PANJIMAS.COM – Dosen filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung menilai reaksi pemerintah menghadapi informasi palsu malah tidak sama sekali menyentuh akar masalah. Hoax dalam pandangannya adalah sebuah gejala: bahwa ada sesuatu yang bergejolak dalam opini publik yang tidak sanggup dikedalikan oleh pemerintah.
“Kalau legitimasi pemerintah kuat, orang tidak akan sebar berita palsu. Tapi begitu legitimasi melemah, oposisi akan mengekspoitasi kerentanan itu dengan memproduksi hoax. Berarti sinyal ‘hoax’ adalah krisis legitimasi di otoritas. Itu yang harusnya diperbaiki,” katanya.
Dia mencontohkan bagaimana pemerintah merespons isu 10 juta tenaga kerja asing asal Cina. Dalam sebuah kesempatan, Joko Widodo menepis angka itu dan mengatakan jumlah yang benar adalah 21.000 sedangkan di kesempatan lain Menkopolhukam menyebut jumlahnya 12.000. Mana yang harus jadi acuan? Kegagapan sistem informasi pemerintah inilah yang menjadi kesempatan timbulnyahoax, menurut Rocky.
”Pemerintah harus cukup beradab untuk mengerti bahwa peredaran lalu lintas informasi membutuhkan filter pertama, yaitu kecerdasan publik. Dan kecerdasan publik itu bukan urusan pemerintah untuk mengatur,” katanya. Melawan hoax dengan mengontrol informasi memberi kesan bahwa negara menjadi totaliter dalam urusan opini publik. “Dan itu buruk, bahwa negara menjadi penjamin kebenaran.”
Mengapa? Karena secara teoritis, Rocky Gerung melihat pemerintah di banyak negara doyan melakukan rekayasa informasi untuk menjaga legitimasinya. Atau dalam kata-kata yang dicuitkannya sendiri dia menyimpulkan, “hoax terbaik adalah hoax versi penguasa. Peralatan mereka lengkap: statistik, intelijen, editor, panggung, media…”
Bagaimana bisa kita bisa percaya dengan negara dalam soal kebenaran?
‘Editor bagi diri sendiri’
Satu hal yang bisa dilakukan oleh tiap individu mungkin sudah tertuang dalam tulisan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya ‘Blur: Bagaimana mengetahui kebenaran di era banjir informasi’ yang dalam bahasa Inggris telah diterbitkan pada 2010 dan dialihbahasakan oleh Dewan Pers pada 2012 lalu.
Anda tidak bisa menaruh kepercayaan pada media, pemerintah, apalagi produsen berita palsu. Adalah Anda yang kini bertanggung jawab menjadi ‘editor’ bagi Anda sendiri dalam serbuan informasi.
Buku itu berpendapat bahwa jurnalisme tidak lagi relevan berperan sebagai ‘penjaga pintu’ karena “pers hanya menjadi satu di antara banyak media penghubung.”
“Kita menjadi editor, penjaga pintu, dan pengumpul berita untuk diri sendiri,” begitu dalam bahasa yang dituangkan Kovach dan Rosenstiel.
Tapi untuk menjadi ‘editor’ Anda harus menguasai apa yang disebut sebagaitradecraft, keterampilan yang “berfokus pada bagaimana menimbang informasi dari pers dan sumber lain sehingga orang bisa menjadi peserta, bukan korban di era baru informasi.”
Dengan banyaknya saluran berita yang saling berkompetisi dan banyaknya laporan berat sebelah, sambung mereka, kita harus memakai beberapa keterampilan diagnosis ini untuk diri sendiri sehingga setidaknya bisa mengenali mana jurnalisme baik dan mana yang buruk. “Bagaimanapun juga, banyak dari kita yang bisa berbuat lebih banyak: menjadi editor untuk diri sendiri, pengolah informasi mandiri.”
Sejumlah poin yang dikemukakan dalam buku itu misalnya mengulas sejumlah pemikiran skeptis yang harus dipikirkan setiap pembaca ketika menemui konten dari mana saja. Misalnya:
Jenis konten apa yang saya temui? Opini, berita, kolom?Apa informasinya komplit; jika tidak apa yang kurang?Siapa dan apa sumbernya, dan kenapa saya harus mempercayai mereka?Apa bukti yang disuguhkan, bagaimana menguji atau membuktikannya?Apa yang bisa menjadi penjelasan atau pemahaman alternatif?Apakah saya telah mempelajari apa yang perlu saya pelajari? [AW/konfrontasi, bbc]