Oleh: DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH*
A. Prolog
Penerapan hukum dengan mengaitkan HRS pada kasus FH – yang juga masih belum jelas atau belum tentu benar – telah menimbulkan adanya dugaan nuansa kepentingan pragmatis-politis di balik penetapan tersangka kepada keduanya. Sebagaimana diketahui HRS dikenakan sangkaan pidana sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 29 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan/atau Pasal 6 jo Pasal 32 dan/atau Pasal 9 jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) dan/atau Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang dilakukan oleh tersangka FH baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan HRS.
Kajian secara yuridis dan teoretis ini dimaksudkan untuk membuat terang perkara yang disangkakan kepada FH dan HRS. Sepanjang penerapan hukum dilakukan secara benar, maka tidaklah ada masalah. Namun jika dalam penerapan hukum dalam rangka implementasi penegakan hukum – dalam hal ini proses penyidikan – terdapat adanya berbagai keadaan yang tidak berhubungan, tidak terkait dan tidak ada relevansinya, maka penerapan hukum yang demikian patut dipertanyakan.
B. Analisis Yuridis-Teoretis
1.Perlindungan Terhadap Pelanggaran Hak Pribadi (Privacy Rights)
Pasal 27 ayat (1) UU ITE, menyatakan : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Menurut Penjelasan Pasal 27 Ayat (1) disebutkan bahwa :
– Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik.
– Yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik.
– Yang dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.
Dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE, maka seseorang yang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, dengan unsur sengaja dan tanpa hak adalah dikateorikan telah melakukan perbuatan pidana dan kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana.
Ketentuan Pasal 27 ayat (1) sangat terkait dengan perlindungan data pribadi yang merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights) seseorang, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 26 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.
Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai, sebagaimana disebutkan pada huruf b di atas juga terkait dengan tindakan “intersepsi atau penyadapan” yang merugikan hak pribadi (privacy rights) seseorang. Disebutkan pada Penjelasan Pasal 31ayat (1) bahwa : yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. Seharusnya, posisi FH dan HRS adalah sebagai korban dari adanya tindakan seseorang yang telah memenuhi unsur Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
2. Pemanfaatan Sistem Elektronik Secara Tidak Sah (Melawan Hukum)
Pada sangkaan terhadap FH, diyakini telah ada suatu tindakan intersepsi (penyadapan) oleh pihak yang tidak bertanggungjawab yang kemudian berlanjut pada perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Bahkan patut diduga adanya rekayasa pemanfaatan Sistem Elektronik – dalam hal ini HP milik FH – yang didalamnya terdapat konten (foto) pribadi FH.
Menurut keterangan FH, bahwa memang di dalam galery HP terdapat foto dirinya dan tidak dalam keadaan telanjang atau yang dipersamakan dengan itu. Namun, menjelang Aksi 212, dirinya ditangkap dan kemudian ditahan bersama dengan aktivis yang lainnya dengan dugaan tindak pidana terhadap keamanan negara / makar sebagaimana dimaksud pada Pasal 107 jo Pasal 110 jo Pasal 87 KUHP. Diketahui pula, bahwa HP miliknya sebanyak 3 (tiga) buah telah disita oleh penyidik. Di sisi lain, whatsapp HRS telah dimanfaatkan oleh pihak tertentu, sehingga melalui HP tersebut telah digunakan secara tidak sah dan tentunya merugikan HRS.
Menjadi pertanyaan apakah benar yang bersangkutan (FH) telah melakukan perbuatan pidana dan tentunya memenuhi unsur melawan hukum? Di sini justru terlihat adanya tindakan yang secara melawan hukum (wederrechtelijk) dalam bentuk tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Frasa “tanpa hak” pada rumusan Pasal 27 ayat (1) UU ITE identik dengan perbuatan melawan hukum. Dengan kata lain, melawan hukum dimaksud adalah menggambarkan sifat tidak sah dari suatu tindakan atau suatu maksud tertentu.
Dugaaan adanya perbuatan pidana melanggar UU Pornografi patut dipertanyakan. FH tidak ada kualitas sebagai pelaku perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak pula unsur kesalahan sebagai syarat untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban.
3. Pengecualian Perbuatan Pidana Dalam UU Pornografi
Syarat seseorang terancam pidana sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi adalah adanya perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat antara lain ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. Adapun Pasal 6 mensyaratkan perbuatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Penting untuk dipahami bahwa pada kedua pasal tersebut terdapat pengecualian, sebagai berikut:
1. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
2. Penjelasan Pasal 6 menyebutkan bahwa larangan “memiliki atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Perbuatan “membuat” dan “memiliki atau menyimpan” dikecualikan sebagaimana rumusan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 6, jika memang dimaksudkan bukan untuk disebarluaskan, namun hanya untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Makna kepentingan sendiri sebagaimana dimaksudkan pada Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 harus dikaitkan dengan hak pribadi (privacy rights) seseorang, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 26 ayat (1) huruf b, yakni: hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai. Berkomunikasi dengan Orang lain tentunya sangat terkait dan identik dengan makna kepentingan sendiri.
Kemudian, apakah dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan sesuai dengan sangkaan Pasal 8 yang menyatakan bahwa “setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.” Pada sangkaan terhadap HRS yang mengacu kepada ketentuan Pasal 9 UU Pornografi yang menyebutkan “Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.” Di sini HRS diposisikan selaku pihak yang bertanggungjawab karena telah menjadikan FH sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Jelasnya, sangkaan kepada FH dengan menjadikan dirinya sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi (dengan persetujuan dirinya) terkait dengan adanya permintaan dari HRS sebelumnya. Dengan konstruksi demikian, maka diterapkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terhadap rumusan tindak pidana pada Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 29 jo dan/atau Pasal 6 jo Pasal 32 UU Pornografi.
Disini penetapan status Tersangka, harus didasarkan adanya kepentingan menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Apakah FH telah dengan sengaja – dalam artian menghendaki dan mengetahui – atau atas persetujuan dirinya sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi yang notabene melanggar hukum. Jika memang benar FH menyimpan konten (foto) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan dirinya sendiri, maka sepanjang diperuntukkan untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri, maka itu bukanlah perbuatan pidana, tidak ada sifat melawan hukum dan sekaligus tidak ada unsur kesalahan (mens rea) sebagai syarat utama pertanggungjawaban pidana.
Di sisi lain, yang melakukan penyebarluasan konten tersebut bukanlah yang bersangkutan, melainkan orang lain, yang sampai saat ini Penyidik belum mampu menemukannya. Adalah tidak masuk akal jika yang bersangkutan yang telah menyebarluaskan ke dunia maya, sesuatu yang di luar nalar dan akal sehat. Oleh karena itu, sangkaan tindak pidana yang mengacu kepada Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 tidaklah tepat dengan tidak mengindahkan adanya pengecualian pada pasal tersebut, sedangkan sangkaan pada Pasal 8 tidaklah memenuhi unsur kesengajaan. Tegasnya, pada diri FH tidak ada keadaan psikis atau batin tertentu dan tidak ada hubungan tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang disangkakan.
Adapun penetapan HRS sebagai orang yang dianggap telah menjadikan FH sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi, sebagaimana rumusan Pasal 9 UU Pornografi juga patut dipertanyakan. Dikatakan demikian, oleh karena kebenaran atas permintaan tersebut melalui chat antara keduanya sangat diragukan kebenarannya. Petunjuk yang mendukung pendapat ini adalah adanya pemanfaaan secara tidak sah atas whatsapp milik FH dan HRS oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, dan disebarluaskan ke dunia maya dengan tanpa hak (melawan hukum). Seharusnya, pihak yang menyebarluaskan itulah yang harus bertanggungjawab secara hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Dengan adanya penyebarluasan tersebut, posisi FH dan HRS seharusnya dikategorikan sebagai korban, bukan sebaliknya sebagai Tersangka.
4. Relevansi Alat Bukti
Terkait dengan penyebarluasan konten tersebut di dunia maya, pihak Penyidik mengatakan dilakukan oleh pihak anonymous. Keadaan demikian, telah pula menjadi permasalahan yuridis yang signifikan dan ini terkait dengan kekuatan pembuktian. Salah satu alat bukti adalah keterangan Saksi (Oral Evidence), sebagaimana disebut secara limitatif dalam Pasal 184 KUHAP. Perihal tentang keterangan Saksi juga harus mengacu kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU.VIII/2010 tanggal 8 Agustus 2011, yang pada putusannya menekankan adanya relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang diproses. Relevansi alat bukti berhubungan dengan dari ada atau tidaknya hubungannya dengan fakta yang akan dibuktikan, dan hubungan tersebut dapat membuat fakta yang bersangkutan menjadi lebih jelas.
Disini keterangan Saksi haruslah berhubungan dengan dugaan adanya tindak pidana. Tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya.
Pihak anonymous yang tidak diketahui subjek hukumnya, tentu bukanlah termasuk sebagai Saksi. Dengan demikian pihak Pelapor – yang melampirkan bukti berupa print out chatting – maupun Saksi tidak memiliki legal standing, disebabkan tidak ada relevansi dengan yang akan dibuktikan. Relevansi Saksi menunjuk berhubungan pada perihal ada atau tidaknya hubungannya dengan fakta yang akan dibuktikan, dan hubungan tersebut dapat membuat fakta yang bersangkutan menjadi lebih jelas. Lebih lanjut, sebab utama beredarnya konten yang dimaksudkan adalah dari pihak anonymous, yang secara hukum tidak dapat membuat fakta yang bersangkutan menjadi lebih jelas, oleh karenanya wajib ditolak keberadaan Laporan Pelapor tersebut. Beradasarkan fakta-fakta hukum tersebut, maka proses pemenuhan ketentuan Pasal 184 KUHAP oleh penyidik, yakni keterangan Saksi maupun keterangan Ahli tidak dapat diterima sebagai alat bukti yang sah.
5. Pemanfaatan Bukti Secara Tidak Sah
Tindakan penyidik dalam melakukan penyitaan atas HP milik FH pada perkara sebagaimana disangkakan, patut dipertanyakan. Barang bukti pada dugaan yang disangkakan sebelumnya (tindak pidana terhadap keamanan negara/makar), kemudian dijadikan sebagai barang bukti pada dugaan tindak pidana yang lain yakni pornografi, ketika ada laporan dalam rentang waktu yang cukup lama. Laporan tersebut didasarkan pada informasi (anonymous) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Terlebih lagi ada dugaan kuat terjadinya pemanfaatan bukti secara tidak sah (illegal). Ketika aparat penegak hukum menggunakan bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah (unlawful legal evidence) maka bukti tersebut tidak mempunyai nilai pembuktian, hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016. Kondisi demikian mengakibatkan tidak sahnya kesaksian dari para Saksi maupun keterangan para Ahli, termasuk alat bukti petujuk.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 telah mengubah status dari informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam penegakan hukum pidana yang akibatnya, yaitu seluruh informasi elektronik/dokumen elektronik yang dapat menjadi bukti harus diperoleh berdasarkan prosedur sesuai Pasal 31 ayat (3) UU ITE, di luar itu maka informasi elektronik/dokumen elektronik tidak diperbolehkan sebagai bukti. Dengan demikian, dalam kasus-kasus pidana ke depan, seluruh dokumen elektronik/informasi elektronik dalam penegakan hukum pidana tidak dapat digunakan sebagai bukti/petunjuk jika tidak memenuhi syarat yang di putuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
C. Konklusi
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat indikasi kuat bahwa penerapan hukum dalam mengungkap kasus yang terjadi tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana, dengan alasan yuridis sebagai berikut:
Pertama, pada pemenuhan unsur tindak pidana pornografi cenderung meniadakan hubungan kausalitas sebagai suatu fakta yang semestinya menjadi dasar penyidikan. Fakta yang terjadi, adanya suatu konten pornografi dalam media sosial (dunia maya). Di sisi lain, pihak yang seharusnya bertanggungjawab dalam hal mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 27 ayat (1) UU ITE belum diketemukan.
Kedua, mengacu kepada unsur-unsur yang objektif suatu perbuatan pidana yaitu, suatu tindak-tanduk (suatu tindakan), dan adanya suatu akibat tertentu, dan keadaan, maka pada diri FH tidaklah terpenuhi unsur-unsur objektif dimaksud. Adapun unsur-unsur subjektif, yaitu berupa kesalahan (mens rea) sebagai penentu pertanggungjawaban pidana, dengan sendirinya tidak dapat diterapkan. Logika hukumnya, apabila tidak ditemukan adanya unsur perbuatan pidana, maka terhadap hal itu tidaklah mungkin untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Jika sesuatu kelakuan telah memenuhi unsur perbuatan pidana, maka masih belum tentu atas perbuatan tersebut dimintakan pertanggungjawaban pidana. Disini dipersyaratkan adanya unsur kesalahan dari pembuat baik berupa kesengajaan (dolus/opzet) atau kealpaan (culpa). Untuk adanya suatu kesalahan harus ada keadaan psikis atau batin tertentu, dan harus ada hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sehingga menimbulkan suatu celaan, yang pada nantinya akan menentukan dapat atau tidaknya seseorang di pertanggungjawabkan secara pidana.
Ketiga, penetapan Saksi atas HRS adalah tidak sesuai dengan fakta, karena HRS bukan sebagai orang yang mendengar, melihat dan mengalami secara langsung. Perlu ditekankan di sini bahwa foto HRS tidak ada dalam konten tersebut. Adapun isi chat antara FH dan HRS tidak dapat dijadikan bukti karena tidak didapatkan secara sah (illegal). Peningkatan status HRS dari Saksi kepada Tersangka dengan mengklasifikan ke dalam penyertaan (Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP) adalah tidak tepat.
Keempat, HRS juga diposisikan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab sesuai rumusan Pasal 8 UU Pornografi, tentunya dengan alibi penyidik atas dasar adanya “persetujuan” dari FH untuk menjadi objek yang mengandung muatan pornografi. HRS dikategorikan sebagai orang yang harus bertanggungjawab, karena telah menjadikan FH sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi, sebagaimana rumusan Pasal 9 UU Pornografi, dan dengan itu FH memberikan persetujuannya untuk menampilkan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Penetapan HRS ditetapkan sebagai tersangka, dengan menempatkan pada suatu posisi “yang memanfaatkan,” “memiliki,” atau “menyimpan” “konten pornografi” yang dikirimkan oleh FH kepada HRS dan sebagai pihak yang “turut serta” – dalam sangkaan yang diterapkan kepada FH – adalah tidak memenui pemenuhan unsur baik objektif maupun subjektif.
Kelima, penyebarluasan di dunia maya dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab dan bukti utama yang menjadi dasar penyidikan diduga kuat didapatkan dari perbuatan yang tidak sah (ilegal). Menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU.VIII/2010, penggunaan bukti dengan cara yang tidak sah (unlawful legal evidence) maka bukti tersebut tidak mempunyai nilai pembuktian. Terkait dengan adanya penggunaan bukti dengan cara yang tidak sah, maka kedudukan Laporan Polisi, proses pemeriksaan terhadap Pelapor, para Saksi dan termasuk para Ahli adalah tidak sah. Kesemua itu, juga berimbas pada hasil Gelar Perkara yang telah dilakukan oleh Penyidik, dan oleh karenanya harus dinyatakan “batal demi hukum.” Dengan demikian, sepanjang belum diketemukan orang yang menyebarluaskan konten dimaksud, maka penetapan Tersangka kepada FH dan HRS adalah “tidak sah” menurut hukum.
Terakhir disampaikan bahwa keberlakuan UU ITE, mensyaratkan adanya kerugian bagi kepentingan Indonesia. Hal ini disebutkan pada Pasal 2 UU ITE, yang berbunyi: “Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.”
Kata “dan” sebelum frasa “merugikan kepentingan Indonesia”, harus dimaknai satu kesatuan dengan kalimat sebelumnya. Penjelasan Pasal 2 menegaskan bahwa “yang dimaksud dengan “merugikan kepentingan Indonesia” adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia.
Disini tentunya proses penerapan hukum harus memperhatikan aspek adakah kepentingan Indonesia yang dirugikan. Menjadi pertanyaan, pertama, adakah relevansi antara kepentingan Indonesia – yang dirugikan – dengan penetapan tersangka terhadap FH dan khususnya HRS? Kedua, yang paling pokok, apakah kepentingan Indonesia dimaksud memang harus melakukan pemidanaan kepada HRS?
* Ahli Hukum & Pengurus Komisi Kumdang MUI