PANJIMAS.COM – Abdullah bin Ummi Maktum Radhiyallahu ‘anhu adalah shahabat Nabi Muhammad saw yang diberi ‘kelebihan’ oleh Allah Ta’ala sebagai seorang tuna netra. Ia seorang Quraisy dan saudara sepupu Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu ‘anha.
Bapaknya bernama Qais bin Zaid, dan ibunya Atikah binti Abdullah. Karena melahirkan bayi yang buta, orang menggelarinya “ummi maktum”.
Abdullah bin Ummi Maktum Radhiyallahu ‘anhu termasuk golongan shahabat yang masuk Islam di urutan depan (sabiqunal awalun). Meski sejak lahir kedua matanya tak dapat melihat, ia sangat bersemangat memelajari Islam.
Sebagai sabiqunal awalun, Abdullah bin Ummi Maktum Radhiyallahu ‘anhu turut mencecap letihnya perjuangan dakwah Islam di Makkah di masa permulaan. Penganiayaan mental maupun fisik oleh kaum kafir Quraisy, tak luput menimpa dirinya. Namun semua itu tak menjadikannya layu dan melemah. Sebaliknya, malah menempa imannya menjadi keras membaja.
Keteguhan hati dan semangat Abdullah untuk mendalami Islam tampak pada seringnya ia hadir di majelis Rasulullah saw dan rajinnya dalam menghafalkan Al-Qur’an. Waktu luang bagi Abdullah adalah menimba ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Di masa-masa itu (awal dakwah Islam), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sering mengadakan dialog dengan para pembesar Quraisy. Alkisah pada suatu hari beliau berdiskusi dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, ‘Amr bin Hisyam (Abu Jahal), Umayyah bin Khalaf, dan Walid bin Mughirah. Begitulah upaya beliau agar penganiayaan terhadap para sahabat dihentikan dan mereka memeroleh hidayah untuk masuk Islam.
Di saat pembicaraan sangat serius berlangsung, tetiba Abdullah bin Ummi Maktum Radhiyallahu ‘anhu datang meminta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membacakan kepadanya ayat-ayat al-Qur’an.
“Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada engkau…” pinta Abdullah.
Karena sedang dalam pembicaraan serius, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kurang memedulikan. Bahkan beliau membelakangi Abdullah dan terus berdiskusi dengan tokoh-tokoh Quraisy di depannya. Beliau berpikir, jika mereka masuk Islam, secara logika masyarakat luas akan berbondong-bondong ikut di belakangnya. Jika para pembesar Quraisy sudah menjadi mukmin, secara logika tentu dakwah akan semakin lancar dan Islam akan segera luas tersebar, karena ganjalan-ganjalan dakwah berubah menjadi penopang-penopangnya.
Usai berdiskusi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam akan segera beranjak pulang. Akan tetapi, entah mengapa tetiba penglihatan beliau menjadi gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti baru saja terkena pukulan. Pada saat itu, Jibril datang menyampaikan wahyu dari Allah Ta’ala,
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran itu suatu peringatan. Maka siapa yang menghendaki, tentulah ia memperbaikinya. (Ajaran-ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (Abasa: 1-16).
Sejak saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah enggan menyediakan waktunya untuk Abdullah bin Ummi Maktum. Beliau sangat memuliakan shahabat tuna netra itu. Setiap kali ia datang, dipersilakannya duduk, beliau tanyakan kabarnya, dan beliau layani keperluannya.
Setelah Allah Ta’ala menurunkan perintah hijrah, Abdullah bin Ummi Maktum bergegas meninggalkan tanah tumpah darahnya sebagai wujud ketaatannya kepada Allah Ta’ala, demi menyelamatkan imannya. Dia berangkat bersama-sama Mush’ab bin Umair dan para shahabat lain yang tiba di Yatsrib paling awal. Sesampainya di kota tersebut, Abdullah dan Mush’ab melakukan kerja dakwah kepada penduduknya.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tiba di Yatsrib, beliau mengangkat Abdullah bin Ummu Maktum dan Bilal bin Rabah Radhiyallahu ‘anhu menjadi muadzin shalat lima waktu. Mereka berdua berbagi tugas. Jika Bilal adzan, Abdullah yang iqamah, dan sebaliknya. Di bulan Ramadhan, tugas mereka bertambah. Bilal adzan di sepertiga malam terakhir, membangunkan kaum muslimin untuk sahur, dan Abdullah yang adzan subuh.
Tak hanya dakwah dan adzan tugas Abdullah bin Ummi Maktum. Walau matanya tak dapat melihat, namun keamanahan dan kemampuannya dalam memimpin diakui oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka itu, sebanyak 17 kali beliau mengangkatnya menjadi Wali Kota Madinah (sebelumnya bernama Yatsrib), mewakili beliau saat bepergian.
Dari ketujuh belas kali itu, satu di antaranya adalah saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pergi berjihad untuk membebaskan kota Makkah dari kungkungan kaum kafir Quraisy. Sepulangnya, Allah Ta’ala menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi pengangkatan derajat kaum Muslim yang berjihad (berperang) fi sabilillah. Allah menyatakan telah melebihkan derajat mereka di atas orang-orang yang tidak turut berjihad. Dia juga menyatakan kehinaan orang yang tidak berjihad karena malas, cinta dunia, dan takut kematian.
Mendengar ayat-ayat itu, hati Abdullah bin Ummi Maktum sangat tersentuh. Maksud hati ingin sekali ia ikut terjun ke medan jihad. Tapi apa daya, kondisi fisiknya tak memungkinkan untuk melaksanakannya. Ia pun bercurah hati kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, seandainya aku tidak buta, tentu aku pergi berperang.”
Ia juga berdoa, memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menurunkan ayat yang dapat menjadi penyembuh gundah hatinya.
“Ya Allah, turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang uzur seperti aku!”
Tak berselang lama, Allah Ta’ala mengabulkan doanya. Zaid bin Tsabit ra, juru tulis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, berkisah:
Aku duduk di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tetiba beliau diam, sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat melebihi berat paha Rasulullah ketika itu. Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, “Tulislah, Zaid!” Lalu aku menuliskan,
“Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah.” (an-Nisa’: 95).
Mendengarnya, Abdullah bin Ummi Maktum sontak berdiri lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad karena cacat?”
Mendengar pertanyaan itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terdiam dan paha beliau menekan pahaku. Aku pun menahan lagi beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Coba baca kembali yang telah engkau tulis!” Aku membaca,
“Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang)…”
Lalu sabda beliau, “Tulislah: Kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu.”
Itulah dalil pengecualian yang dinanti-nantikan Abdullah. Namun, meski sudah tahu bahwa Allah swt tidak membebani syari’at jihad (perang) kepada orang berkebutuhan khusus sepertinya, ia tetap bertekad untuk berangkat jika suatu ketika ada perintah berjihad.
“Tempatkan aku di antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Aku akan memegangnya erat-erat untuk kalian. Aku buta, maka pasti tak akan lari!” pintanya dengan nada tegas meyakinkan.
Waktu berjalan hingga sampailah pada tahun ke empat belas pascahijrah. Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sudah wafat dan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu mengemban amanah sebagai khalifah. Amirul Mukminin kedua ini berencana menembus Persia melalui langkah jihad militer, demi terbebasnya penduduk Bumi Syam dari pemerintahan yang zalim, dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang berkeadilan. Diperintahkanlah setiap gubernur dan pembesar agar menggerakkan rakyat untuk turut serta berjihad.
“Jangan ada seorang pun yang ketinggalan dari orang-orang yang bersenjata, yang mempunyai kuda, yang berani, dan yang berpikiran tajam. Hadapkan semuanya kepadaku sesegera mungkin!”
Pada suatu hari, berkumpullah Muslim dari seluruh penjuru Madinah memenuhi panggilan Amirul Mukminin. Ia mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash menjadi panglima pertempuran. Di antara ramainya orang di sana, terdapat seorang tuna netra bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Di hatinya terpatri tekad baja untuk berangkat bersama orang-orang yang bisa melihat. Ia akan meminta tugas sebagai pemegang bendera. Dan benar, pada hari H, obsesi besarnya terlaksana. Ia mengenakan baju besi, digenggamnya tiang bendera dengan janji untuk senantiasa mengibarkannya, atau mati di sampingnya.
Pada hari ketiga, pertempuran berkecamuk luar biasa, hingga berakhir dengan pasukan Muslim sebagai pemenangnya.
Sebuah kemenangan akbar yang dibayar dengan pengorbanan jiwa beratus syuhada. Satu di antaranya adalah seorang pemegang bendera bernama Abdullah bin Ummi Maktum, lelaki yang sejak mula dilahirkan sebagai tuna netra.
Sebuah pelajaran bagi kita. Tiada alasan apa pun untuk tidak turut serta menyumbang peran dalam perjuangan menegakkan Islam, menegakkan kebenaran. Walau bagaimanapun kondisi fisik dan materi kita, tetap ada jalan untuk memberi kontribusi kebajikan, apa pun bentuknya, sekecil apa pun kadarnya. Wallahu a’lam. [IB]