Oleh: Dairy Sudarman*)
(PANJIMAS>COM) – Suatu hal yang ironis memang, selalu begitu terpuruknya umat Islam ketika dihadapkan kepada masalah perekonomian. Populasi boleh mayoritas, dari 270 juta penduduk, hampir 240 juta muslim. Sementara, menurut data Bank Dunia, hanya 1% dari jumlah populasi itu yang jelas non muslim hampir 50,3% menguasai perekonomian Indonesia. Lebarnya tingkat kesenjangan ini diperparah adanya suatu kenyataan bahwa 10,86% masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan , adalah masyarakat muslim.
Kesenjangan perekonomian Indonesia yang diakibatkan sistem kapitalisme liberal itu, sungguh selamanya bakal mematikan tingkat kesejahteraan umat Islam. Betapa tidak! Meski adanya 60% populasi masyarakat muslim, adalah kelas pekerja dan 20% lainnya adalah kelas menengah yang merupakan kelas terdidik (intelektual), namun secara ekonomi keduanya tetap tidak akan menyumbang redistribusi perekonomian ke masyarakat muslim sendiri, karena sifat yang konsumtif, habis terbakar dan revenue mengalir masuk kembali ke kelompok masyarakat 1% yang telah menguasai produksi, alias produsen.
Itulah kenapa sistem kapitalisme liberal sampai kapan pun tidak akan memberikan keuntungan bagi kemaslahatan umat. Sebaliknya, akan semakin memperlebar dan menambah jerat jejaring garis kemiskinan. Lantas, apa upaya umat Islam di tengah jerat ketakberdayaan secara ekonomi menghadapi sistem kapitalisme liberal yang sudah menghegemoni Indonesia?
Tidak bisa tidak! Umat Islam harus secepatnya keluar dan menarik diri dari arus deras mainstream ekonomi kapitalis liberal ini dengan melakukan upaya penyelamatan berupa membangunan agregasi ekonomi tersendiri. Terbangunnya kekuatan agregasi ekonomi Islam itu bisa diimplementasikan justru bukan berasal dari faktor-faktor produksi yang sudah tak mungkin diambil alih umat dari kalangan kapitalis itu. Melainkan, dengan memberdayakan (empowerment) kekuatan jumlah mayoritas umat dan mempersatukan tempat umat mayoritas itu untuk bersatu membangun komitmen, keyakinan, dan keimanan yang justru akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT yang Maha Pemberi Kesejahteraan dan Kemakmuran.
Jumlah mayoritas umat sudah jelas 240 juta dan tempat umat untuk bersatu membangun komitmen, keyakinan dan keimanan, tiada lain, tiada bukan, adalah baithullah, Masjid. Berapa jumlah masjid di seluruh Indonesia? Sungguh jumlahnya sangat luar biasa dan menjadi yang paling terbesar di dunia. Menurut pencatatan data Kemenag dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang diketuai Wapres Jusuf Kalla tahun 2014 masjid dan mushalla sudah berjumlah hampir 740.000. Dengan data pertumbuhan jumlah masjid dan mushalla 20% per tahun, boleh jadi tahun 2017 ini sudah mendekati angka 990.000 masjid dan mushalla. Pertanyaannya sekarang: kenapa jumlah mayoritas populasi umat dan masjid/mushala yang terbesar di dunia ini bakal menjadi kekuatan agregasi ekonomi Islam yang sangat luar biasa?
Pertama, bahwa masjid dan mushalla bisa menjadi kekuatan agregasi ekonomi Islam, meski memang belum ada lembaga yang mensurvey berapa jumlah masjid dan mushalla yang dibiayai pembangunannya oleh swadaya mandiri umat, di luar yang didanai oleh Pemerintah, katakanlah 50% dengan biaya rata-rata 1 milyar, maka biaya yang sudah terhimpun dari umat Islam untuk membangun masjid dan mushala itu sesungguhnya, adalah 500 trilyun.
Jika kemudian ada declare komitmen dari segenap umat Islam untuk membangun kekuatan agregasi ekonomi Islam sekarang ini, anggaplah sebagai share benefit sadaqah jamaah/umat merefungsionalisasi tiap masjid itu untuk memberdayakan ekonomi umat, jika meningkat menjadi 2 milyar per tahun, maka dana terhimpun dari 500.000 masjid, adalah 1.000 trilyun atau sama dengan hampir 70% dana belanja negara melalui APBN per tahun.
Kedua, ketika ada Aksi Bela Islam 212, dampaknya begitu fenomenal bagi kebersatuan umat Islam di Indonesia, meski hanya diwakili oleh sekitar 7 umat Islam yang melakukan unjuk rasa di Monas sebagai ekspresi demokrasi menyatakan kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi, banyak prakarsa yang muncul untuk memberdayakan perekonomian umat Islam ini. Salah satunya, kepeloporam lokomotif dibentuknya Koperasi Syariah 212 yang dewasa ini keanggotaan terus bertambah, hingga lebih 1.000.000. Bahkan, berbekal spirit 212, oleh Ustadz Valentino Dissi telah didirikan Majelis Ta`lim Wirausaha (MTW) bertekad Indonesia memiliki 20 juta usaha berbasis masjid ini. Grand Design sudah memiliki peta jalan hingga 2030 di mana targetnya, antara lain, Indonesia memiliki 20 juta usaha level UMKM di 100 ribu masjid, 2000 korporasi menengah dengan asset tiap korporasi Rp. 5 trilyun dan 100 korporasi konglomerat dengan aset di atas Rp. 30 trilyun yang mengelola 10 jenis industri.
Menurut penulis, akselerasi ini dapat dipercepat tidak harus menunggu 2030 dan diperbesar eskalasi ekonomi penghimpunan dana umatnya, bilamana terbentuk adanya komitmen, keyakinan dan keimanan bahwa target untuk membangun kekuatan agregasi ekonomi Islam secara tersendiri di Indonesia, adalah suatu keniscayaan yang sungguh akan diridloi dan mendapat pertolongan Allah SWT. Langkah awal, sebagai bentuk kebijakan strategis, diperlukan terbentuknya Dewan Ekonomi Islam Indonesia (DEII), sebagai institusi independen yang dibentuk dan dibiayai oleh umat Islam sendiri, anggotanya sudah pasti para pakar ekonomi Islam di Indonesia.
Prioritas fungsi DEII nanti yang utama, adalah mempersatukan seluruh masjid di Indonesia menjadi rumah persatuan umat dalam kontestasi untuk memberdayakan perekonomian umat Islam. Dan membentuk masjid sebagai rumah persatuan umat Islam semakin niscaya dewasa ini seiring era kemajuan digitalisasi komunikasi yang hanya dalam hitungan detik akan menghubungkan seluruh masjid dan mushalla di Indonesia.
Di sini melalui pendekatan spirit religiusitas, kultural dan sosiologis untuk kebersamaan membangun umat, Insya Allah akan memarginalkan kepentingan pendekatan yang bersifat strukturalisme pada aliran dan organisasi yang dalam kurun sejarah perkembangan Islam di Indonesia telah memunculkan hilafiah yang hanya mengakibatkan umat terkotak-kotak dan terpecah belah.
Setelah itu, masjid kemudian berfungsi sebagai tempat penyaluran dan penghimpunan dana umat sebagaimana telah ditetapkan sesuai syariat hukum Islam. Di sini kemudian pada akhir muaranya diperlukan kehadiran institusi Bank Islam Indonesia, yang hingga 72 usia kemerdekaan kiprah membangun bangsa umat Islam pun tidak pernah memilikinya.
Dengan kehadiran dan dimilikinya oleh umat Bank Islam Indonesia di mana dananya, adalah hasil share and saving seluruh umat melalui masjid, empowerment and trustment economical scale yang nanti terbentuk akan memperkuat bargaining position Bank Islam Indonesia untuk mensinergikan pengelolaan perekonomian bersatu dan bersama dengan bank-bank syariah Islam yang sudah ada di Indonesia maupun dengan bank-bank Islam yang telah dimiliki oleh negara-negara Islam yang telah maju sebelumnya.
Dari sinilah kemudian kita membuka harapan bak fajar yang terang benderang untuk memajukan secara bersama dan merata kesejahteraan umat, termasuk menyingkirkan sebagian masyarakat muslim yang masih di bawah garis kemiskinan itu.
* Dairy Sudarman, adalah pemerhati Islam. Tinggal di Jakarta Timur