Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH*
(PANJIMAS.COM) — Proses hukum terhadap Firza Husein (FH) menuai polemik di masyarakat. Polemik tersebut berujung adanya dugaan terjadinya “kriminalisasi” terhadap Imam Besar Islam Indonesia, yang mulia Dr. (Cand) Habib Rizeq Shihab, Lc, MA (HRS). Anggapan yang berkembang di masyarakat tentu tidaklah tanpa dasar, melainkan adanya berbagai keganjilan dalam proses pengungkapan dan pemeriksaan yang berujung ditetapkannya FH sebagai tersangka tindak pidana pornografi. Lebih lanjut keganjilan yang muncul itu dikaitkan dengan HRS. Di sisi lain pihak yang semestinya bertanggungjawab dalam hal pendistribusian atau penyebarluasan konten pornografi, sampai saat ini belum ditemukan.
Penegakan hukum yang baik tentulah didasarkan pada kejujuran dalam proses menentukan ada atau tidaknya suatu perbuatan pidana dan juga termasuk dalam menentukan siapa yang harus dimintakan pertanggungjawaban pidana. Dalam kaitan ini, seseorang yang telah memenuhi unsur perbuatan pidana belumlah tentu dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Hal ini didasarkan kepada asas dualistis – sebagai lawan monoistis – yang dianut Indonesia. Asas dualistis secara tegas memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Kita ketahui, pihak penyidik telah menetapkan sangkaan tindak pidana kepada FH dengan susunan komulatif-relatif, sebagai berikut: Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 29 dan/atau Pasal 6 juncto Pasal 32 dan/atau Pasal 8 juncto Pasal 34 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) dan/atau Pasal 27 ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan perubahannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE)
Menurut kajian yuridis penulis, ada beberapa hal yang tidak tepat dalam permusan sangkaan dimaksud.
Pertama, menjadi pertanyaan “apakah benar yang bersangkutan telah melakukan perbuatan pidana dan tentunya memenuhi unsur melawan hukum?” Syarat seseorang terancam pidana sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi adalah adanya perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat antara lain ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan.
Adapun Pasal 6 mensyaratkan perbuatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Penting untuk dipahami bahwa pada kedua pasal tersebut terdapat pengecualian, sebagai berikut:
1. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
2. Penjelasan Pasal 6 menyebutkan bahwa larangan “memiliki atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Menjadi terang dan jelas, jika perbuatan “membuat” dan “memiliki atau menyimpan” dikecualikan sebagaimana rumusan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 6, jika memang dimaksudkan bukan untuk disebarluaskan, namun hanya untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Lebih lanjut, tidak terdapat adanya kesengajaan dan sifat melawan hukum pada diri yang bersangkutan. Jika memang benar FH menyimpan konten (foto) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan dirinya sendiri, sepanjang diperuntukkan untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri, maka itu bukanlah perbuatan pidana, tidak ada sifat melawan hukum dan sekaligus tidak ada unsur kesalahan (mens rea) sebagai syarat utama pertanggungjawaban pidana.
Di sisi lain, yang melakukan penyebarluasan konten tersebut bukanlah yang bersangkutan, melainkan orang lain, yang sampai saat ini Penyidik belum mampu menemukannya. Adalah tidak masuk akal jika yang bersangkutan yang telah menyebarluaskan ke dunia maya, sesuatu yang diluar nalar dan akal sehat.
Kemudian, apakah dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan sesuai dengan sangkaan Pasal 8 yang menyatakan bahwa “setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.” Disini penetapan status tersangka, harus didasarkan adanya kepentingan menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Apakah FH telah dengan sengaja – dalam artian menghendaki dan mengetahui perbuatan dan akibatnya – atau atas persetujuan dirinya sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi yang nota bene melanggar hukum.
Kedua, menyangkut keberlakuan Pasal 27 UU ITE yang menegaskan harus adanya akibat kerugian bagi orang lain, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 UU ITE. Kerugian tersebut dikarenakan adanya perbuatan seseorang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dimaksud. Menjadi pertanyaan serius, siapa pihak yang seharusnya bertanggungjawab dan karenanya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain?
FH tentu dan seharusnya menjadi pihak yang dirugikan, bukan sebagai tersangka, sepanjang dirinya tidak melakukan perbuatan pendistribusian (menyebarluaskan) konten pornografi dimaksud. Justru orang lain itulah yang telah menyebarluaskan yang seharusnya bertanggungjawab. Disini harus ditemukan seseorang tersebut untuk diproses pidana. Apabila orang dimaksud tidak dapat diketemukan, maka penetapan tersangka pada diri FH adalah suatu hal yang mengada-ngada dengan catatan pada diri FH tidak ada maksud untuk menyebarluaskan dan tidak ada unsur kesalahan.
Ketiga, terkait dengan pihak yang seharusnya melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Secara jelas UU ITE menegaskan bahwa selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pihak yang berwenang melakukan penyidikan adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 43 UU ITE.
Pada pengaturan ini menurut penulis, seharusnya yang lebih tepat menjalankan fungsi penyidikan adalah PPNS. Hal ini didasarkan pada kekhususan dalam UU ITE terkait dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berlaku asas lex spesialis derogat lex generalis.
Keempat, persoalan penerapan hukum yang tidak jelas sebagaimana disebutkan sebelumnya menjadi “semakin jelas ketidakjelasannya” dengan mengaitkan kepada HRS pada kasus FH yang juga masih belum jelas atau belum tentu benar. Hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang menduga ada kepentingan pragmatis-politis dengan menetapkan FH sebagai tersangka dengan HRS sebagai saksi.
Dugaan akan terjadinya delik penyertaan (Pasal 55 KUHP) yang dapat mengakibatkan HRS pada kualifikasi yang sama dengan FH bukan tanpa dasar, mengingat munculnya kasus ini terlihat memang sengaja diskenariokan sedemikian rupa oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Pembunuhan karakter telah terjadi secara sistematis dengan serangkaian fitnah yang juga demikian masif dan ofensif.
HRS di mata penulis adalah seorang pejuang ksatria yang sangat menghormati hukum sepanjang proses hukum diselenggarakan secara “due process of law” yang prosedural, didasari atas konsep hukum tentang “keadilan yang fundamental” (fundamental fairness). Konsepsi due process of law yang prosedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh aparat yang berwenang.
Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis belum melihat bekerjanya due process of law dan termasuk fundamental fairness dalam proses pengungkapan kasus tersebut untuk kepentingan penegakan hukum. Adalah sangat aneh apabila seseorang yang tidak melakukan suatu perbuatan pidana kepadanya dimintakan pertanggungjawaban pidana, atau setidak-tidaknya tidak ada unsur kesalahan sama sekali.
Otista II, Jakarta Timur, 21 Mei 2017.
* Akademisi – Ahli Hukum Pidana