Muhamad Akbar Ali*
(Panjimas.com) — Kebangkitan pergerakan nasional Indonesia bukan berawal dari berdirinya Boedi Oetomo, tetapi sebenarnya di awali dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam pada tahun 1905 di Solo (Wikipedia.org). Kebangkitan nasional adalah rasa semangat dan persatuan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, mari kita melihat Indonesia saat ini, sejauh mana kebangkitan yang telah di tempuh. Benarkan Indonesia telah menunjukan kebangkitanya?
Paska era reformasi yang di tandai dengan jatuhnya rezim Soeharto, konstelasi politik Indonesia berubah dan mengekor pada bentuk perpolitikan Amerika. Sampai pada masa kepemimpinan jokowi-jk menunjukan pengakaran yang mendalam oleh sistem tersebut. Mendalami kebangkitan nasional, secara garis besar dapat ditinjau pada keadaan negeri Indonesia era ini, baik aspek ekonomi, sosial, dll.
Melirik perekeonomian Indonesia masih sangat jauh dari kemandirian. Bahkan terkesan tidak menunjukan pembangunan menuju berdikari. Senada dengan hal itu oleh Menteri Perencanaan Pembangunan, Bambang Brodjonegoro pada pertengahan november 2016 mengatakan “Ekonomi Indonesia saat ini tidak jauh beda dengan kondisi ekonomi saat kita dijajah Belanda” ujar Bambang.
Ekonomi Indonesia sedang dililit oleh kolonialisme asing dari berbagai aspek strategis negeri ini. Sebut saja misalnya, pada bidang minyak dan gas (migas) ada 60 kontraktor asing yang menguasai hampir 90% migas. Asing juga telah menguasai sektor tanah, dan air. Sektor perkebunan, data yang di lansir oleh Sawit Watch menyebutkan sekitar 50% dari luas areal perkebunan sawit di Indonesia, 7,8 juta hektar berada di tangan asing. Tidak berhenti disitu, asing juga menguasai sektor kakao Indonesia.
Produksi kakao Indonesia yang mencapai 700 ribu ton pertahun, sebanyak 75 persen pabrik pengolahanya adalah perusahaan multinasional. Pada sektor saham, cengkraman asing juga amat tinggi. Menurut data Indonesian Stock Xchange, sekitar 64,3 persen saham dikuasai oleh investor asing. Sektor infrastruktur Indonesia pun tidak ketinggalan dari keganasan asing. Bahkan telah di sapu bersih oleh korporasi tiongkok.
Lebih dari itu, asing juga telah menguasai 16 pulau Indonesia. Hal ini di dinyatakan oleh Pusat Data dan Informasi KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) bahwa sebanyak 16 pulau yang dikuasai asing dan tidak bisa diakses tanpa izin di DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat. Asing juga telah mencengkram negeri ini dengan utang. Utang Indonesia telah mencapai pada posisi Rp. 4.227 Triliun (SindoNews.com).
Pada apek keadaan sosial Indonesia amat mengehelas dada. Berbagai kegaduhan terjadi di negeri ini yang tidak kunjung menemui jalan terpecahkan. Bahkan semakin meruncing. Kasus separatisme, disintegrasi, radikalisme, Islamphobia, penistaan agama, narkoba, seks bebas, kenakalan remaja dan banyak kasus lainya yang tidak kalah dahsyat. Memang benar bahwa suatu Bangsa pasti akan di hadapkan dengan berbagai permasalahan. Namun tugas negara bagaimana mengupayakan minimalisir polemik yang kendati secara gradual.
Melihat solusi pemerintah dalam menanganinya seakan-akan tidak terkesan untuk menegakan keadilan. Satu contoh yang sangat nyata, pada kasus pembubaran ormas HTI dengan dalih mengancam eksistensi pancasila dan NKRI. Namun yang anehnya pemerintah seolah menutup mata dan terkesan membiarkan fenomena yang jelas-jelas mengancam NKRI dan bertentangan dengan Pancasila. Sebut saja misalnya, deklarasi OPM (Organisasi Papua Merdeka) untuk memisahkan diri dari tanah Indonesia. Rakyat menjadi bingung dan bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya dengan pemerintah saat ini, yang terkesan sangat represif terhadap Islam?
Moment kebangkitan nasional seharusnya menjadi kesempatan yang sangat urgen dalam merenungi pergerakan Bangsa ini terutama bagi pemerintah itu sendiri. Meskipun idealnya di lakukan pada tahap berkala. Berbagai masalah yang kian mengunung adalah bagian dari dinamika kehidupan bernegara. Sudah sepatutnya pemerintah menghimpun dengan damai semua kalangan untuk membersamai menghadapi masalah ini.
Masyarakat pada umumnya, pemuda dan mahasiswa, ormas dan lain-lain. Bukan menciptakan haluan pertentangan dengan elemen bangsa. Karena hal tersebut akan menjadi bumerang dan pukulan telak bagi pemerintah, sebagaimana yang akhir-akhir ini terjadi. Para penjajah negeri ini yang bersembunyi di bawah ketiak para pejabat harus di binasakan sekaligus. Memang terkesan sulit, oleh sebab kekuatan besar yang mereka miliki. Namun tidak ada jalan musthail untuk mengalahkan kejahatan.
Pada konteks lain, ajang kebangkitan nasional hanya sebagai arena seremonial semata tanpa misi yang signifikan untuk kemajuan bangsa. Dan tidak sedikit perhelatan kebangkitan nasional di propaganda oleh oknum korporat melalui agenya untuk mengelabui masyarakat dengan angan-angan menuju kesejahteraan. Pada keadaan yang sesungguhya adalah semakin menancapnya gurita dan dominasi mereka mengisap sumber daya bangsa ini.
Untuk menciptakan kekuatan semangat besar dan persatuan memperjuangkan cita-cita bangsa, mengharuskan kesadaran yang amat mendalam terhadap persoalan bangsa ini. selebihnya upaya solusi permasalahan yanga ada harus menerpa pemikiran setiap individu dan masyarakat atau minimal para penggerak perubahan secara mengakar. Tujuanya menggariskan rel yang lurus dalam pembangunan dan jauh dari pencari kenikmatan semata. Sehingga pada moment besar selain kebangkitan nasional bukan menjadi konstelasi amatir. Tetapi penanjakan kelas kebangkitan menuju kemajuan bangsa.
*Penulis adalah Aktivis Gema Pembebasan Kota Kendari