Persatuan Khilafiyah 212, Buya Hamka dan Imam Syafi’i
Oleh Syahrul Barkah
PANJIMAS.COM – Jutaan Umat Islam di Indonesia berbondong-bondong datang hadir memenuhi seruan ulama-ulamanya dalam Aksi Bela Islam Jilid III pada Jum’at, 2 Desember 2016 di Monas untuk menuntut keadilan atas tindakan penistaan Al-Qur’an dan penghinaan ulama oleh Ahok. Semua berkumpul seraya memanjatkan do’a dan Sholat Jum’at berjama’ah terbesar sepanjang sejarah bumi ini ada. Pujian diberikan negara-negara lain untuk Indonesia.
Satu hal yang unik dalam peristiwa bersejarah tersebut, Umat Islam Indonesia yang hadir “dipaksa” mengesampingkan khilafiyahnya (perbedaannya) dalam teknis pelaksanaan Shalat Jum’at. Seperti kita ketahui, dua ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah berbeda dalam teknis adzan pada Shalat Jum’at.
Dalam Shalat Jum’at pada 212 tersebut, terjadi penggabungan khilafiyah yang selama ini ada. Adzan dilakukan dua kali yang merupakan ciri khas NU dan setelah shalat, Imam tidak mengkomando untuk membaca Al-Fatihah dan dzikir yang merupakan ciri khas Muhammadiyah, serta ditambah membacakan Qunut Nazilah yang syahdu dipimpin imam. Persatuan khilafiyah benar-benar nyata dan bisa.
Jauh sebelum 212, sebenarnya pernah terjadi persatuan khilafiyah tersebut sudah pernah dicontohkan dua ulama besar dua ormas Islam tersebut. Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta menjadi saksi sejarah tersebut antara Buya Hamka dan KH Abdullah Syafi’i.
Saat Jum’at pagi, KH Abdullah Syafi’i pendiri Perguruan Islam Asy-Syafi’iyah bertandang ke Masjid Al-Azhar dan diterima oleh Buya Hamka. Masjid Al-Azhar yang terbiasa dalam pelaksanaan Shalat Jum’at mengumandangkan adzan satu kali, akhirnya dikumandangkan dua kali.
“Saya meminta Tuan Guru menjadi Khotib Jum’at. Khusus untuk Sholat Jum’at ini karena Tuan Guru yang khutbah, adzannya dua kali untuk menghormati Kiyai,” kata Buya Hamka ke KH Abdullah Syaf’i.
Masih sejarah tentang Buya Hamka. Saat itu jama’ah haji asal Indonesia jika pulang dan pergi ke tanah suci masih menggunakan moda transportasi kapal laut. Berminggu-minggu bersama di tengah lautan dan pastinya selalu shalat lima waktu berjama’ah. Di kapal laut tersebut ada dua ulama besar Buya Hamka (Muhammadiyah) dan KH Idham Chalid (Mantan Ketua PBNU) yang kini kita bisa lihat fotonya di uang pecahan Rp 5000,- berserta jama’ah warga NU dan Muhammadiyah.
Bagaimana Shalat Shubuhnya? Menggunakan qunut atau tidak? Atau shalatnya bergiliran jama’ah yang qunut terpisah dengan yang tidak qunut?
Buya Hamka mengeluarkan ide brilian. Shalat Subuh berjama’ah dilakukan seluruh warga dua Ormas Islam tersebut dengan cara imam yang bergantian setiap harinya. Jika Imamnya Buya Hamka tidak qunut, yaitu teknisnya setelah i’tidal Imam memperpanjang tuma’ninahnya (berdiam diri sejenak) untuk memberikan kesempatan pada jama’ah warga NU yang menjadi ma’mum untuk membaca qunut. Sedangkan jika KH Idham Chalid menjadi imam, maka dilakukan qunut dan untuk warga Muhammadiyah memperpanjang tuma’ninahnya dengan sikap tetap berdiri i’tidal.
Jauh sebelum itu, Imam Madzhab Asy-Syafi’i telah mencontohkan toleransi dalam khilafiyah. Saat itu Imam Syafi’i berguru kepada murid Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) yaitu Imam Muhammad bin Hasan As-Saibani di Kufah, Iraq. Semua murid menghormatinya dengan mencium tangannya yang sangat mengakui beliau adalah ulama besar.
Saat akan Shalat Subuh berjama’ah di Masjid yang seluruhnya bermazhab Hanafiyah dan memiliki ciri khas tidak qunut, murid Imam Abu Hanifah tidak ada yang mau menjadi imam shalat. Mereka mendaulat Imam Syafi’i untuk menjadi imam shalat untuk menghormati ketinggian ilmu beliau. Shalat Subuh berjalan dan Imam Syafi’i tidak menggunakan qunut.
Murid Imam Abu Hanifah bertanya, “Ya Syeikh, mengapa engkau tidak menggunakan qunut? Bukankah anda terbiasa qunut shubuh? Imam Syafi’i menjawab, “Qunut dalam sholat Subuh menurutku sunnah muakkadah, bukan rukun (wajib). Tapi saya sedang Shalat Shubuh di masjid yang mulia ini yang dulu dimakmurkan oleh Imam Abu Hanifah guru kalian yang luar biasa ilmunya. Saya juga merupakan cucu muridnya beliau. Bagaimana mungkin saya tidak menghormati madzhab beliau? Saya harus menghormati madzhabnya dan menghargai pendapatnya tidak melakukan qunut Shubuh, maka saya mengimami kalian tidak memakai qunut Shubuh”.
Dari berbagai sejarah persatuan khilafiyah yang dilakukan ulama-ulama besar dunia di atas, sudah seharusnya kita juga menerapkannya dalam ibadah jika kita menemukan kasus-kasus tersebut. Perbedaan (khilafiyah) boleh saja, tapi perpecahan sangat tidak dibolehkan. Begitu juga dalam bermuamalah dan interaksi dengan saudara yang berbeda ormas Islam.
Ayo Umat Islam di Indonesia, apapun ormas Islammu, apapun madzhab fiqihmu, kita bersatu demi persatuan Umat Islam yang kokoh bahu membahu menjaga negeri ini! [AW]