadi yang tidak layak untuk disebarkan ke ranah publik.
Memastikan Konten yang Bermanfaat
Cara memastikan kemanfaatan konten atau informasi antara lain dengan
jalan sebagai berikut: bisa mendorong kepada kebaikan) dan ketakwaan; bisa mempererat persaudaraan (ukhuwwah) dan cinta kasih (mahabbah); bisa menambah ilmu pengetahuan; bisa mendorong untuk melakukan ajaran Islam dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; Kemudian tidak melahirkan kebencian dan permusuhan.
Setiap muslim dilarang mencari-cari aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain, baik individu maupun kelompok, kecuali untuk tujuan yang dibenarkan secara syar’i seperti untuk penegakan hukum atau mendamaikan orang yang bertikai.
Tidak boleh menjadikan penyediaan konten atau informasi yang berisi tentang hoax, aib, ujaran kebencian, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi atau kelompok sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, seperti profesi buzzer yang mencari keutungan dari kegiatan terlarang tersebut. (desastian)