(PANJIMAS.COM) – Kehidupan di dunia akan harmonis apabila akhlaq diperankan di dalamnya. Maka itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam diutus kepada umat manusia guna menumbuhkembangkan akhlaq yang mulia. Di antara sekian banyak bentuk aktivitas manusia adalah bicara. Bila tanpa dilandasi akhlaq mulia dan tata cara yang tepat, ucapan yang hanya satu kata saja dapat menghadirkan bencana.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ditanya tentang apa penyebab terbanyak manusia masuk surga? Beliau menjawab, “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasaalam juga ditanya tentang apa penyebab terbanyak manusia masuk neraka? Beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (Hr. Tirmidzi).
Karena itu, agar ucapan menghadirkan kebaikan dan bukan sebaliknya, hendaknya kita mengerti ilmunya. berikut ini beberapa adab berbicara yang seyogianya dimengerti oleh setiap Muslim.
1. Hanya Berucap yang Baik
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memilih berkata baik atau diam.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam ini lugas namun sangat dalam. Satu pesan teramat fundamental kita dapatkan: Mukmin hanya boleh mengucapkan kebaikan. Karena walau hanya seucap kata, akan ada pertanggungjawabannya di akhirat.
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhai Allah yang ia tidak mengira akan mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh Allah ridhaNya bagi si bersangkutan sampai hari kiamat kelak. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah yang tidak dikiranya akan demikian, Allah mencatatnya yang demikian itu sampai hari kiamat.” (Hr. Tirmidzi).
Beliau pun memberi penegasan bahwa ucapan yang buruk bukanlah milik Mukmin.
“Bukanlah seorang mukmin jika suka mencela, melaknat, dan berkata-kata keji.” (Hr. Tirmidzi).
2. Artikulasinya Jelas dan Benar
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan, “Perkataan Rasulullah itu selalu jelas sehingga bisa difahami oleh semua yang mendengar.” (Hr. Abu Dawud).
Hadits ini mendeskripsikan dengan singkat namun jelas, bagaimana gaya bicara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam: mudah dipahami lawan bicaranya.
Kemampuan wicara memang terkait dengan bakat dan potensi-potensi fisik per individu. Bila kita termasuk orang yang “sulit bicara”, hadits di atas hendaknya dijadikan cambuk untuk berubah. Melatih diri untuk semakin terampil berbicara harus dilakukan.
Sekadar berbagi pengalaman, waktu remaja, penulis sangat pendiam dan merasa sangat sulit menemukan kata untuk diucapkan. Tapi alhamdulillah, setelah menempuh upaya perubahan, lambat laun menjadi lebih baik, sampai kemudian berani bicara di muka publik, di forum resmi di depan kaum intelektual. Bentuk-bentuk upaya itu adalah: banyak membaca, memerhatikan penceramah, memberanikan diri bertanya dalam forum, dan mengikuti diskusi.
3. Tidak Bertele-tele
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam benci kecerewetan yang tak bermutu, banyak bicara tapi hampa makna, apalagi dengan gaya yang dubuat-buat agar terkesan pintar dan gaul.
“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku nanti di hari kiamat ialah orang yang banyak bicara dan berlagak dalam berbicara.” (Hr. Tirmidzi).
Mengapa beliau benci yang demikian? Karena kelakuan seperti itu kurang memberi faedah dalam kehidupan, hanya membuang waktu saja.
5. Repetisi
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Jika berbicara, beliau shalallahu ‘alaihi wassalam biasa mengulanginya tiga kali sehingga semua yang mendengarkannya menjadi faham.” (Hr. Bukhari).
Hadits ini secara eksplisit memuat sebuah metode penyampaian pesan yang cerdas, yakni mengulangnya dengan ritme yang tepat. Secara psikologis, suara yang terdengar secara berulang-ulang akan membekas pada pikiran bawah sadar dan kuat tersimpan di dalam memori otak.
Tak hanya itu, secara implisit hadits ini juga memuat akhlaq Islam yang sangat mendasar, yakni sabar. Kesabaran jelas dibutuhkan dalam menggunakan metode ini.
7. Tidak Berdebat Kusir
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan hidayah, melainkan karena mereka terlalu banyak berdebat.” (Hr. Ahmad dan Tirmidzi).
Perdebatan yang berorientasi pada kemenangan, bukan kebenaran, berpotensi mengarajkan kepada kesesatan. Maka itu dilarang dalam Islam. Sedang perdebatan dengan tujuan mengungkap kebenaran dan dilakukan dengan adab dan akhlaq mulia diperbolehkan saat diperlukan.
“…. dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalanNya dan siapa yang mendapat petunjuk.” (an-Nahl: 125).
9. Bercanda Sewajarnya
“Sesungguhnya seburuk-buruk orang di sisi Allah di hari kiamat kelak ialah orang yang suka membuat manusia tertawa.” (Hr. Bukhari).
Canda yang berlebihan termasuk perbuatan tercela karena berpotensi melalaikan dari zikir (ingat) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mendekatkan kepada perilaku hedonis. Dan itu jelas tak berfaedah bagi kehidupan, bahkan menjadi penyebab kerusakan. Maka itu, sudah seharusnya setiap Mukmin menghindari perbuatan yang sia-sia.
“Dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (al-Mukminun: 3).
11. Jujur
Jujur adalah ciri Mukmin sejati. Perkataan dusta merupakan tindakan nifaq.
“Tanda-tanda kemunafikan itu ada tiga, jika ia bicara berdusta, jika ia berjanji mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat.” (Hr. Bukhari).
Jika kemunafiqan akan membuahkan kehancuran, kejujuran membawa kita kepada kebaikan dan keberuntungan.
“Kalian harus jujur karena sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada jannah. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur sehingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian dusta karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk berdusta sehingga ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (Hr. Muslim no. 6586).
12. Tidak Menggunjing
Menggunjing dapat menimbulkan konflik sosial. Namun pada kenyataannya, sering kali kita sulit hindarinya dalam obrolan keseharian. Walau bukan maksud hati mengatakan keburukan orang lain, tapi dalam perbincangan yang mengalir acap laki terceletuk penyebutan seseorang beserta kelakuan buruknya. Untuk itu, dalam berbicara, kita harus berhati-hati dan waspada terhadap bisikan setan yang mengajak kepada kejahatan.
“Janganlah kalian saling mendengki, dan janganlah kalian saling membenci, dan janganlah kalian saling berkata-kata keji, dan janganlah kalian saling menghindari, dan janganlah kalian saling menggunjing satu dengan yang lain, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Dalam surat al-Hujurat ayat 11, Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan kita untuk tidak mengolok-olok orang lain, karena boleh jadi orang yang kita olok-olok itu lebih baik dari diri kita sendiri. Dan ayat berikutnya menyatakan bahwa menggunjing (ghibah) adalah perbuatan yang sangat tidak manusiawi. Allah subhanahu wa ta’ala mengibaratkan itu dengan makan bangkai saudaranya sendiri.
13. Bijak dalam Memuji
Dari Mujahid, bahwa Abu Ma’mar berkata, “Berdiri seseorang memuji seorang pejabat di depan Miqdad bin Aswad dengan berlebihan. Maka Miqdad mengambil pasir dan menaburkannya ke wajah orang itu, lalu berkata, ‘Nabi memerintahkan kami untuk menaburkan pasir di wajah orang yang gemar memuji.'” (Hr. Muslim).
Jika Rasulullah bersikap sampai sebegitunya, berarti memuji secara berlebihan berpotensi menimbulkan mudharat yang tak bisa diremehkan. Benar, pujian berlebihan dapat memantik rasa sombong dan sikap tidak adil bagi orang yang dipuji dan mendengarnya. Dan kesombongan itu berpotensi menjerumuskan si bersangkutan ke dalam azab Allah subhanahu wa ta’ala.
Suatu hari ada seseorang memuji orang di depannya. Maka kata Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, “Celaka kamu, kamu telah mencelakakan saudaramu! Kamu telah mencelakakan saudaramu!” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Itulah beberapa adab yang seyogianya kita mengerti dan jadikan acuan dalam percakapan sehari-hari. Dengan mengikuti adab-adab tersebut, insya Allah keberkahan interaksi sosial akan kita peroleh, dan dampak buruknya dapat kita hindari. Wallahu a’lam. []