Oleh: Ibnu Sahidin*
(PANJIMAS.COM) — Perang Suriah yang telah memasuki tahun ke enam belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Bahkan sejak 2015 ketika Rusia mulai terang-terangan ikut berperang di sisi rezim pemerintah Suriah, perang ini menjadi semakin rumit. Banyaknya pihak yang terlibat dalam perang menjadikan perang ini tidak jelas apakah termasuk perang internasional ataukah perang nasional. Oleh karena itu sebagian pengamat menyebut perang Suriah adalah perang asimetris.
Selama enam tahun perang ini telah merenggut korban jiwa lebih dari 450.000. Sementara dua pertiga dari 18 juta penduduk Suriah telah mengungsi ke luar negeri. Krisis kemanusiaan pun terjadi dan disebut-sebut yang terburuk sejak Perang Dunia Kedua.
Jatuhnya korban hingga lebih dari 450.000 jiwa jelas menunjukkan adanya pelanggaran Hukum Humaniter. Karena setiap warga sipil adalah haram dibunuh dalam perang, apapun alasannya. Sementara senjata kimia -fosfor putih- yang secara massif digunakan oleh pasukan pemerintah semakin memperparah pelanggaran tersebut. Terlebih dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 Pasal 35 ayat (1) diatur bahwa alat dan metode berperang tidak tak terbatas.
Mandulnya peran Hukum Humaniter dalam mengatur maupun menyelesaikan konflik dikarenakan imperialisme dan standar ganda. Amerika Serikat dan Barat sejatinya berdiri dibelakang rezim Suriah, merestui pembantaian bahkan membantu pembantaian itu sendiri. Sama sekali tidak terlihat niatan Amerika Serikat dan Barat untuk memperkarakan kejahatan perang Suriah ini ke Pengadilan Kriminal Internasional.
Tentu ini tidak mengherankan. Karena sesungguhnya jika perang Suriah ini dimenangkan oleh kelompok Revolusioner (pejuang islam) yang menginginkan pemerintahan Islam (Khilafah), maka itu akan menjadi lonceng kematian imperialisme Amerika Serikat dan Barat. Demokrasi-sekuler, ekonomi liberal-kapitalistik dan hegemoni dollar akan menemui ajalnya.
Oleh karena itu segala daya upaya dilakukan Amerika Serikat dan Barat untuk membelokkan tujuan Revolusi Suriah menjadi negara sispil demokratis, yang masih mau menerima nilai-nilai sekulerisme dan ideologi kapitalisme. Sehingga bisa dikatakan imperialisme yang menjadi penyebab perang berkepanjangan Suriah.
Di sisi yang lain absennya umat islam dan diamnya penguasa negeri-negeri islam saat ini tidak lain disebabkan belenggu paham nasionalisme. Nasionalisme yang menurut Ernest Gellner diartikan sebagai paham yang menyatakan bahwa unit kebangsaan dan unit politik semestinya kongruen; turut berperan dalam memperparah perang yang terjadi.
Solidaritas umat islam yang semestinya melahirkan kekuatan politik dan militer adidaya ternyata harus lumpuh akibat nasionalisme. Nasionalisme yang telah membentuk identitas kebangsaan tiap-tiap negara secara otomatis melahirkan pemahaman bahwa setiap yang bukan bagian negaranya maka bukan urusannya. Sehingga tidak mengherankan jika penguasa negeri-negeri islam tidak mengambil tindakan untuk menyelamatkan umat islam yang bukan bagian unit politik dan unit kebangsaannya. Pembiaran yang dilakukan penguasa negeri-negeri islam dengan tidak memobilisasi tentara mereka itulah yang turut andil memperparah perang Suriah.
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta