Oleh: Edy Mulyadi*
(Panjimas.com) – “Gus Dur mau menyerahkan cap Garuda Indonesia kepada siapa? Saya atau Widjojo? Kalau mau diserahkan kepada orang lain, silakan. Tapi saya mundur dari jabatan Menko Perekonomian,” kata Rizal Ramli dengan nada datar, tapi tegas.
Kutipan dialog itu terjadi saat Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur minta Rizal Ramli mengikutsertakan Widjojo Nitisastro dalam rombongan delegasi Indonesia ke sidang Consultative Group for Indonesia (CGI), di Tokyo, Jepang, 17-18 Oktober 2000. Sesuai namanya, misi Delegasi RI adalah mencari utang baru ke negara-negara maju yang tergabung dalam CGI dalam untuk membiayai APBN yang masih banyak bolong.
Bukan tanpa alasan kalau Gus Dur menghendaki Widjojo ikut dalam rombongan. Banyak yang menakut-nakutinya, bahwa tanpa Widjojo, Indonesia bakal gagal memperoleh komitmen utang luar negeri baru. Selama belasan bahkan puluhan tahun, Delegasi Indonesia ke perundingan-perundingan internasional seperti itu memang selalu dipimpin Widjojo. Seolah-olah, arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru itu menjadi ‘jaminan mutu’ suksesnya Indonesia mendulang utang.
Tapi, sepertinya Menko pilihan Gus Dur itu punya rencana lain. Dia ingin mengakhiri mitos kehebatan Mafia Barkeley. Itulah sebabnya, lelaki yang akrab disapa RR itu bisa dengan tagas mengatakan, “pilih saya atau Widjojo!” Padahal Gus Dur hanya minta dia melibatkan Widjojo, bukan menjadi ketua Delegasi Indonesia.
Akhirnya, tim Indonesia berangkat ke Tokyo tanpa Widjojo. Media mainstream yang selama ini menjadi antek kaum neolib pun ramai mem-bully. Bak irama koor, mereka ramai-ramai ‘meramal’ bahwa Indonesia bakal gatot alias gagal total. Tim Indonesia akan pulang dengan hasil mengecewakan, dan seterusnya dan seterusnya. Maklum, yang memimpin delegasi adalah Menko Perekonomian Rizal Ramli, yang baru seumur jagung duduk di pemerintahan, dan tanpa Widjojo pula!
Tapi takdir berkata lain. Tim ekonomi yang dipimpin RR sukses mendapat komitmen utang luar negeri baru sebesar US$4,8 miliar. Ini adalah jumlah terbesar yang pernah diraih Indonesia. Bukan hanya itu, mereka juga berjaya mengantongi hibah sebesar US$500 juta lebih. Sesuatu yang belum pernah dicapai sebelumnya.
***
Kamis siang, 2 Maret silam, tiba-tiba saja Presiden Joko Widodo membuat kejutan. Dalam rapat terbatas (Ratas) kabinet bidang ekonomi, Jokowi menunjuk Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan sebagai ketua Tim Sidang tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, Oktober tahun depan.
Asal tahu saja, sidang ini akan dihadiri sekitar 1.500 peserta. Mereka terdiri atas para menteri keuangan, gubernur bank sentral, ekonom, pengusaha top, dan aktivis dari berbagai negara. Biasanya (dan seharusnya), acara seperti ini dipimpin langsung oleh menteri bidang ekonomi atau menteri keuangan.
Pertanyaannya, bukankah seharusnya ketua Tim Indonesia untuk sidang tahunan bergengsi itu dipimpin seorang menko perekonomian atau menteri keuangan? Bukankah kita punya Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan yang selama ini dianggap sebagai ekonom mumpuni?
Tapi mengapa Jokowi menyerahkan kepemimpinan sidang tahunan IMF-Bank Dunia itu ke Luhut? Siapa pun paham benar, bahwa sidang ini adalah domain menteri ekonomi. Lagi pula, maaf, Luhut sama sekali bukanlah orang yang tepat. Dia tidak paham ekonomi makro. Luhut ‘hanyalah’ seorang pensiunan jenderal yang sukses menjadi penguasaha dengan gurita bisnis yang ‘menakjubkan’.
Saya pernah mendengar dari seorang teman yang menjadi dirut BUMN lumayan besar dan strategis, betapa tidak pahamnya Luhut terhadap soal-soal ekonomi. Suatu ketika si Dirut ini dipanggil Luhut. Dia diminta menjelaskan ke arah mana dan bagaimana akan mengembangkan perusahaan yang dinakhodainya ke depan. Baru beberapa menit menyampaikan ‘presentasinya’, Luhut sudah memotong.
“Sudahlah, tak usah panjang lebar. Pusing aku mendengar kau bicara soal angka-angka dan istilah-istilah itu. Yang penting buat aku, berapa laba yang kau akan hasilkan? Berapa yang bisa kau setorkan untuk APBN?” kilah Luhut dengan logat Bataknya yang kental, sebagaimana ditirukan si Dirut tadi.
So, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa Luhut yang memimpin sidang tahunan IMF-Bank Dunia? Mengapa bukan Menko Perekonomian Darmin Nasution? Atau, kenapa bukan Menteri Keuangan Sri Mulyani? Katanya mereka berdua adalah orang hebat?
Buat mereka yang ‘melek’ kondisi Indonesia, keputusan Jokowi tersebut tentu bukan hal biasa. Tapi tidak terlalu sulit memahami peristiwa ini. Telusuri saja pernyataan-pernyataan Presiden sebelum ini terkait perekonomian kita.
Pendek saja jawabnya. Jokowi kecewa! Keduanya dinilai gagal membantu presiden. Ekonomi yang telanjur dijanjikan meroket sejak September tahun lalu tidak kunjung mewujud. Pembangunan infrastruktur untuk memperbaiki kualitas konektivitas yang diharapkan, meleset. Tahun lalu, ekonomi kita hanya tumbuh 5,02%, lebih rendah dibandingkan 5,56% pada 2013. Bahkan, saking pas-pasannya kinerja mereka, target ekonomi yang dipatok tahun ini pun hanya 5,1%. Baru setelah dalam sidang kabinet Presiden ‘marah’, buru-buru target didongkrak jadi 5,7%.
Sejatinya, bisik-bisik di kalangan Istana sudah merebak sejak beberapa bulan silam. Jokowi kecewa berat dengan duet Darmin dan Sri. Paket-paket ekonomi berseri yang diluncurkan Darmin, berhenti di atas kertas. Kalau ‘akan’ sukses, hal itu baru bisa dinikmati dalam jangka panjang.
Dari beragam konten paket ekonomi yang diluncurkan, program revaluasi aset dinilai berhasil mengatrol aset BUMN naik Rp800 triliun lebih. Pajak yang diterima negara dari program ini sekitar Rp32 triliun. Tapi untuk soal ini, Rizal Ramli yang saat itu jadi Menko Maritim adalah sosok penggagasnya. Bukan Darmin.
Ibarat konsumen, Presiden selama ini menjadi korban iklan. Di media mainstream, keduanya –khususnya Sri– disanjung-sanjung sebagai ekonom jempolan. Itulah sebabnya, sebagai orang korban iklan, Jokowi berharap banyak kepada keduanya untuk membenahi sengkarut perekonomian negeri.
Tapi apa hendak dikata, maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Maksud hati membuat ekonomi meroket, apa daya malah jadi kuntet. Mau terus begini?
Ngomong-ngomong, saya kok jadi ingin membandingkan penunjukan Luhut sebagai ketua sidang tahunan IMF-Bank Dunia dengan dialog RR-Gus Dur ya? Kalau dulu, Rizal Ramli bisa mengatakan “pilih saya atau Widjojo,” akankah hal serupa bakal diucapkan Darmin dan atau Sri? Ehmm… (*)
Edy Mulyadi
*Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)