Komunis (PKI) di Indonesia di Atas Angin
Oleh Dairy Sudarman *)
PANJIMAS.COM – Dewasa ini di Indonesia ada 3 mainstream kelompok masyarakat dengan idiologi besar: nasionalis, Islam dan komunis. Seperti ditulis oleh Ir. Soekarno dengan istilah nasakom, 72 tahun telah terpolarisasi, setelah melewati orde pembangunan bangsa dari Orde Baru hingga Orde Reformasi kini. Dan dalam diafragma kancah politik kebangsaan, sepertinya antara kelompok nasionalis dan komunis telah terbentuk arsiran. Sementara, kelompok masyarakat Islam tetap teguh dan tegak menentangnya bahwa apapun komunisme (PKI) itu terlarang eksistensinya.
Indikasi terarsirkan antara kelompok nasionalis dan komunis: pertama, tampak di permukaan ketika boleh jadi setelah PDIP menjadi partai berkuasa. Karena trah sejarah nasakom pencetusnya, adalah mendiang ayahanda Megawati Soekarnoputri, meski secara institusi politik terlarang, massa PKI yang telah teregenerasikan secara interpersonal dan menurut data ada 15 juta jiwa, menjadi induk semang perlindungan dan penampungan berpijak politiknya.
Terbukti, di beberapa tahun belakangan ini, PDIP yang semula berjati diri dan berkarakter nasionalis, mulai bergeser dengan stylish PKI. Ini tampak ketika PDIP memenangkan Jokowi sebagai Presiden. PDIP mirip menjadi lembaga Politbiro Partai Komunis di China maupun Rusia, di mana Ketua Politbiro partai sangat berkuasa dan tak lebih Jokowi yang telah diangkat menjadi Presiden hanyalah petugas partai saja.
Disadari atau tidak, stylish PKI itu semakin jelas, ketika pidato Megawati Soekarnoputri pada Ulang Tahun PDIP ke 70 pun, seolah luput dari keislaman sebagai agama yang dianutnya secara personal, Megawati berbicara seperti tidak percaya adanya takdir (qadar) tentang kehidupan akhirat (alam baqa) di masa depan, sebagaimana yang diimani oleh penganut Islam. Inilah pula kemudian yang menyulut ketersinggungan besar umat muslim di Indonesia.
Getah bertulah dari stylish PDIP ini kemudian tertular pula dampaknya bak karambol. Kedua, isu kebangkitan PKI itu sangat deras mengalir di gelaran Pilkada Jakarta terkait kasus reklamasi Teluk Jakarta.
Reklamasi Teluk Jakarta dikuatirkan sebagai Grand Design eksodus besar-besaran warga negara kaya RRC yang boleh jadi diprediksi dalam jangka satu dekade, baik secara populasi maupun ekonomi, menjadi raksasa yang akan menguasai Jakarta sebagai ibu kota dan pusat ekonomi Indonesia. Ahok, kebetulan berparas Tionghoa, non muslim dan petahana Gubernur diusung PDIP yang paling ngotot membentengi proyek reklamasi, layaknya menjadi penjaga pintu masuk komunisme di Indonesia.
Ketiga, arah kebijakan ekonomi Presiden Jokowi yang terlalu berkiblat atau outward looking ke RRC yang dewasa ini memang telah menjadi raksasa ekonomi dunia menggeser Amerika Serikat, Eropa dan Jepang.
Deras masuknya dana investasi infrastruktur dan teknologi yang relatif jauh lebih murah dari RRC, ternyata telah membawa ekses dan signal yang negatif di kehidupan aspek sosialnya, seperti: ekses ketersingkiran tenaga kerja asli Indonesia akibat eksodus tenaga kerja RRC yang datang bersamaan dengan investasinya; semakin matinya produk dalam negeri yang kalah bersaing dengan serbuan produk RRC yang berharga lebih murah salah satunya produk teknologi komunikasi digital, seperti HP, laptop, tablet,dsb; dan ini hal yang sangat paling mengerikan: serbuan narkoba murah dari RRC, semuanya bisa menghancurkan sendi-sendi perekonomian, pendidikan dan kebudayaan Indonesia.
Oleh karena itu, jika arsiran antara kelompok nasionalis dan komunisme semakin besar, di mana PDIP telah memberi ruang, kebangkitan komunis (PKI) di Indonesia semakin menjadi di atas angin. Terlebih, bila dendam politik PKI dalam sejarah pemusnahan ini masih menghantui para pengikutnya kini, ambisi PKI yang dahulu nyaris berkuasa akankah terulang? Kemudian termanifestasikan di mana Indonesia tengah memasuki pematangan Orde Reformasi yang ditandai kebebasan politik demokrasi?
Dalam konteks ini seharusnya PDIP pun segera berkaca diri, jika eksistensinya mau dianggap masih mumpuni sebagai partai berkuasa menjelang gelaran Pilpres 2019. Indikasi menurunnya tingkat elektabiltas masyarakat terhadap PDIP dapat dilihat dari hasil pilkada serentak 2016 lalu. Ambiguitas politik PDIP di satu pihak selalu mengumandangkan pedoman empat pilar kehidupan berbangsa berdasar Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, di lain pihak yang secara hukum politik telah jelas-jelas melanggar azas dan prinsip konstitusional Pancasila dan UUD 1945, PDIP tengah tidak menyadari justru menjadi tempat bernaung kelompok masyarakat yang tak mengenal berketuhanan, komunis (PKI).
Maka, sangatlah wajar jika kemudian kini muncul kelompok masyarakat Islam, sebagai interuptor politik menghadapi keecenderungan sikap ambiguitas politik akibat arsiran ini. Beberapa ormas Islam yang diprakarsai FPI, FUI, dan ormas-ormas lainnya mengingatkan akan bahaya kebangkitan PKI ini. Jelas, Islam tak akan mentolelir dan kompromi dengan eksistensi PKI sampai kapan pun karena sangat bertentangan dengan prinsip ajarannya yang telah meniadakan Tuhan.
Ironisnya, kemunculan pergerakan ormas-ormas Islam melakukan peringatan dengan demo-demo masif terlanjur dicurigai oleh Polri dan TNI yang notabene sebagai alat negara Penguasa, sebagai tindakan makar dengan tuduhan ingin mendirikan NKRI bersyariah Islam. Padahal, jika kelompok masyarakat Islam ini berkehendak mendirikannya sudah pasti memungkinkan mengingat NKRI 90% mayoritas berpenduduk beragama Islam dan tidak bertentangan dengan prinsip dan pedoman 4 pilar perikehidupan kebangsaan tadi bukan?
*) Dairy Sudarman, adalah pemerhati sosial politik dan Islam. Tinggal di Jakarta Timur.