Mewaspadai Bahaya Proxy War dan Neo Imperialisme
Oleh Sri Ambarwati
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD II Tulungagung
PANJIMAS.COM – Dalam beberapa kesempatan, Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo mengingatkan Indonesia saat ini tengah menghadapi bahaya proxy war atau perang proxy. Proxy war terjadi di Indonesia melalui beberapa cara, di antaranya narkoba, konflik antar kelompok, terorisme, dll. Panglima TNI mengingatkan tentang Proxy War sebagai ancaman nyata bagi Indonesia. Jenderal Gatot Nurmantyo mengingatkan ancaman Proxy War yang menyerbu seluruh lini kehidupan bernegara, berbangsa, bahkan sudah hadir di tengah kehidupan keluarga kita.
Ancaman itu, menurut Panglima seperti demo anarkis buruh, tawuran pelajar dan mahasiswa, adu domba TNI-Polri, upaya memecah belah parpol, rekayasa sosial dengan memanfaatkan media dan maraknya penyalahgunaan narkoba. Panglima mengingatkan semua itu sudah didesain dan dikendalikan dari luar oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan dengan memanfaatkan orang dalam. Sehingga tidak disadari, bahwa bangsa ini sedang menuju kehancuran.
Ini pulalah yang diingatkan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu beberapa waktuu lalu. Beliau mengatakan fenomena kemunculan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia adalah bagian dari proxy war atau perang proksi untuk menguasai suatu bangsa tanpa perlu mengirim pasukan militer.Menurut dia, ancaman perang proksi itu berbahaya bagi Indonesia karena negara lain yang memiliki kepentingan tidak langsung berhadapan.
Oleh karena itu, menurut Menhan proxy war wajib diwaspadai, karena perang proksi itu sangat membahayakan, lantaran musuh tidak diketahui. Kalau melawan militer negara lain, musuh mudah dideteksi dan bisa dilawan. Ia menambahkan, perang modern tidak lagi melalui senjata, melainkan menggunakan pemikiran.
Proxy War
Sifat dan karakteristik perang telah bergeser seiring dengan perkembangan teknologi. Kemungkinan terjadinya perang konvensional antar dua negara dewasa ini semakin kecil. Namun, adanya tuntutan kepentingan kelompok telah menciptakan perang-perang jenis baru. Diantaranya, perang asimetris, perang hibrida, dan perang proxy.
Perang proxy atau proxy war adalah sebuah konfrontasi antar dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan mengurangi resiko konflik langsung yang berisiko pada kehancuran fatal.
Biasanya, pihak ketiga yang bertindak sebagai pemain pengganti adalah negara kecil, namun kadang juga bisa non-state actors yang dapat berupa LSM, ormas, kelompok masyarakat, atau perorangan. Melalui perang proxy ini, tidak dapat dikenali dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan karena musuh mengendalikan non-state actors dari jauh. Sehingga dapat disimpulkan proxy war adalah perang boneka atau perang perwalian.
Indonesia sebagai salah satu negara ekuator yang kaya dengan potensi sumber daya alam, baik yang terbarukan (hasil bumi) maupun yang tidak terbarukan (hasil tambang dan mineral). Sampai tahun 2010, Indonesia masih menjadi salah satu produsen besar di dunia untuk berbagai komoditas, antara lain kelapa sawit (penghasil dan eksportir terbesar di dunia), kakao (produsen terbesar kedua di dunia), timah (produsen terbesar kedua di dunia), nikel (cadangan terbesar ke empat di dunia) dan bauksit (cadangan terbesar ke tujuh di dunia) serta komoditas unggulan lainnya seperti besi baja, tembaga, karet dan perikanan. Indonesia juga memiliki cadangan energi yang sangat besar seperti misalnya batubara, panas bumi, gas alam, dan air yang sebagian besar dimanfaatkan untuk mendukung industri andalan seperti tekstil, perkapalan, peralatan transportasi dan makanan-minuman. Potensi ini pastinya sangat menggiurkan berbagai negara.
Neo Imperialisme
Dalam konteks Indonesia, imperialisme gaya baru ini muncul sejak awal Orde Baru. Rezim Orde Baru dipaksa menyerahkan kekayaan alam negeri ini kepada asing—Amerika dan Barat—melalui penguasaan areal tambang baik mineral maupun migas. Sebagai contoh, PT Freeport mendapatkan konsesi di Papua dan Caltex di beberapa sumber migas di Nusantara. Pemerintah Indonesia pun harus menerima rancangan UU khususnya UU Penanaman Modal Asing sebagai legitimasi atas masuknya perusahaan-perusahaan multinasional di Indonesia.
Bersamaan dengan itu, negara-negara industri maju menjerat negara-negara Dunia Ketiga dengan utang luar negeri. Utang itu diberikan dengan dalih untuk biaya pembangunan. Bagi negara berkembang/miskin, utang ini sangat membantu untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi. Apalagi kebanyakan mereka adalah negara yang baru bangkit dari keterjajahan secara fisik. Hanya saja, ini bukan utang sembarang utang. Utang ini membawa konsekuensi. Selain mengandung riba/bunga, utang itu pun mengharuskan banyak persyaratan bagi negara pengutang. Dari situ pula, para pakar ekonomi dan lembaga-lembaga mereka masuk ke sebuah negara dengan dalih memberikan bantuan teknis dan me-review kebijakan/program. Lebih jauh lagi, mereka ikut menyusun berbagai kebijakan negara termasuk merumuskan draft perundang-undangan. Langkah mereka ini dibantu oleh para akademisi lokal yang telah mereka didik sebelumnya. Dalam konteks Indonesia, mereka dikenal sebagai Mafia Berkeley.
Tidak hanya di bidang ekonomi, akhirnya intervensi asing ini pun merambah ke dunia politik. Dari sinilah negara kemudian didesain sebagai alat legitimasi bagi cengkeraman asing.
Kontrol
Neoimperialisme menggiring negara agar berjalan sesuai dengan arahan negara adidaya. Sebelumnya, negara industri besar itu menciptakan iklim yang kondusif agar rezim yang berkuasa secara sadar atau terpaksa mengikuti arahan tersebut. Ibaratnya, negara Dunia Ketiga dibuat tak bisa berkutik. Saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, IMF memaksa Indonesia menerima Letter of Intent (LOI) yang berisi kebijakan jangka panjang yang sepenuhnya atas prakarsa IMF. Soeharto yang saat itu kekuasaannya dalam kondisi di ujung tanduk terpaksa menandatangani LoI itu di hadapan Michel Camdesus. Program reformasi ekonomi ala IMF ini menjadikan Indonesia kian tak berkutik mengikuti kemauan negara penjajah. Proyek liberalisasi ekonomi dimulai dengan masif. Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Pemerintah melakukan privatisasi aset BUMN dan swasta nasional.
Saat itulah raksasa-raksasa kapitalis dunia seperti Caltex, Shell, Exxon Mobile, British Petroleum, Chevron, Amerada Hess, Standard Mobile Oil, Marathon, Gulf Union Oil mencaplok aset nasional di bidang pertambangan minyak dan gas. Freeport dan Newmont mencaplok semua aset nasional di bidang pertambangan emas. Cement Mexico mencaplok aset nasional di bidang produksi semen. Phillip Morris, British American Tobacco, Soros Corp mencaplok aset nasional di bidang rokok, cengkeh dan tembakau. ABN Amro Bank, Citybank, Standard Chartered, Chemical Bank, Chase-Manhattan Bank, Federal Reserve Bank mencaplok aset nasional di bidang perbankan.
Perlu ditegaskan pula, negara-negara Barat seperti Amerika, Inggris, penting untuk disampaikan kepada masyarakat, ideologi apa yang sesungguhnya telah memporakporandakan Indonesia. Tidak lain , kapitalisme dengan pemikiran-pemikiran pokoknya antara lain sekulerisme, demokrasi, liberalisme, HAM, pluralisme. Inilah yang telah menghancurkan dan sekutunya adalah pelaku langsung imperialisme yang mengusung ideologi kapitalisme ini.
Demokrasi, secara politik, telah menjadi pintu, munculnya pemimpin-pemimpin pro negara imperialis. Lewat pencitraan yang dibangun oleh media-media liberal, pemimpin boneka ini muncul sebagai pemenang dalam pemilu. Apa yang terjadi ? Setelah memimpin , pemimpin boneka ini mengabdi 100% bagi kepentingan tuan Kapitalis yang telah mengangkatnya, bukan kepada rakyat. Maka tidaklah mengherankan kalau kebijakan-kebijakannya justru menyengsarakan rakyat.
Lewat pintu, demokrasi pula, lahir UU yang jelas-jelas berpihak kepada pemilik-pemilik modal, baik dalam negeri, terutama perusahaan negara-negara imperialis. Berbagai UU yang sarat dengan liberalisme seperti UU kelistrikan, sumber daya alam, migas, perbankan, perdagangan, semuanya berpihak pada pemilik modal asing. Tujuannya untuk melegalkan perampokan terhadap kekayaan alam Indonesia.
Pandangan Islam
Walhasil, proxy war dan neoimperalisme ini merupakan bahaya besar yang dihadapi Indonesia. Ini bukan sekadar teori atau ancaman, tetapi sudah menjadi kenyataan di depan mata. Ini yang harus disadari oleh anak negeri
Tampaknya tak ada kekuatan global yang mampu membendungnya. Apalagi setelah hancurnya Uni Soviet, negara pengusung sosialisme, pada tahun 1991. Umat Islam yang kehilangan negaranya (Khilafah) sejak tahun 1924, yang hidup terpecah-belah dalam banyak negara-bangsa, juga tak mampu membendung neoliberalisme dan neoimperialisme.
Di sinilah kita perlu mempertimbangkan kembali perlunya eksistensi negara Khilafah bagi umat Islam. Sebab, hanya Khilafah yang dapat diharapkan oleh umat Islam, bahkan oleh umat manusia, untuk membendung bahkan membebaskan umat manusia dari cengkeraman neoliberalisme dan neoimperialisme yang rusak dan menyengsarakan.