Presiden yang Jawa dan Sri Mulyani
Oleh Edy Mulyadi
PANJIMAS.COM – Presiden Jokowi adalah orang Jawa. Itu 100% clear. Rasanya, tidak seorang pun di Republik ini yang tidak tahu soal ini.
Sebagai orang Jawa, tentu saja Jokowi pun mengenggam budaya Jawa. Budaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan sehari hari. Budaya Jawa yang menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan.
Sampai titik ini, juga clear! Tapi rasanya menjadi aneh ketika media menulis judul berita, Jokowi: Saya Minta Target Ekonomi 5,3%, Menkeu Tak Berani. Ada apa gerangan?
Berita itu juga menulis Presiden Jokowi mengaku tetap optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah kondisi ekonomi global yang sulit. Karena itu, dia yakin ekonomi Indonesia pada tahun ini bisa tumbuh hingga 5,3%. Namun, optimisme Presiden itu tidak sejalan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani...
Kalau tidak keliru, baru kali ini Presiden yang orang Jawa itu menyebut secara terbuka nama menteri yang berbeda sikap dan pendapat dengannya. Dalam sejarah pemerintahannya yang sekitar tiga tahun, Jokowi memang berkali-kali menegur menterinya yang dianggap kurang pas. Tapi, teguran biasanya disampaikan secara internal di rapat-rapat Kabinet.
Kalua pun teguran sempat nyelonong ke ruang publik lewat media, tetap saja Jokowi tidak menyebut nama menteri yang dimaksud. Silakan buka arsip lama, adakah berita Presiden secara eksplisit menyebut nama menterinya yang kena tegur? Tidak ada, kan?
Ketika Menteri Pendayagunaan Apatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Yuddy Chrisnandi mengumumkan kinerja kementerian dan lembaga ke publik, terjadi kehebohan luar biasa. Banyak kalangan yang berang dan menuding Yuddy over acting serta melampaui wewenangnya.
Setelah gaduh beberapa saat, Jokowi pun akhinya angkat bicara. “Yang menilai kinerja menteri adalah Presiden. Itu prinsip,” ujarnya.
Kendati begitu, Presiden menolak menjawab saat ditanya apakah akan memberikan teguran atas tindakan Menteri Yuddy Chrisnandi yang telah melangkahinya tersebut. Dia hanya menyatakan bahwa semua menteri diminta untuk kembali bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.
Pada kasus ini juga clear, bahwa Jokowi sama sekali tidak menyebut nama Yuddy secara spesifik. Bahkan Presiden terkesan menghindar dengan mengatakan semua menteri diminta untuk kembali bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.
Makanya menjadi aneh saat Presiden menyebut Menteri Keuangan secara langsung sebagai orang yang tidak pas dengan keinginannya. Coba simak ucapan Presiden ini: Saya Minta Target Ekonomi 5,3%, Menkeu Tak BerSri. Lugas, tanpa tedeng aling-aling. Sementara Menkeu hanya sanggup 5,1%.
Sudah keterlaluan
Konstitusi jelas-jelas menyebut menteri adalah pembantu Presiden. Dalam kabinet Jokowi, bahkan secara tegas dikatakan, menteri dilarang punya visi dan misi sendiri. Menteri hanya boleh menjabarkan visi dan misi Presiden dalam program-program mereka. Nah, kalau Menkeu Sri Mulyani berbeda sikap dan keinginan dengan Presiden tentu tidak elok. Lebih tidak elok lagi, karena Jokowi telah menyebutnya di depan publik secara eksplisit.
Mengacu pada budaya Jawa tadi, publik memahami teguran eksplisit Jokowi terhadap Menkeu secara terbuka sebagai suatu hal yang sudah keterlaluan. Hampir bisa dipastikan, Presiden sudah pernah (berkali-kali) menegur Sri di rapat-rapat kebinet. Namun karena yang bersangkutan ndableg, akhirnya Presiden ‘curhat’ kepada publik.
Dari sisi pemahaman tentang ekonomi, tentu saja Jokowi kalah (jauh) dibandingkan Sri. Sosok yang disebut belakangan ini sudah kadung dianggap sebagai ekonom yang mumpuni. Apalagi dia menyabet berbagai penghargaan dan pengakuan dari dalam dan luar negeri.
Pada konteks ini, bisa saja sebagian orang mengatakan, tentu Sri yang lebih benar. Hitung-hitungannya untuk perkiraan pertumbuhan ekonomi lebih pas ketimbang Jokowi. So, ya Presiden nurut aja, lah…
Tapi, Presiden ternyata bukan asal bicara. Dia punya referensi dari sejumlah lembaga top. Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia, misalnya, kompak memprediksi ekonomi Indonesia tahun ini tumbuh 5,3%. Lembaga think tank lokal, INDEF bahkan mematok 5,5%. Sedangkan BI mematok di angka 5,4%.
Nah, kalau Jokowi berharap ekonomi kita tumbuh 5,3% tentu ini angka yang wajar dan moderat. Dan, yang lebih penting lagi, angkanya bukan diperolehnya dengan memetik dari langit. Tapi herannya, kok Menkeu tetap ngotot cuma sanggup 5,1% ya?
Bisik-bisik dari lingkaran Istana menyebutkan, Jokowi memang akhirnya tahu kapasitas dan kemampuan tim ekonominya. Menko Darmin dan Menkeu Sri dianggap tidak mampu. Mereka hanya hebat di media. Media massa lah yang selama ini memoles keduanya, sehingga seolah-olah ekonom jempolan dengan kemampuan menyelesaikan masalah-masalah ekonomi.
Namun setelah berjalan sekian lama, kemampuan keduanya ternyata tidak segemerlap yang dicitrakan. Itulah sebabnya Jokowi kecewa. Konon, Presiden bahkan sering curhat soal keduanya kepada kawan-kawan dekatnya.
Polesan citra
Sejatinya, kehebatan Sri hanyalah untuk mencari utangan. Tapi, suksesnya dalam menggaet pinjaman ternyata lebih banyak disebabkan iming-iming bunga yang disorongkannya luar biasa menarik, bunganya supertinggi.
Pada 2008, Indonesia menerbitkan global bond di New York sebesar US$2 miliar dengan tenor 10 tahun. Bunga yang diberikan 6,95%. Ini bunga obligasi negara tertinggi yang diberikan oleh negara ASEAN. Sebagai perbandingan, suku bunga global bond yang diterbitkan Malaysia waktu itu cuma 3,86%, Thailand 4,8%. Bahkan Filipina, yang selama ini dikenal sebagai The Sick Man in Asia, bunganya hanya 6,51%.
Yang lebih hebat lagi, pada 2009, untuk menambal defisit APBN, Sri kembali menerbitkan global bond senilai US$3 miliar. Global bond itu terbagi dua; US$2 miliar berjangka waktu 10 tahun dengan bunga 11,75% dan US$1 miliar berjangka waktu lima tahun berbunga 10,5%.
Pada saat yang sama, Filipina menangguk dana dari pasar internasional sebesar US$1,5 miliar dengan bunga hanya 8,5% saja! Bunga obligasi Indonesia cuma kalah dari Pakistan, negara yang kerap diguncang ledakan bom, yang 12,5%.
Penjualan obligasi dengan bunga supertinggi itu tentu saja laris-manis. Investor asing giat memburu obligasi Indonesia. Menurut data Asia Bond Online yang dirilis Asian Development Bank (ADB), Indonesia tertinggi dalam hal komposisi dana asing dalam bentuk obligasi di ASEAN. Akaibatnya, saat itu aliran dana asing yang masuk ke Indonesia mencapai 29,65%.
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan malah lebih mengerikan lagi. Sampai pertengahan Maret 2013 saat Sri menjadi Menkeu, porsi asing di pasar surat berharga negara (SBN) telah mencapai Rp285 triliun atau 33% dari total SBN senilai Rp854 triliun. Gampang ditebak, terus menggelembungnya komposisi asing dalam penguasaan obligasi Indonesia adalah karena bunga yang ditawarkan memang amat menggiurkan.
Bunga obligasi yang supertinggi itu jelas sangat merugikan negara. Bunganya pasti membebani APBN. Ia juga memaksa korporasi Indonesia membayar bunga obligasi yang lebih tinggi lagi karena obligasi negara merupakan benchmark.
Melihat rekam jejak Sri (dan juga Menko Perekonoimian Darmin Nasution), tampak jelas mereka sudah teramat lama terjebak pada school of thinking. Apa-apa yang tidak diterima dari sekolahan (Barkeley dan para gengnya), pasti bakal ditolak. Mereka adalah para pejuang dan penganut mazhab neolib yang gigih dan pantang menyerah! Karenanya tidak ada terobosan kebijakan yang mereka hasilkan, yang mampu mem-booster pertumbuhan ekonomi.
Kembali ke soal curhat tadi, ada baiknya Jokowi segera sadar diri, bahwa dia adalah seorang Presiden. Presiden dari negara berdaulat bernama Republik Indonesia. Presiden yang berdasarkan konstitusi punya hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan para menteri.
Tugas Presiden adalah memimpin, bukan mengeluh apalagi curhat di hadapan publik. Bila memang menghendaki ekonomi Indonesia terbang lebih tinggi, ya harus berani mengambil tindakan yang diperlukan. Walau untuk itu, mengganti tim ekonomi yang terbukti berkinerja di bawah banderol, misalnya. (*)
Jakarta, 27 Maret 2017
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)