Oleh Dairy Sudarman *)
(PANJIMAS.COM) – Substansi Revolusi Putih itu manifestasi menjaga kesabaran. Baru dicanangkan oleh Habib Rizieq Shihab (HRS) dari Saudi Arabia, semula bak menggelar sajadah panjang perjuangan sebagaimana ruh puisi Taufik Ismail fatwakan, sesungguhnya ghirah-nya sudah ditaburkan semenjak seluruh Aksi-Aksi Bela Islam dikerahkan. Tak ada kekerasan, anarki atau pun chaos. Justru ditunjukkan Islam itu cinta damai dan toleran, meski hal ketersinggungan yang sangat mendasar bagi umat: agama dan kitab sucinya dilecehkan dan dinistakan. Hingga secara religiusitas, kesabaran itu berbuah, Ahok divonis penjara 2 tahun.
Revolusi Putih itu kini adalah menguji kesabaran. Manifestasinya, bukan perlawanan dengan cara perang fisik, namun kelak dengan cara perang hukum dan konstitusi. Bukannya HRS melarikan diri atau disebut sebagai tindakan pengecut untuk tidak kembali ke Indonesia, tapi bagian dari menjaga dan menguji kesabaran itu, semata-mata agar umat Islam tidak marah, tidak emosional. Yang akibatnya akan menjadi sangat fatal bisa meluluhlantakkan Indonesia. Karena tidak hanya JK selaku Wakil Presiden, umat Islam kebanyakan pun memahami, HRS itu korban kriminalisasi dari tirani Penguasa. Berhak menuntut keadilan di mata hukum dan konstitusi yang bersifat universal. Makanya, tidak terbatas di Indonesia saja, melainkan bersifat mondial.
Dalam kasus chat berbau pornografi, HRS terang benderang dikriminalisasi dengan cara fitnah keji. Chat demoralisasi itu sengaja diproduksi oleh pemerasa sakit hati dengan cara politik balas dendam untuk membunuh karakter pribadinya. Ironisnya, Polri sebagai institusi penegak hukum justru mengabsahkannya. Ini semakin menunjukkan bentuk pengeroyokan konspirasi politik nyata yang dilakukan tidak saja oleh institusi Penegak Hukum Polri mewakili perangkat negara. Bahkan, Kejaksaan Agung tercium aroma kolusinya ketika hanya menjatuhkan Ahok hanya 2 tahun penjara yang justru sebagai bagian antitesis upaya penegakan dan keadilan yuridiksi hukum dan konstitusi itu sendiri.
Demikian bersenyawa pula dengan kasus penodaan terhadap founding father negara kita Ir. Soekarno terkait ujaran pantat untuk Pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang oleh putrinya Sukmawati, HRS dipidanakan. Ujaran pantat dilontarkan HRS itu sebagai candaan layaknya kebanyakan kebiasaan tradisi orang Betawi asli, yang sesungguhnya substansinya sebagai analogi ketidaksetujuan umat Islam saat Juni 1945 terhadap ide dasar Pancasila oleh Soekarno yang menempatkan sila Ketuhanan berada paling bawah.
Melalui tesis S2 HRS yang diakui secara akademis dan keilmuan di Universitas Malaysia, justru HRS itu luar biasa membuat semacam concetia history bagi bangsa Indonesia. Saat Dekrit Presiden 18 Agustus 1945 yang diprakarsai oleh para ulama KH Ki Bagoes Hadikusumo mewakili Muhamadiyah, KH Agus Salim, dan KH Wahid Hasjim mewakili NU mencetuskan awalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya menjadi sila pertama Pancasila. Setelah melalui konsensus nasional antara kekuatan kelompok Nasionalis dan Islam, maka sila pertama itu kemudian direnkonstruksi menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Secara hukum dan konstitusi di mana letak kesalahan HRS yang sesungguhnya melakukan upaya meninggikan derajat sila pertama Pancasila dasar negara sebagai landasan Ketuhanan? Kesadaran sejarah ini seharusnya menjadi kesadaran cara berpikir Sukmawati selaku putri Proklamator, bukan malah mempidanakannya yang hanya akan menjadi mempermalukan dirinya sendiri. Mana antara yang lebih baik menghormati dan menghargai orang tuanya daripada Tuhannya?. Sama halnya dengan Megawati Soekarnoputri saat Ulang Tahun PDIP ke-70 melakukan Pidato Kebangsaan, justru seolah meniadakan jiwa sila pertama Pancasila, tidak mempercayai adanya takdir (qadar) tentang kehidupan akhirat (alam baqa) di masa depan, sebagaimana yang diimani dan diyakininya sendiri sebagai penganut Islam?
Islam yang eksistensi akidahnya sangat mengharamkan syirik, musyrik, munafik, kafir atau murtad menunjukkan sensitivitas positif HRS demikian dalam menyikapi modus kasus logo Palu Arit diterbitan uang kertas baru BI sebagai simbol adanya kebangkitan komunisme yang disinyalir kini. Atau kasus pidana campur racun melecehkan ujaran sampurrasun terkait asal muasal budaya Sunda animisme, di mana keduanya bertolak belakang dengan keyakinan adanya Sang Khalik, Allah SWT.
Jadi, sesungguhnya dari kasus-kasus HRS yang dikriminalisasikan itu ada pesan-pesan substantif yang ingin HRS sampaikan melalui Revolusi Putih dari Saudi Arabia:
Pertama, jelas tidak ada pertentangan sila pertama Pancasila dengan agama Islam yang merupakan agama Rakhmatan Lil Alamin, agama yang membawa rakhmat bagi semesta alam hingga akhir zaman. Maka, kalau Pancasila itu sebagai dasar negara Indonesia bagi HRS itu final, tak ada alasan lagi bagi Penguasa untuk menuduh siapapun kelompok umat dan institusi Islam melakukan makar untuk mengganti Penguasa atau dasar negara. Sehingga, tidak selayaknyalah kemudian Penguasa mengkriminalisasi para Habaib dan Ulama. Dan tidak seharusnyalah juga Penguasa membubarkan ormas-ormas Islam, seperti yang akan dilakukannya kepada HTI.
Justru dijiwai oleh ruh Islam di mana bangsa Indonesia mayoritas muslim diingatkan untuk kembali meningkatkan ketakwaan dan keimanan kepada Allah SWT untuk menyingkirkan segala permusuhan yang hanya akan memecah belah kesatuan persatuan bangsa dan NKRI yang berdasarkan kebhinekaan; enyahkan sikap kerakusan dan ketamakan serta kesewenang-wenangan yang hanya akan mengundang korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela; juga ketidakadilan sosial yang hanya mengakibatkan kesengsaraan, penderitaan dan kemiskinan antar sesama dan kesenjangan kesejahteraan antar warga negara/bangsa.
Kedua, Revolusi Putih itu relevansinya Revolusi Damai dan Penuh Toleransi, sehingga sesungguhnya tidak ada niat atau inisiasi sedikitpun dari segenap umat, kelompok dan institusi Islam untuk melakukan perlawanan dengan tindak kekerasan, berbuat anarkis, bahkan menciptakan situasi dan suasana chaos di negeri ibu pertiwi ini.
Ketiga, Revolusi Putih itu sesungguhnya sudah memberikan signal dari awalnya untuk mendorong terjadinya rekonsiliasi bangsa. Karena bagi umat Islam itu ketika yang menjadi hak perjuangannya telah selesai ditunaikan sesuai hukum dan konstitusi, maka tak ada lagi dendam. Rekonsialisasi bangsa itu memanifestasikan kerukunan sejati yang didasari Ukhuwah Islamiyah dan Wathoniyah, sebagai pemantik nyalakan obor semangat persaudaraan dan persatuan umat Islam sendiri maupun antar warga negara besar Indonesia secara keseluruhan.
Bila ketiga pesan Revolusi Putih itu tetap diabaikan oleh Penguasa dengan melalui Polri tetap menangkap HRS dan akan terus menerus mengkriminalisasi para Habaib dan Ulama; kemudian terhadap cara-cara politik balas dendam itu dilakukan pembiaran sebagaimana dilakukan oleh para Ahokers dengan pelbagai cara dan pratek politik licik dan keji, maka jangan yang disalahkan umat Islam bilamana Revolusi Putih itu kemudian akan berubah lambat laun atau seketika menjadi Revolusi Merah yang ditandai dengan pertumpahan dan banjir darah?! Wallahu`alam bi Shawab.
*) Dairy Sudarman, adalah pemerhati Islam, alumni Aksi Bela Islam 212, tinggal di Jakarta
Timur.