Oleh: Aab Elkarimi*
(PANJIMAS.COM) — Semenjak gong opini pembubaran ormas radikal ditabuh, banyak spekulasi yang hadir di tengah masyarakat. Beberapa opini yang marak menjadi bahan perbincangan adalah tentang radikalisme yang akan merubah dasar negara, anti pancasila dan kebhinekaan, isu makar, hingga polarisasi kubu Nasionalis dan Islam pasca aksi 212.
Besarnya opini ini berdampak memunculkan ketegangan di masyarakat. Pembubaran gelaran rajab bertema MAPARA yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia hingga pembubaran pengajian Ust. Felix Siaw di Malang salah satu kasusnya. Akan tetapi, belum jelasnya keputusan pemerintah terkait hal ini tidak sebanding dengan banyaknya konflik di tataran grassroot yang disinyalir beberapa pihak akan menimbulkan konflik yang lebih besar.
Mengamati laju opini tentang pembubaran ormas ini, secara pribadi saya melihat ada semacam strategi memotong jalur yang dibangun untuk memepercepat tahapan pembubaran ormas. Karena jika menggunakan jalur prosedural, membutuhkan setidaknya 1,5 tahun untuk klimaks di tahap pembubaran.Kemunculandemagog yang dipacu kencang oleh sosial media telah berhasil menghasilkan sebuah opini bahwa konflik dimasyarakat telah meluas, sehingga dengan kesan terdesak pemerintah akan segera mengambil peran. Nah, yang jadi permasalahan disini adalah munculnya para demagog yang menjadi alat untuk memobilisasi opini agar kesan konflik itu tercipta.
Kejanggalan ini semakin terbaca setelah kemunculan kasus penolakan ‘training IPK 4’ atas nama aliansi mahasiswa anti HTI yang diselenggarakan di masjid kampus Unnes. Aliansi ini mencatut lebih dari 17 organisasi intra dan ekstra kampus termasuk diataranya 5 BEM Fakultas. Setelah dibentuk tim investigasi untuk menelusuri kebenaran aliansi tersebut ternyata hampir setengah dari organisasi yang dicatut adalah fiktif. Bahkan satu persatu BEM dan organisasi lainnya membuat surat pernyataan lengkap dengan cap dan tanda tangan untuk mengklarifikasi ketidakterlibatan dalam aliansi tersebut.
Dari sini terlihat semacam pengkeruhan suasana yang sengaja didesain untuk menciptakan konflik yang akan berhujung memotong jalur pembubaran ormas dengan alasan terdesak dengan keadaan genting. Lalu siapa yang dirugikan? Tentu masyarakat yang berkonflik hanya karena propaganda palsu.
*Penulis, Pemerhati Gerakan Kampus